Belakangan ini, media massa kita diramaikan oleh berita memprihatinkan soal penipuan investasi di mana-mana. Tragisnya lagi, deretan korban berasal dari semua kalangan, termasuk kelas menengah seperti pegawai, mahasiswa, kaum profesional, dan lain sebagainya.Â
Peristiwa ini mengindikasikan kenyataan bahwa negeri kita masih mengidap kurangnya literasi tentang perencanaan keuangan (financial planning), apalagi di tengah maraknya digitalisasi layanan jasa keuangan. Maka itu, pengenalan literasi yang demikian harus mulai digencarkan sebagai salah satu antidot bagi upaya penipuan.
EsensiÂ
Esensi dari perencanaan keuangan sejatinya sederhana: memaksimalkan penghasilan dan meminimalkan pengeluaran. Penghasilan bisa didapatkan dari upah/gaji, THR, honor, hasil inisiatif kewirausahaan atau bisnis warisan, hadiah, dan hasil investasi. Penghasilan tetap adalah dari upah, sementara yang lain sifatnya insidental atau fluktuatif.
Salah satu aturan emas dalam perencanaan keuangan adalah sisihkan minimal 10 persen dari penghasilan kita untuk diinvestasikan. Prinsip klasik ini dikemukakan oleh dalam The Richest Man from Babylon karya George S. Clason (Gramedia Pustaka Utama, 2010). Kemestian menyisihkan alokasi dana investasi ini hanya bisa batal jika Anda punya cicilan utang mendesak yang harus dibayar, sehingga tidak memungkinkan berinvestasi. Guna menghindari ini, ketika kita mencari utang, pastikan bahwa jumlah cicilan utang tidak akan melebihi 30 persen dari total penghasilan Anda per bulan. Sehingga, Anda masih punya 10 persen untuk berinvestasi, 30 persen untuk cicilan utang, 5 persen untuk keperluan sosial (zakat, sedekah, dan lain sebagainya), dan sisa 55 persen untuk membiayai kebutuhan dan keinginan Anda.
Sementara itu, pos pengeluaran yang diambil dari angka 55 persen di atas sangatlah beragam. Kita harus bisa menentukan mana yang pengeluaran rutin (fixed spending) dan mana yang bisa ditunda alias sekadar keinginan. Contoh pengeluaran rutin adalah biaya listrik, air, dan yang sejenis (utilitas), iuran lingkungan, biaya makan, transportasi, dan lain-lain. Namun, pengeluaran rutin bisa juga dimodifikasi. Misalnya, biaya makan tentu bervariasi antara makan di warteg dan restoran. Lalu, biaya transportasi akan lebih hemat jika naik kereta ketimbang mobil.Â
Terkait utang, kita harus bisa membedakan antara utang konsumtif dan produktif. Utang konsumtif adalah utang untuk keperluan konsumsi semata yang tidak mendatangkan imbal hasil. Contoh, utang kartu kredit untuk nonton konser, membeli barang hobi seperti mainan, belanja baju, dan aneka keinginan lainnya. Sementara utang produktif adalah utang yang diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan nilainya terapiresiasi di masa depan. Tergolong dalam utang produktif misalnya adalah utang untuk membeli mobil buat usaha rental atau kredit pemilikan rumah (KPR) yang nilainya pasti naik setiap tahun, dan lain sebagainya. Â
Dalam mencari utang, kita harus mencari utang yang paling rendah bunganya dan pihak kreditor yang paling mudah diajak negosiasi. Secara urutan, pihak kreditor dari yang paling ringan bunganya serta mudah dinegosiasikan adalah: Orangtua/saudara kandung/kerabat, teman, pegadaian/koperasi simpan pinjam, bank, pinjol legal, dan lintah darat/rentenir/pinjol ilegal.
Hal penting lain yang perlu diingat adalah pinjaman wajib datang dari institusi legal, seperti Pegadaian, bank dan pinjol yang diawasi OJK, dan koperasi di mana kita menjadi anggotanya serta punya rekam jejak jelas. Waspadai institusi yang meminta transfer dana terlebih dulu sebelum kita menerima uang pinjaman. Sebab, biaya terkait pinjaman harusnya dipotong langsung dari dana pinjaman yang kita terima, tidak diterima di depan. Â
Terakhir, terkait investasi, ada sejumlah prinsip yang harus kita camkan. Pertama, penuhi kebutuhan dasar atau harian kita dulu sebelum mulai berinvestasi. Artinya, jangan sampai kita berutang untuk berinvestasi. Sebab, jarang instrument investasi yang menawarkan imbal hasil di atas bunga pinjaman. Kemudian, jangan memakai uang kebutuhan pokok untuk berinvestasi. Tabungan kuliah, asuransi pensiun, dan uang dapur, misalnya, tetaplah harus disimpan sesuai peruntukannya. Uang untuk berinvestasi seyogianya uang menganggur (idle fund).
Kedua, jangan taruh semua dana investasi Anda ke dalam satu keranjang (don't put all your eggs in one basket). Raciklah portfolio investasi Anda dengan beranaka ragam produk investasi. Jadi, jika ada satu produk investasi yang tidak memuaskan, produk lain diharapkan bisa mengompensasinya.
Ketiga, tidak ada makan siang gratis (there is no free lunch). Dunia investasi menganut hukum high risk, high return. Artinya, setiap produk investasi yang menjanjikan imbal hasil tinggi pastilah berisiko tinggi pula. Ttidak ada produk investasi yang bisa menjamin imbal hasil atau keuntungan pasti, kecuali deposito dan obligasi. Namun, karena deposito dan obligasi merupakan produk investasi minim risiko, imbal hasilnya jelas relatif minim pula. Jadi, jika ada tawaran investasi usaha atau produk yang menawarkan imbal hasil tinggi dengan risiko dan modal minim, bisa kita pastikan bahwa tawaran itu beraroma penipuan.
Berbekal literasi dasar perencanaan keuangan di atas, semoga kita tidak lagi sering mendengar maraknya lagi kasus penipuan investasi di negara kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI