Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) dalam bahaya. Ada dua pernyataan yang mengindikasikan hal itu. Pertama, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Ali Mukti memberikan pengakuan akan adanya potensi defisit JKN lantaran klaim yang semakin melonjak sementara iuran bergerak lebih lambat. Kedua, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga sempat mengemukakan anjuran supaya masyarakat mulai memikirkan membeli asuransi swasta sebagai pelengkap jika ada layanan kesehatan yang tak ter-cover oleh JKN.
 Belum lagi keputusan Presiden Joko Widodo pada 8 Mei 2024 lalu menandatangani Perpres 59/2024 yang memberlakukan sistem Kamar Rawat Inap Standar (KRIS) menggantikan kelas 1, 2, dan 3. Sebab, keputusan ini secara logis akan bermuara pada penyeragaman premi untuk semua warga. Alhasil, warga yang selama ini mengiur untuk kelas 1 dan 2 bisa saja menikmati penurunan premi, sementara warga peserta kelas 3 harus merasakan kenaikan premi. Padahal, dengan premi saat ini yang sebesar Rp 35.000 saja (Rp 42.500 dikurangi subsidi pemerintah Rp 7.000 per peserta) sudah membuat banyak peserta kelas 3 menunggak, apalagi jika iuran premi dinaikkan. Ujung-ujungnya, tunggakan premi membengkak dan ini berpotensi menjerembabkan BPJS Kesehatan ke lubang defisit yang dapat membahayakan keberlanjutan JKN. Â
Hulu defisit
Karena itu, keberlanjutan JKN perlu menjadi agenda prioritas. Apalagi, JKN sebenarnya berperan penting dalam membantu pertumbuhan ekonomi alih-alih dianggap sebagai beban fiskal negara. Sebab, mengutip Sulastomo dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (Penerbit Kompas, 2003), program jaminan kesehatan membuat masyarakat bisa merealokasikan dana dari pengeluaran kesehatan ke pengeluaran konsumtif yang menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
 Kita bisa mulai dari hulu potensi defisit JKN. Merujuk kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang JKN (Majalah Tempo, edisi 6-13 Juli 2020). KPK memetakan sejumlah faktor penyumbang defisit program JKN. Pertama, lemahnya sistem penagihan iuran peserta oleh BPJS Kesehatan. Kedua, sejumlah peserta mandiri mulai menunggak iuran saat sudah sembuh.Â
Ketiga, manfaat klaim terlalu luas sehingga memicu kenaikan biaya klaim. Keempat, dugaan fraud berupa layanan berlebihan dan klaim ganda maupun fiktif fasilitas kesehatan mitra. Kelima, lemahnya sistem verifikasi BPJS Kesehatan. Sebagai contoh, KPK menemukan adanya pasien laki-laki yang didiagnosis hamil dan melahirkan secara Caesar.Â
Di luar itu, penulis bisa menambahkan faktor keenam. Yaitu, masih mudahnya fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) mengeluarkan surat rujukan ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL) rumah sakit untuk penyakit-penyakit yang sebetulnya masih bisa diobati di FKTP. Â
Keenam hulu masalah di atas tentu perlu dibenahi untuk memastikan keberlanjutan JKN. Untuk itu, ada tujuh solusi.
Solusi
Pertama, seiring penerapan KRIS, pemerintah harus meracik skema iuran yang pas dengan besaran yang rasional dan sesuai dengan kemampuan ekonomi rakyat. Kemudian, pemerintah bisa menambah jumlah peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) untuk memastikan kelancaran aliran premi dari pemerintah ke kantung BPJS Kesehatan demi menghalau defisit. Tentu, ini perlu dilakukan secara cermat dengan memperhatikan ketahanan APBN kita mengingat pemerintah juga akan disibukkan oleh agenda melanjutkan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan makan bergizi gratis. Â