Jika kita menonton televisi atau tayangan klip media sosial, Indonesia tampaknya tetap mengalami banyak kejadian kriminal. Ternyata memang tindak kejahatan di Indonesia meningkat tajam. Data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri) menyatakan terdapat 413.020 kejahatan yang terjadi di Indonesia sejak 1 Januari-31 Desember 2024 (semua data statistik dikutip dari dataindonesia.id). Ini melonjak pesat hampir 50 persen dari  288.472 kejahatan pada 2023!
Dari jumlah 413.020 kejahatan itu, kasus yang paling banyak dilaporkan ialah pencurian dengan pemberatan, yakni mencapai 52.449 kasus.
Di posisi kedua, jenis kejahatan penganiayaan menyusul dengan jumlah 45.355 kasus. Posisinya diikuti oleh jenis kejahatan pencurian biasa dengan jumlah 45.141 kasus.Â
Kemudian, jenis kejahatan narkotika (narkoba) ada di tempat keempat lantaran mencatatkan 42.243 kasus. Lalu, ada jenis kejahatan penipuan/perbuatan curang dan penggelapan dengan masing-masing 41.707 kasus dan 28.167 kasus.
Selanjutnya, jenis kejahatan pencurian kendaraan bermotor roda dua ada di posisi ketujuh dengan 19.057 kasus. Terakhir, jenis kejahatan tindak pidana dalam perlindungan anak berada di posisi kedelapan lantaran mencatatkan 17.515 kasus.Â
Sebaliknya, terdapat 14 jenis kejahatan yang paling sedikit terjadi pada periode yang sama, yakni masing-masing satu kasus, di antaranya separatisme, perbuatan tidak menyenangkan, menyebabkan orang mati karena kelalaian, dan mempekerjakan anak di bawah umur.
Maraknya kejahatan ini tentu harusnya membuat kita waspada. Selain itu, kita perlu membekali diri dengan pengetahuan mengenai faktor-faktor apa yang bisa memicu kejahatan (kriminogen). Â
Kerangka teoretis yang bisa dirujuk adalah teori kriminologi "jendela pecah" (broken windows) dari James Q. Wilson, seorang profesor ilmu pemerintahan, dan George L. Kelling, yang merupakan profesor hukum pidana. Teori mereka yang dipublikasikan dalam majalah Atlantic Monthly pada 1982 itu("Broken Windows" dalam antologi The American Idea: The Best of Atlantic Monthly, 2007) terbukti telah mampu menurunkan secara drastis tingkat kriminalitas di New York pada 1999. Menurut teori ini, gelombang kejahatan akan menggulung suatu daerah apabila terjadi fenomena jendela pecah. Maksudnya adalah apabila di suatu daerah ada rumah yang kaca jendelanya pecah dan keesokan harinya terlihat bahwa serakan kaca pecah itu tidak dibereskan atau kaca itu tidak diperbaiki, daerah tersebut berarti memiliki orang-orang yang tidak peduli terhadap keadaan sekitar. Alhasil, daerah itu seakan memberikan pintu yang terbuka lebar kepada calon penjahat untuk beraksi.
Jendela pecah ini sebenarnya metafora bagi kondisi-kondisi apa pun yang menunjukkan ketidakpedulian warga. Bisa berupa rumput kebun tak terurus di rumah kosong, onggokan sampah-sampah di kompleks perumahan, hewan-hewan liar tak terurus di suatu lingkungan, gelandangan-gelandangan yang berkeliaran, pokoknya apa pun yang tampak tak mendapatkan perhatian dari warga ataupun pihak berwenang.