Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kenali Tiga Konsep Revisi terhadap Kapitalisme

24 Januari 2025   23:42 Diperbarui: 24 Januari 2025   22:27 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bill Gates pada 2024 (sumber: Wikipedia)

Tak bisa dimungkiri bahwa tata ekonomi dunia saat ini didominasi oleh paham kapitalisme neoliberal atau neoliberalisme. Inilah paham yang mengutamakan rasionalitas, pertumbuhan ekonomi, dan penyebarluasan pola pikir ekonomi ke semua bidang, publik maupun privat (Francis Wahono, Neoliberalisme, 2010). 

Sayangnya, penerapan neoliberalisme menimbulkan masalah berupa kesenjangan sosial yang dalam, di mana saat ini diperkirakan 10 persen orang terkaya menguasai 90 persen kue ekonomi dunia. Hasilnya adalah kemiskinan global. Karena itulah banyak kritik tertuju pada kapitalisme neoliberal, termasuk dari pelaku kapitalisme itu sendiri.

Tiga ikhtiar

Setidaknya ada tiga ikhtiar merevisi kapitalisme global. Pertama, kapitalisme kreatif yang digagas Bill Gates. Dalam artikelnya di majalah Time edisi 30 Juli 2008 ("Making Capitalism More Creative"), Gates mengemukakan bahwa di era krisis yang penuh dengan ketidakpastian dan penderitaan di mana-mana, diperlukan suatu versi kapitalisme bernama kapitalisme kreatif. Definisinya, upaya untuk meluaskan jangkauan pasar supaya perusahaan kapitalis dapat memetik manfaat saat mereka mengerahkan upaya yang ikut membantu mengatasi kesulitan seseorang.

Menurut Gates, kapitalisme kreatif memiliki dua ciri utama. Pertama, perusahaan kapitalis pasti mau membantu upaya mengatasi masalah dunia. Kedua, perusahaan kapitalis akan mewujudkan itu asalkan hal tersebut bisa juga mendatangkan manfaat, seperti laba dan juga pengakuan (recognition) brand perusahaan---hal terakhir ini sering disebut sebagai aset tak berwujud (intangible assets). Ibarat kata, sambil menyelam minum air. 

Nah, mencari upaya yang bisa mencetak laba dan mengatasi masalah dunia itulah yang disebut kreatif. Sebagai contoh, sebuah perusahaan dapat membuat produk yang sebagian besar royaltinya digunakan untuk membantu kelaparan atau AIDS, tapi margin non-royaltinya cukup memadai bagi perusahaan untuk menggemukkan laporan keuangannya. Selain itu, perusahaan pun mampu menghimpun aset tak berwujud (intangible assets) berupa pengakuan luas dari publik. Dalam konteks upaya kreatifnya ini, perusahaan kapitalis kemudian menjadi pelengkap bagi upaya pemerintah dan NGO (LSM) dalam mengatasi masalah-masalah nyata kehidupan.

Kedua, kapitalisme mawas-diri (conscious capitalism) yang dicetuskan John Mackey, CEO perusahaan ritel makanan terkemuka dunia, Whole Foods. Sekaligus, konsep ini adalah kritik terhadap konsep kapitalisme kreatif Bill Gates. Menurut Mackey (2008), konsep perusahaan kapitalis sebagai suplemen bagi pemerintah tidaklah feasible (layak). Sebagai gantinya, ia menawarkan apa yang ia sebut kapitalisme mawas-diri alias conscious capitalism. Yaitu, kapitalisme yang mampu menumbuhkan kesadaran kemanusiaan dalam dirinya sendiri dalam artian memaksimalkan kebebasan dalam masing-masing individu. Sebab, tanpa kesadaran seemacam itu, kapitalisme hanya akan menjadi sistem bengis dan rakus.

Sejatinya, pemikiran Mackey ini adalah modifikasi dari kapitalisme etis yang digagas Adam Smith. Dalam Theory of Moral Sentiments (1959), Smith beranggapan manusia memiliki simpati atau sentimen moral terhadap sesamanya. Pada gilirannya, ini akan menciptakan satu masyarakat yang harmonis. Sebab, andaikata seseorang bersimpati terhadap sesamanya, ia akan mengendalikan egonya dan tidak akan kebablasan mengejar kepentingan pribadi..

Singkat kata, kapitalisme versi Smith yang direvisi Mackey adalah kapitalisme etis yang mengasumsikan manusia kapitalis sebagai homo socius (makhluk sosial) sekaligus homo ethicus (makhluk etis).  

 Ketiga, kapitalisme refleksif yang dilontarkan oleh George Soros. Sebagaimana diungkapkan Soros dalam bukunya The Age of Fallibility (2006), kapitalisme refleksif mengkritik teori korespondensi yang mengatakan pengetahuan itu dikatakan benar jika ia berkorespondensi dengan fakta. Misalnya, pernyataan "Saat ini hujan" dikatakan benar jika ia berkorespondensi dengan fakta bahwa memang saat ini sedang hujan di luar. 

Bagi Soros, teori seperti ini mengasumsikan adanya perpisahan antara pikiran dan realitas. Padahal, manusia saat mengkognisi realitas juga melibatkan dirinya dalam membentuk realitas itu. Dalam bahasa Soros, keterlibatan itu disebut sebagai partisipasi, untuk membedakan diri dengan kognisi yang mencoba memahami realitas. Kedua fungsi itulah yang lantas membentuk konsep refleksivitas manusia dalam menggapai realitas. 

 Alhasil, tidak ada lagi kepastian dalam realitas mengingat realitas juga dipengaruhi oleh penafsiran subyektif, distorsi ide, spekulasi, dan lain-lain dari pemikiran sang pengkognisi. 

  Berdasarkan konsep refleksivitas yang menepis teori korespondensi pengetahuan ini, maka situasi-situasi yang ada kerap kali merupakan situasi jauh-dari-keseimbangan. Contoh konkret adalah gelembung raksasa sektor perumahan pada 2008 terjadi karena ulah serakah (baca: fungsi partisipasi) para pemasar dan bank yang menurunkan standar pinjaman dan memperkenalkan produk baru seperti suku bunga promosi yang memperkuat spekulasi sekaligus mengakibatkan ledakan konsumsi. Hasilnya adalah sebuah situasi-jauh-dari-keseimbangan dalam bentuk krisis yang meledak dua tahun setelah Soros menulis bukunya.

Dengan kata lain, kapitalisme refleksif Soros mirip dengan kapitalisme mawas-diri Mackay yang memanggulkan beban etis pada pundak manusia supaya tidak menjadi manusia kapitalis yang serakah dan menghalalkan segala cara demi laba.  

Jalan Tengah

       Sejatinya, fitrah kapitalisme adalah keserakahan dan inilah yang menjadi akar kesenjangan global saat ini. Gates ingin menyalurkan keserakahan itu ke arah positif dengan merangsang pemikiran kreatif demi mencari satu produk yang dapat memenuhi tujuan profitabilitas sekaligus kemanusiaan. Sementara itu, Mackey dan Soros mengatakan bahwa alih-alih disalurkan ke arah positif, keserakahan itu sendiri harus dikendalikan.  

 Beranjak dari sini, kita bisa melihat ketiga versi revisi kapitalisme pasca-krisis di atas sebenarnya punya kelemahan. Di satu sisi, kapitalisme kreatif masih menyimpan watak keserakahan built-in di dalamnya. Sementara, kapitalisme mawas-diri dan kapitalisme refleksif Mackey dan Soros agak utopis karena mensyaratkan revolusi kesadaran sukarela dalam diri manusia. 

Maka itu, jalan tengah mesti dirumuskan, yaitu versi kapitalisme yang merangkul ikhtiar individu atau pasar seraya memastikan negara mengendalikan sebagian kekayaan yang diciptakan pasar. 

Berdasarkan skema ini, negara menjamin pengejaran kepentingan pribadi warga negara atau swasta asalkan itu ditujukan demi kepentingan masyarakat. Pendeknya, keserakahan kapitalisme kreatif versi Gates dikendalikan oleh regulasi negara

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun