Di Indonesia, kita lihat betapa kondisi "jendela pecah" sudah terjadi di Indonesia. Orang-orang yang kehilangan pendapatan, daerah-daerah yang sepi karena pelemahan ekonomi saat ini maupun pasca-pandemi, keluarga-keluarga yang makin miskin dan susah mencukupi kebutuhan hidup, dan lain sebagainya. Artinya, jika kondisi "jendela pecah" ini tidak diberikan perhatian memadai, akan terjadi semacam pandemi kejahatan yang mengakibatkan banyak kaca jendela pecah lagi di mana-mana.
Empat Solusi
Lantas, bagaimana negara dan kita sebagai warga bisa menghalau potensi meluasnya kejahatan ? Setidaknya ada empat langkah yang bisa ditempuh. Pertama, pemerintah di tingkat pusat maupun daerah harus memastikan bantuan sosial untuk warga paling membutuhkan itu betul-betul tepat sasaran. Kegagalan pemberian bantuan akan membawa konsekuensi mengerikan berupa munculnya banyak "jendela pecah" secara nasional.
Kedua, negara harus pula memastikan tidak ada kejahatan kerah putih atau korupsi dalam kebijakan penyaluran dana bantuan. Di sini, aparat penegak hukum yang diujungtombaki oleh Polri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus memainkan peranan pendampingan penyaluran bantuan dan pencegahan korupsi. Â
Ketiga, para pebisnis mesti menumbuhkan kesadaran untuk menebar amal baik ke lingkungan sekitar dalam bentuk pembagian bantuan sosial, sembako, voucher belanja, dan lain-lain demi menanamkan citra positif di mata masyarakat. Dengan kata lain, dunia bisnis jangan lalai menjalankan dimensi filantropis, corporate social  responsibility (CSR) dan community development (CD) terhadap lingkungan sosial yang selama ini telah memberi mereka laba. Selain itu, dunia bisnis sebisa mungkin menghindari PHK. Mungkin perusahaan bisa duduk bersama dengan para karyawan untuk merumuskan win-win solution, seperti tetap mempertahankan karyawan tapi dengan memangkas upah sebesar sekian persen.  Di sisi lain, warga negara yang berkemampuan ekonomi lebih juga mesti menunjukkan solidaritas sosial dengan menggalakkan aksi-aksi bantuan sosial.
Keempat, sebagaimana diajarkan teori "jendela pecah", Indonesia wajib menggiatkan konsep community policing (CP). Ada beberapa praktik CP sederhana yang bisa dilakukan. Misalnya, dengan menggalakkan lagi siskamling rutin, tentu dengan memperhatikan aspek physical distancing. Bisa juga dengan, seperti di New York, mengkaryakan para petugas polisi yang sedang tidak bertugas (off-duty officers) untuk mendeteksi potensi kejahatan di lingkungan sekitar tempat sang petugas tinggal. Keunggulan dari pengkaryaan ini adalah selain petugas polisi bersangkutan mendapatkan penghasilan tambahan, dia masih memiliki otoritas resmi untuk mengambil tindakan penegakan hukum. Pengkaryaaan bisa diperluas ke personel militer yang sedang tidak bertugas, asalkan nanti ketika terjadi tindak kejahatan, sang personel militer meneruskannya ke kepolisian setempat untuk diproses hukum. Sebab,
meski memiliki wibawa resmi dari statusnya sebagai anggota militer, seorang tentara memiliki yurisdiksi hukum yang berbeda dengan kalangan sipil.
Berbekal keempat langkah tersebut, semoga Indonesia bisa menghindari kian meluasnya kejahatan alias kriminalitas pada 2025 ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI