Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Intervensi dalam Pasar Bebas, Boleh Atau Tidak Sebenarnya?

25 Januari 2025   19:49 Diperbarui: 25 Januari 2025   19:49 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alan Greenspan, Chairman the Fed AS yang dianggap menjadi salah satu biang keladi krisis finansial global 2008 (Sumber: Wikipedia)

Kapitalisme sudah kadung dikenal sebagai suatu ideologi dan sistem di mana pemerintah atau negara harusnya mengambil sikap laissez-faire atau intervensi seminimal mungkin untuk mengoptimalkan kinerja invinsible hand yang mengatur mekanisme
pasar. Karena itu, kata intervensi, dalam hal ini oleh negara, selalu dipandang penuh cemooh dan dicerca oleh para pembela pasar bebas. 

Namun, sejumlah krisis finansial, terutama krisis finansial 2008, telah memberi tamparan telak bahwa mekanisme pasar bebas yang
dimotori keserakahan---pernah didefinisikan oleh ekonom kondang Lester C. Thurow sebagai the desire to have more, however much one already has alias 'hasrat untuk memiliki lebih banyak lagi tak peduli betapa banyak harta yang sudah dimilikinya'---telah
menghempaskan dunia dan nasib jutaan manusia ke dalam jurang kenestapaan.

Dua mazhab intervensi

Padahal, intervensi dalam kapitalisme sejatinya bukan barang haram. Tak kurang dari ekonom pemenang Nobel Joseph Stiglitz menyatakan bahwa intervensi pemerintah sebenarnya dapat dibenarkan sepanjang ia bertujuan memfasilitasi, bukan menggantikan,
mekanisme pasar. 

Sejarah ekonomi pun sebenarnya telah memverifikasi pernyataan Stiglitz ini dengan menunjukkan adanya dua mazhab tentang intervensi. Pertama, mazhab intervensi dalam bentuk state-owned enterprises atau badan usaha milik negara (BUMN). Apabila
BUMN diasumsikan dapat menunjukkan kinerja seefisien perusahaan swasta, maka BUMN---yang memiliki tujuan berbeda dengan swasta---dapat beroperasi pada harga sama dengan biaya rata-rata jangka panjang dengan keluaran lebih baik dibandingkan
mekanisme pasar. Mazhab ini diyakini oleh negara Eropa dan sebagian besar negara berkembang. Kedua, mazhab yang meyakini intervensi melalui regulasi. Berdasarkan mazhab ini, intervensi dilakukan lewat regulasi dengan mengenakan pajak atau subsidi. Mazhab ini dianut oleh Amerika Serikat (AS).

Makanya, ketika krisis finansial global yang berpusat di AS terjadi pada 2007-2008, intervensi dalam sistem pasar bebas tidak lagi dicerca. Tujuannya, untuk menyelamatkan nasib warga negara secara keseluruhan. Sebagai contoh, AS harus menggelontorkan dana bailout dari pembayar pajak untuk menyelamatkan berbagai firma finansial, perusahaan asuransi, dan sektor industri yang mengalami kebangkrutan karena tanpa itu banyak orang akan menganggur dan kehilangan pendapatan. AS juga menggembar-gemborkan slogan berbau proteksionisme "Buy America" yang menganjurkan warganya untuk membeli produk-produk industri dalam negeri Amerika sendiri untuk merangsang dan menggairahkan industri manufaktur mereka.  

Dilema Negara dan Pasar

Sebenarnya, perdebatan tentang intervensi melibatkan tarik menarik atau dilema klasik antara negara dan pasar. Negara di satu sisi mengambil peran sebagai pengawas pengatur, dan kadang pengikut campur---kata lain dari intervensi---sementara pasar
mewakili peran sebagai wahana di mana ikhtiar bebas individu bermain. Wajar saja, jika keduanya dipandang secara ekstrem, keduanya memiliki posisi yang dipersepsikan berseberangan dan tak terjembatani.

Padahal, tidak ada tipe ideal intervensi negara total atau kebebasan mekanisme pasar pervasif dalam realita. Sebagaimana diuraikan secara bernas oleh mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam wawancaranya dengan Prisma ("Carilah
Keseimbangan antara Peran Negara dan Pasar", Prisma 1, 2009), selalu ada gradasi mengenai peran negara versus peran individual (baca: pasar) dalam melaksanakan akumulasi kekayaan atau kapital. Di dalam negara kapitalis, pasti negara mesti memegang peranan, seperti membangun infrastruktur di daerah-daerah terpencil yang dijauhi investor swasta karena margin labanya yang tidak prospektif. Pun di dalam negara komunis, selalu ada ruang-ruang buat kegiatan ekonomi perorangan, seperti kepemilikan
properti untuk dipakai dan menghidupi kehidupan mereka. Karena itu, intervensi negara pastilah mesti terjadi dalam gradasi tertentu dalam sistem kapitalis yang menganut doktrin pasar bebas.

Moral hazard
Sayangnya, intervensi memang mengundang risiko yang persis diemohi oleh para pengusung doktrin laissez-faire. Risiko itulah yang kerap disebut dengan moral hazard alias kebangkrutan moral oleh oknum. Misalnya saja, dana miliaran dolar yang dikucurkan pemerintah AS kepada para firma finansial dan perusahaan asuransi ---yang nota bene penyebab krisis domestik Amerika---justru dihamburkan untuk membayar bonus bagi para eksekutifnya yang lantas berfoya-foya.

Akan tetapi, penerapan pasar bebas pun subur dengan moral hazard, terutama tanpa diiringi dengan pemerintahan yang bersih dan kompeten. Misalnya, Rusia pada era demokrasi di bawah Boris Yeltsin pada 1980-an akhir dan 1990-an awal berusaha mengubah diri dari sosialisme menjadi kapitalisme dan mulai melakukan privatisasi. Namun, karena perubahan sistem itu tidak didukung oleh pemerintahan yang baik, aset-aset negara justru jatuh ke tangan kroni-kroni penguasa dengan harga sangat murah.

Catatan lain lagi, penerapan pasar bebas tanpa regulasi yang memadai sama mengerikan dampaknya. Sudah sering kita baca dari banyak media bahwa liarnya pergerakan instrumen sekuritas derivatif merusak perekonomian Amerika diakibatkan
oleh kebebalan Alan Greenspan untuk menolak pengaturan instrumen seperti itu atas nama menjunjung tinggi pasar bebas. Tak kurang sampai dua kali Greenspan menolak pengaturan tersebut. Yang pertama, pada September 2002, Greenspan menampik
proposal Kongres untuk mengatur transaksi derivatif. Justru Greenspan menakuti Kongres dengan kalimat, "this proposal would limit this contribution, thereby, increasing the vulnerability of our economy to potential future stress. We don't believe a public
policy case exists to justify this governmental intervention."

Setahun kemudian Kongres mencoba kembali mengajukan proposal yang sama hanya untuk ditolak lagi oleh Greenspan. Barulah pada akhir Oktober 2008, sebagaimana dikutip dari Tsunami Finansial karya M. Ma'ruf (Hikmah, 2009), Greenspan mengakui kekhilafannya dan berkata penuh nada sesal, "saya membuat kesalahan dalam memperhitungkan bahwa organisasi yang
memiliki kepentingan sendiri semacam bank dan lainnya adalah dalam kapasitas terbaik untuk melindungi pemegang saham dan ekuitas". Singkatnya, ia mengaku salah telah memercayai bahwa transaksi derivatif macam CDS tidak memerlukan aturan dan bahkan tidak perlu dipajaki. Dengan kata lain, intervensi negara dalam konteks transaksi derivatif semestinya sudah dilakukan sejak jauh-jauh hari.

Akhir kata, sebenarnya yang perlu dilakukan bukanlah memperdebatkan intervensi dalam kapitalisme, melainkan bagaimana caranya meminimalkan risiko moral hazard. Setidaknya, ada dua cara yang bisa ditempuh. Pertama, memperketat regulasi. Dalam dunia perbankan, misalnya, menerapkan kebijakan blanket guarantee bagi simpanan seluruh nasabah akan potensial
menyebabkan moral hazard karena bank bisa seenaknya mengelola bank mereka sebab toh pemerintah akan menanggung dana nasabah mereka pun jika bank mereka bangkrut.

Kedua, mengoptimalkan penegakan hukum. Caranya, menjatuhkan sanksi tegas bagi para pelaku moral hazard karena telah mencoba mengail untung besar dari program yang sedianya dialokasikan untuk mensejahterakan atau menjamin keamanan masyarakat luas.
Kalau perlu, sanksi itu dapat berupa hukuman minimal seumur hidup. Dengan demikian,penerapan intervensi terseleksi dalam kapitalisme tidak perlu lagi dicerca, melainkan dibela.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun