Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Tindak Kejahatan Meningkat Tajam di Indonesia, Teori Jendela Pecah Menjawabnya

29 Januari 2025   14:58 Diperbarui: 29 Januari 2025   14:58 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover buku The American Idea yang berisikan teori Broken Windows dari James Wilson (sumber: koleksi pribadi)

Jika kita menonton televisi atau tayangan klip media sosial, Indonesia tampaknya tetap mengalami banyak kejadian kriminal. Ternyata memang tindak kejahatan di Indonesia meningkat tajam. Data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri) menyatakan terdapat 413.020 kejahatan yang terjadi di Indonesia sejak 1 Januari-31 Desember 2024 (semua data statistik dikutip dari dataindonesia.id). Ini melonjak pesat hampir 50 persen dari  288.472 kejahatan pada 2023!

Dari jumlah 413.020 kejahatan itu, kasus yang paling banyak dilaporkan ialah pencurian dengan pemberatan, yakni mencapai 52.449 kasus.

Di posisi kedua, jenis kejahatan penganiayaan menyusul dengan jumlah 45.355 kasus. Posisinya diikuti oleh jenis kejahatan pencurian biasa dengan jumlah 45.141 kasus. 

Kemudian, jenis kejahatan narkotika (narkoba) ada di tempat keempat lantaran mencatatkan 42.243 kasus. Lalu, ada jenis kejahatan penipuan/perbuatan curang dan penggelapan dengan masing-masing 41.707 kasus dan 28.167 kasus.

Selanjutnya, jenis kejahatan pencurian kendaraan bermotor roda dua ada di posisi ketujuh dengan 19.057 kasus. Terakhir, jenis kejahatan tindak pidana dalam perlindungan anak berada di posisi kedelapan lantaran mencatatkan 17.515 kasus. 

Sebaliknya, terdapat 14 jenis kejahatan yang paling sedikit terjadi pada periode yang sama, yakni masing-masing satu kasus, di antaranya separatisme, perbuatan tidak menyenangkan, menyebabkan orang mati karena kelalaian, dan mempekerjakan anak di bawah umur.

Maraknya kejahatan ini tentu harusnya membuat kita waspada. Selain itu, kita perlu membekali diri dengan pengetahuan mengenai faktor-faktor apa yang bisa memicu kejahatan (kriminogen).  

Teori jendela pecah

Kerangka teoretis yang bisa dirujuk adalah teori kriminologi "jendela pecah" (broken windows) dari James Q. Wilson, seorang profesor ilmu pemerintahan, dan George L. Kelling, yang merupakan profesor hukum pidana. Teori mereka yang dipublikasikan dalam majalah Atlantic Monthly pada 1982 itu("Broken Windows" dalam antologi The American Idea: The Best of Atlantic Monthly, 2007) terbukti telah mampu menurunkan secara drastis tingkat kriminalitas di New York pada 1999. Menurut teori ini, gelombang kejahatan akan menggulung suatu daerah apabila terjadi fenomena jendela pecah. Maksudnya adalah apabila di suatu daerah ada rumah yang kaca jendelanya pecah dan keesokan harinya terlihat bahwa serakan kaca pecah itu tidak dibereskan atau kaca itu tidak diperbaiki, daerah tersebut berarti memiliki orang-orang yang tidak peduli terhadap keadaan sekitar. Alhasil, daerah itu seakan memberikan pintu yang terbuka lebar kepada calon penjahat untuk beraksi.

Jendela pecah ini sebenarnya metafora bagi kondisi-kondisi apa pun yang menunjukkan ketidakpedulian warga. Bisa berupa rumput kebun tak terurus di rumah kosong, onggokan sampah-sampah di kompleks perumahan, hewan-hewan liar tak terurus di suatu lingkungan, gelandangan-gelandangan yang berkeliaran, pokoknya apa pun yang tampak tak mendapatkan perhatian dari warga ataupun pihak berwenang.

Di Indonesia, kita lihat betapa kondisi "jendela pecah" sudah terjadi di Indonesia. Orang-orang yang kehilangan pendapatan, daerah-daerah yang sepi karena pelemahan ekonomi saat ini maupun pasca-pandemi, keluarga-keluarga yang makin miskin dan susah mencukupi kebutuhan hidup, dan lain sebagainya. Artinya, jika kondisi "jendela pecah" ini tidak diberikan perhatian memadai, akan terjadi semacam pandemi kejahatan yang mengakibatkan banyak kaca jendela pecah lagi di mana-mana.

Empat Solusi

Lantas, bagaimana negara dan kita sebagai warga bisa menghalau potensi meluasnya kejahatan ? Setidaknya ada empat langkah yang bisa ditempuh. Pertama, pemerintah di tingkat pusat maupun daerah harus memastikan bantuan sosial untuk warga paling membutuhkan itu betul-betul tepat sasaran. Kegagalan pemberian bantuan akan membawa konsekuensi mengerikan berupa munculnya banyak "jendela pecah" secara nasional.

Kedua, negara harus pula memastikan tidak ada kejahatan kerah putih atau korupsi dalam kebijakan penyaluran dana bantuan. Di sini, aparat penegak hukum yang diujungtombaki oleh Polri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus memainkan peranan pendampingan penyaluran bantuan dan pencegahan korupsi.  

Ketiga, para pebisnis mesti menumbuhkan kesadaran untuk menebar amal baik ke lingkungan sekitar dalam bentuk pembagian bantuan sosial, sembako, voucher belanja, dan lain-lain demi menanamkan citra positif di mata masyarakat. Dengan kata lain, dunia bisnis jangan lalai menjalankan dimensi filantropis, corporate social  responsibility (CSR) dan community development (CD) terhadap lingkungan sosial yang selama ini telah memberi mereka laba. Selain itu, dunia bisnis sebisa mungkin menghindari PHK. Mungkin perusahaan bisa duduk bersama dengan para karyawan untuk merumuskan win-win solution, seperti tetap mempertahankan karyawan tapi dengan memangkas upah sebesar sekian persen.  Di sisi lain, warga negara yang berkemampuan ekonomi lebih juga mesti menunjukkan solidaritas sosial dengan menggalakkan aksi-aksi bantuan sosial.

Keempat, sebagaimana diajarkan teori "jendela pecah", Indonesia wajib menggiatkan konsep community policing (CP). Ada beberapa praktik CP sederhana yang bisa dilakukan. Misalnya, dengan menggalakkan lagi siskamling rutin, tentu dengan memperhatikan aspek physical distancing. Bisa juga dengan, seperti di New York, mengkaryakan para petugas polisi yang sedang tidak bertugas (off-duty officers) untuk mendeteksi potensi kejahatan di lingkungan sekitar tempat sang petugas tinggal. Keunggulan dari pengkaryaan ini adalah selain petugas polisi bersangkutan mendapatkan penghasilan tambahan, dia masih memiliki otoritas resmi untuk mengambil tindakan penegakan hukum. Pengkaryaaan bisa diperluas ke personel militer yang sedang tidak bertugas, asalkan nanti ketika terjadi tindak kejahatan, sang personel militer meneruskannya ke kepolisian setempat untuk diproses hukum. Sebab,
meski memiliki wibawa resmi dari statusnya sebagai anggota militer, seorang tentara memiliki yurisdiksi hukum yang berbeda dengan kalangan sipil.

Berbekal keempat langkah tersebut, semoga Indonesia bisa menghindari kian meluasnya kejahatan alias kriminalitas pada 2025 ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun