Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

7 Langkah Memastikan Keberlanjutan JKN

26 Januari 2025   16:17 Diperbarui: 26 Januari 2025   16:21 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di kantor BPJS Kesehatan (sumber: cnbcindonesia.com)

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) dalam bahaya. Ada dua pernyataan yang mengindikasikan hal itu. Pertama, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Ali Mukti memberikan pengakuan akan adanya potensi defisit JKN lantaran klaim yang semakin melonjak sementara iuran bergerak lebih lambat. Kedua, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga sempat mengemukakan anjuran supaya masyarakat mulai memikirkan membeli asuransi swasta sebagai pelengkap jika ada layanan kesehatan yang tak ter-cover oleh JKN.

 Belum lagi keputusan Presiden Joko Widodo pada 8 Mei 2024 lalu menandatangani Perpres 59/2024 yang memberlakukan sistem Kamar Rawat Inap Standar (KRIS) menggantikan kelas 1, 2, dan 3. Sebab, keputusan ini secara logis akan bermuara pada penyeragaman premi untuk semua warga. Alhasil, warga yang selama ini mengiur untuk kelas 1 dan 2 bisa saja menikmati penurunan premi, sementara warga peserta kelas 3 harus merasakan kenaikan premi. Padahal, dengan premi saat ini yang sebesar Rp 35.000 saja (Rp 42.500 dikurangi subsidi pemerintah Rp 7.000 per peserta) sudah membuat banyak peserta kelas 3 menunggak, apalagi jika iuran premi dinaikkan. Ujung-ujungnya, tunggakan premi membengkak dan ini berpotensi menjerembabkan BPJS Kesehatan ke lubang defisit yang dapat membahayakan keberlanjutan JKN.  

Hulu defisit

Karena itu, keberlanjutan JKN perlu menjadi agenda prioritas. Apalagi, JKN sebenarnya berperan penting dalam membantu pertumbuhan ekonomi alih-alih dianggap sebagai beban fiskal negara. Sebab, mengutip Sulastomo dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (Penerbit Kompas, 2003), program jaminan kesehatan membuat masyarakat bisa merealokasikan dana dari pengeluaran kesehatan ke pengeluaran konsumtif yang menstimulasi pertumbuhan ekonomi.

 Kita bisa mulai dari hulu potensi defisit JKN. Merujuk kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang JKN (Majalah Tempo, edisi 6-13 Juli 2020). KPK memetakan sejumlah faktor penyumbang defisit program JKN. Pertama, lemahnya sistem penagihan iuran peserta oleh BPJS Kesehatan. Kedua, sejumlah peserta mandiri mulai menunggak iuran saat sudah sembuh. 

Ketiga, manfaat klaim terlalu luas sehingga memicu kenaikan biaya klaim. Keempat, dugaan fraud berupa layanan berlebihan dan klaim ganda maupun fiktif fasilitas kesehatan mitra. Kelima, lemahnya sistem verifikasi BPJS Kesehatan. Sebagai contoh, KPK menemukan adanya pasien laki-laki yang didiagnosis hamil dan melahirkan secara Caesar. 

Di luar itu, penulis bisa menambahkan faktor keenam. Yaitu, masih mudahnya fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) mengeluarkan surat rujukan ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL) rumah sakit untuk penyakit-penyakit yang sebetulnya masih bisa diobati di FKTP.  

Keenam hulu masalah di atas tentu perlu dibenahi untuk memastikan keberlanjutan JKN. Untuk itu, ada tujuh solusi.

Solusi

Pertama, seiring penerapan KRIS, pemerintah harus meracik skema iuran yang pas dengan besaran yang rasional dan sesuai dengan kemampuan ekonomi rakyat. Kemudian, pemerintah bisa menambah jumlah peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) untuk memastikan kelancaran aliran premi dari pemerintah ke kantung BPJS Kesehatan demi menghalau defisit. Tentu, ini perlu dilakukan secara cermat dengan memperhatikan ketahanan APBN kita mengingat pemerintah juga akan disibukkan oleh agenda melanjutkan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan makan bergizi gratis.  

Kedua, BPJS Kesehatan harus mengaudit tindakan-tindakan medis yang diklaim kepadanya. Ini demi mencegah tindakan medis tidak perlu kepada pasien.

Ketiga, rencana penghentian pelayanan publik seperti perpanjangan SIM atau STNK bagi penunggak iuran mesti mulai diimplementasikan guna memudahkan kolektibilitas iuran peserta. Juga, BPJS Kesehatan wajib menggencarkan sosialisasi program REHAB (rencana pembayaran bertahap) kepada masyarakat yang menunggak iuran.  

Keempat, BPJS Kesehatan perlu mengoptimalkan layanan promotif dan preventif di FKTP dalam rangka mengedukasi masyarakat mengenai langkah-langkah menjaga kesehatan, seperti sosialisasi gaya hidup sehat dan pemberian vitamin secara berkala. Jika masyarakat bisa menjaga kesehatan, tingkat kunjungan ke FKTP dan FKTL akan menurun sehingga mengurangi potensi defisit. Seiring dengan itu, pemerintah bisa meningkatkan alokasi dana kapitasi ke FKTP untuk kepentingan tindakan promotif dan preventif semacam itu. 

Kelima, mengingat banyak pasien yang berobat adalah penderita penyakit degeneratif akibat rokok dan minuman ringan tinggi gula, pemerintah harus menggenjot penerimaan dari cukai rokok-elektrik maupun konvensional-dan minuman ringan guna menutupi defisit JKN.  

Keenam, data BPJS Kesehatan menunjukkan selama periode 2018-2022, anggaran yang ditanggung untuk penyakit respirasi (pernapasan) mencapai angka signifikan dan meningkat tiap tahunnya. Pneumonia menelan biaya sebesar Rp8,7 triliun, tuberkulosis (TBC) Rp5,2 triliun, Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) Rp1,8 triliun, asma Rp1,4 triliun, dan kanker paru Rp766 miliar. Angka-angka ini tentu akan bertambah seiring penurunan kualitas udara akibat perburukan polusi. Karena itu, pemerintah perlu memberlakukan pajak karbon kepada industri penghasil emisi karbon dan mengalokasikan sebagian dana itu untuk membiayai JKN.

Ketujuh, seperti sempat penulis kemukakan dalam artikel sebelum ini di Kompasiana juga, pemerintah bisa mempertimbangkan penerbitan obligasi infrastruktur kesehatan yang uangnya bisa untuk menambal defisit JKN secara sementara.

Berbekal ketujuh langkah di atas, negara bisa mendapatkan ruang maupun waktu yang lebih lapang untuk memastikan keberlanjutan JKN dalam memberikan pelayanan berkualitas, bermartabat, dan bermanfaat bagi masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun