Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bencana Banjir dan Longsor dalam Teropong Strukturalisme Lingkungan

1 Februari 2025   07:15 Diperbarui: 1 Februari 2025   07:21 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia kembali berduka! Hujan deras beberapa minggu belakangan membuat sejumlah wilayah di Indonesia terkena bencana banjir. Salah satu daerah yang terparah mengalami banjir adalah daerah Jawa Tengah. Misalnya, banjir yang disertai bencana longsor di Pekalongan pada 20 Januari 2025 menelan 19 korban nyawa.

Memang intensitas hujan yang tinggi disertai angin badai menjadi penyebab utama terjadinya banjir dan kadang bencana longsor yang menyertainya. Akan tetapi, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) memberikan wawasan menarik. Fenomena alam bukanlah penyebab tunggal, melainkan disertai juga dengan alih fungsi lahan yang masif terjadi di Jawa Tengah.

"Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dalam hal ini, seringkali memasukkan rencana yang dirasa justru memiliki kecenderungan dalam 'memfasilitasi' praktik yang mendorong degradasi lingkungkungan, seperti alih fungsi lahan, sebagai contoh dalam rencana pembangunan industri, infrastruktur, maupun kawasan permukiman," kata Direktur Eksekutif Walhi Jateng Fahmi Bastian (www.liputan6.c0m, 24/1/2025).

Walhi Jateng menambahkan bahwa Perda Provinsi Jawa Tengah No. 8 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2024 -- 2044 akan menghilangkan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahnya seluas 23.483 Ha dan kawasan perlindungan setempat seluas 69.286 Ha. Ambisi pemerintah menarik investasi berupa kawasan industri dan industri ekstraktif (pertambangan dan energi), dirasa tidak mempertimbangkan daya dukung serta daya tampung lingkungan sehingga berimbas kepada semakin parahnya kondisi kebencanaan di Jawa Tengah. 

Jika kita bahasakan secara ilmiah, pernyataan Walhi ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa sebagian besar bencana banjir di Jawa Tengah sesungguhnya berhulu pada aspek ekonomi. Di sinilah, perspektif "strukturalisme lingkungan" bisa menjadi pisau analisis .

Mode Produksi Kapitalistis

Strukturalisme adalah satu teori yang bisa dilacak pada Karl Marx. Menurut Marx, struktur masyarakat terdiri atas dua bagian (Doyle Paul Johnson, Teori-Teori Sosiologi, Gramedia, 1989). Pertama, suprastruktur atau struktur-atas yang mencakup kondisi politik,
budaya, sosial, dan lain sebagainya. Kedua, infrastruktur alias struktur-bawah yang terdiri atas kondisi ekonomi yang ditentukan oleh mode produksi (mode of production). 

Bagi Marx, kondisi suprastruktur selalu ditentukan (determined) oleh infrastruktur ekonomi. Dengan kata lain, apabila infrastruktur ekonomi dikuasai mode produksi kapitalistis yang mengutamakan laba dan memuja nilai guna komoditas---disebut pemberhalaan atau fetisisme komoditas dengan proses utama bernama komodifikasi yang melihat segala sesuatu semata sebagai komoditas ekonomi---maka segala aspek dalam suprastruktur, termasuk kondisi lingkungan, menjadi tunduk pada kepentingan mode produksi tersebut.

Alhasil, jika kita petakan teori strukturalis dalam konteks kondisi lingkungan hidup masa kini, bencana ekologis yang kita alami saat ini adalah salah satu variabel dalam suprastruktur. Mengikuti alur pikir ini, bencana banjir berarti terjadi akibat infrastruktur ekonomi. Apakah infrastuktur ekonomi itu persisnya? Mode produksi kapitalistis yang mencaplok segala lahan, termasuk daerah resapan dan jalur hijau, guna menghasilkan laba lewat pembangunan proyek perumahan, mal, hotel, apartemen, industri ekstraktif, dan aneka proyek bermotor profit lainnya. 

Mode produksi ini lantas melahirkan apa yang disebut Radhar Panca Dahana (Ekonomi Cukup, Penerbit Kompas, 2015, hlm. 157-158) sebagai budaya hidup-lebih. Inilah budaya hidup yang memandang dan melakoni hidup dengan sebuah nilai-dasar di mana kita berhak, bahkan wajib, memperoleh atau berusaha mendapat lebih dari apa yang telah kita miliki. Untuk alasan itu, kita seolah wajib untuk menggunakan segala cara untuk menimbun aset, padahal itu sudah jauh melebihi dari kebutuhan hidup layak kita. Fenomena inilah yang kemudian teramati oleh Walhi di Jawa Tengah, tatkala area yang melindungi lingkungan justru mengalami alih fungsi ke fungsi ekonomi.

Solusi

Bagaimana jalan keluar dari bencana ekologis di atas menurut teori strukturalisme? Meruntuhkan mode produksi kapitalis. Dalam konteks saat ini, peruntuhan itu bisa dilakukan lewat sejumlah langkah. Pertama, pemerintah pusat maupun daerah bisa meninjau kembali pemberian aneka konsesi kepada pengusaha. Pemerintah daerah harus melakukan peninjauan ini dalam skala yang lebih masif. Moratorium penggunaan lahan bagi proyek-proyek nonprioritas menjadi wajib.

Kedua, pemerintah pusat maupun daerah perlu membuka lagi lahan-lahan resapan air dan sodetan kanal air. Di Provinsi DKI Jakarta, sebagai contoh, pemerintah daerah beberapa tahun lalu sukses membebaskan wilayah Pedongkelan dan membuat Waduk Ria Rio yang terbukti mengurangi skala banjir di wilayah sekitar yang meliputi Pulomas, Cempaka Putih, bahkan sampai ke daerah Perintis yang berbatasan dengan Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Ketiga, proses penegakan hukum (pro justisia) mulai dari tingkat penyelidikan dan penyidikan polisi atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penuntutan jaksa, hingga vonis pengadian harus tegas memihak kepentingan sosial, bukan kepentingan kapital (modal), guna menciptakan efek jera (deterrent effect) bagi para pelaku kejahatan lingkungan.

Keempat, karena semua langkah ini membutuhkan agen-agen penggerak (agents of change) yang revolusioner dan mampu mendobrak belenggu mode produksi kapitalistis, maka peran intelektual tercerahkan yang mampu menguak kelemahan mode produksi kapitalistis dan berpihak secara organis pada massa-rakyat menjadi niscaya. Intelektual semacam inilah yang disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organis (Roger Simon, Gagasan Intelektual Gramsci, Pustaka Pelajar, 1999). Maka itu, peran edukasi lewat berbagai platform media menjadi penting untuk menumbuhkan sekaligus mengangkat perjuangan agen-agen semacam itu.
 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun