Selama ini, Indonesia terkenal dengan dasar filsafat negara khasnya yang disebut Pancasila dan disahkan pada 18 Agustus 1945. Namun, siapa sangka suatu bangsa besar, yaitu India yang merdeka pada 1947, ternyata juga memiliki suatu filsafat tidak resmi yang disebut sebagai pancasheela (lima pilar).
Saya mencoba mencari istilah pancasheela di Google, tapi tidak menemukannya. Akan tetapi, saya justru menemukan ini di artikel yang ditulis oleh intelektual India, Jai Singh Yadav, dalam buku kumpulan yang disunting oleh M Imam Aziz berjudul Agama, Demokrasi, dan Keadilan (Gramedia, 1993).Â
Dalam artikelnya itu, Yadav menjelaskan bahwa pancasheela adalah salah satu konsep dalam khazanah filsafat India yang berisikan lima pilar. Pertama, sekularisme. Dalam konteks ini, India mengambil jarak yang sama terhadap semua agama supaya tidak terjadi pemaksaan nilai-nilai agama tertentu---terutama agama dominan---terhadap pengaturan tatanan sosial-politik-ekonomi masyarakat. Sehingga, pengaturan tersebut bisa dijalankan secara rasional dan efisien tanpa "terbebani" dengan ajaran doktriner satu agama tertentu.
Kedua, kebijakan luar negeri yang independen. Dampak praktis dari pilar kedua ini adalah keplastisan India mengambil posisi yang mampu merangkul segala blok kepentingan. Entah itu blok kepentingan Barat atau blok kepentingan Timur. Dampaknya, India dapat memetik keuntungan dari berbagai negara karena sifatnya yang netral tersebut.
Ketiga, nasionalisme. Sebagai bekas jajahan Inggris, India sangat mengedepankan nasionalisme sebagai penggalang emosi kolektif rakyat. Ini diperkuat dengan teladan Gandhi yang dulu mengajarkan prinsip swadesi (memenuhi kebutuhan dengan tangan sendiri). Artinya, masyarakat India tidak mau sekadar menjadi bangsa konsumen yang membiarkan pasarnya disantap produk bangsa lain. Melainkan, harus menjadi bangsa produsen sekaligus bangsa yang mencintai produk dalam negerinya demi memajukan industri domestik.
Keempat, demokrasi. India sangat mengagungkan esensi manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan memilih. Oleh karena itu, mengutip Amartya Sen dalam Inequality Reexamined (1992), India sangat mementingkan aspek peningkatan kapabilitas individu demi meraih kemakmuran. Sebagai contoh, melek huruf adalah kapabilitas yang memungkinkan orang membaca dan berpengetahuan. Dengan kapabilitas itu, orang memiliki kebebasan untuk belajar, menuntut ilmu, dan meraih kesuksesan. Akan
tetapi, orang di daerah terpencil tentu memiliki akses lebih terbatas pada pendidikan dibandingkan orang di perkotaan.
Berangkat dari situlah, India menggelontorkan program-program edukasi seperti pendidikan murah, subsidi kertas buku, perpustakaan publik yang lengkap, dan lain sebagainya. Alhasil, India terkenal sebagai salah satu bangsa tercerdas di dunia. Sumber daya manusia (SDM) India pun mudah mendapatkan akses pekerjaan baik di dalam maupun di luar negeri, sehingga ini ikut mendongkrak pertumbuhan ekonomi India.
Kelima, sosialisme. Bersendikan sila terakhir ini, India berupaya mencari cara bagaimana supaya strategi ekonominya tidak hanya menumpukkan kekayaan pada segelintir elit saja. Melainkan, dapat terdistribusi secara merata kepada seluruh rakyatnya.
Kita lihat dari uraian di atas betapa mirip pancasheela dengan Pancasila-nya Indonesia. Karena itu, tidak ada alasan bagi Indonesia untuk merasa kalah dengan India. Pasalnya, Pancasila boleh dibilang lebih unggul ketimbang pancasheela karena Pancasila mengakui spirit agama sebagaimana ada dalam sila "Ketuhanan Yang Maha Esa." Tambahan lagi, sebagaimana diungkapkan Soekarno dalam "Lahirnya Pancasila" pada 1 Juni 1945, kelima sila dalam Pancasila masih diikat lagi oleh semangat gotong-royong.
Konsekuensinya, kelima sila Pancasila harus memiliki adjektif gotong-royong. Dalam Negara Paripurna (Gramedia, 2011), Yudi Latif menguraikan bahwa prinsip ketuhanan kita harus gotong-royong (ketuhanan yang toleran bukan saling menyerang). Prinsip internasionalisme wajib gotong-royong (berperikemanusiaan dan berkeadilan, bukan agresif). Prinsip persatuan mesti gotong-royong (mengakui pihak berbeda sebagai sesama warga negara). Prinsip demokrasi juga bergotong-royong (tidak didikte suara mayoritas, juga tidak dikendalikan minoritas elit penguasa-pemodal). Terakhir, prinsip kesejahteraan pun harus bergotong-royong (mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI