Di tengah deretan permasalahan yang begitu banyak mendera bangsa ini, mulai dari bencana alam hingga kemiskinan dan korupsi, masyarakat Indonesia tentu mendambakan sosok pemimpin ideal di berbagai tingkatan, mulai dari organisasi, pemimpin daerah, hingga elit politik nasional. Pertanyaannya, bagaimanakah karakter pemimpin ideal itu? Kita bisa belajar dari buku novel Taiko karya Eiji Yoshikawa dari Jepang.
Tiga karakter
Boleh dibilang, Jepang berabad-abad yang lalu---tepatnya pada abad ke-16 M---mengalami masalah serupa dengan Indonesia masa kini: kemiskinan di mana-mana, pupusnya rasa persaudaraan antar sesama warga, konflik berkepanjangan di seantero negeri, ketidakpuasan daerah terhadap pemerintahan pusat, dan kriminalitas yang merajalela. Untungnya, di tengah prahara itu, muncul tiga sosok bintang kejora yang merintis apa yang disebut "Zaman Keemasan" di Jepang. Mereka adalah Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, dan Tokugawa Ieyasu. Di bawah kepemimpinan tiga orang ini, yang sejatinya juga penuh intrik antara sesama mereka, Jepang perlahan mampu mengatasi berbagai masalah dan bangkit sebagai negara besar.
 Uniknya lagi, ketiga tokoh ini memiliki kepribadian dan gaya kepemimpinan yang sangat bertolak belakang. Sebagai ilustrasi, Eiji Yoshikawa dalam novel epik Taiko (Gramedia, 1994) menuturkan ada satu sajak menarik yang dikenal semua anak sekolah Jepang. Bunyi sajak itu adalah: Bagaimana jika seekor burung tidak mau berkicau? Nobunaga menjawab, "Bunuh burung itu!"; Hideyoshi menjawab, "Buat burung itu ingin berkicau"; sementara Ieyasu menjawab, "Tunggu."
 Sajak ini begitu jitu menggambarkan tiga karakter ideal seorang pemimpin. Pertama, Nobunaga memiliki pendekatan kepemimpinan yang ekstrem, mengandalkan karisma pribadi, namun brutal. Singkatnya, karakter kepemimpinan Nobunaga adalah tegas, represif-koersif alias tidak segan menggunakan cara kekerasan, dan berwatak militeristis.
 Kedua, Hideyoshi mengutamakan gaya kepemimpinan yang ingin menjadikan saingan menjadi teman dan musuh menjadi sekutu. Dengan kata lain, karakter kepemimpinan Hideyoshi adalah akomodatif, mengandalkan hubungan emosional, dan persuasif dengan memberikan penekanan utama pada konsesi dan negosiasi demi membangun satu koalisi.
 Ketiga, Ieyasu mewakili watak kepemimpinan yang tenang, berhati-hati, bijaksana, berani di medan perang, dan dewasa. Artinya, karakter kepemimpinan Ieyasu adalah kalkulatif, mengandalkan perhitungan cermat dan observasi mendalam, serta penuh pertimbangan sebelum bertindak.
 Mengejutkannya lagi, tiga karakter ini terbukti relevan bahkan di dunia kepemimpinan modern, termasuk di bidang politik. Kate Ludeman dalam Alpha Male Syndrome (Serambi, 2008) mengungkapkan tipe kepemimpinan bisa dibagi menjadi tipe komandan, visioner, strategis, dan eksekutor. Jika kita petakan dalam gaya kepemimpinan trio pemimpin legendaris Jepang di atas, Nobunaga mewakili tipe kepemimpinan komandan, Hideyoshi merepresentasikan tipe kepemimpinan visioner, dan Ieyasu melambangkan tipe kepemimpinan strategis-eksekutor.
Konteks Indonesia
Pertanyaannya sekarang, bagaimana membumikan inspirasi di atas dalam konteks Indonesia? Kita bisa lihat bahwa tipe kepemimpinan di atas memiliki perwakilannya juga di Indonesia. Sebagai contoh di bidang politik, Soeharto persis merupakan tokoh yang memiliki tipe kepemimpinan komandan dengan orientasi kebijakannya yang bercorak represif demi menjamin kestabilan politik.Â
Sayangnya, kelemahan gaya kepemimpinan ini adalah dalam jangka panjang dia akan melahirkan perlawanan balik dari pihak-pihak yang tidak suka kepadanya. Ini persis seperti yang dialami Nobunaga ketika dia tewas terbunuh oleh salah seorang bawahannya yang sakit hati oleh perlakuan brutal sang pemimpin. Di Indonesia juga, kita lihat betapa Soeharto akhirnya harus turun tahta secara kurang terhormat.
 Selanjutnya, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur adalah sosok yang menjalankan kepemimpinan visioner yang memang emosional dan mengandalkan pendekatan kultural. Kita bisa lihat di awal pemerintahannya, Gus Dur membentuk Kabinet Persatuan yang mengakomodasi partai-partai politik pengusungnya di Poros Tengah dan kerap tidak mau mengambil pendekatan konfrontatif terhadap pihak-pihak yang dianggap berseberangan dengan rakyat kala itu, seperti mantan penguasa, para pengusaha hitam yang sudah menikmati fasilitas utang dari negara, dan lain sebagainya.Â
Titik lemah dari gaya kepemimpinan ini adalah ia lembek dalam eksekusi dan gampang melahirkan para pengkhianat yang lantas menikam sang pemimpin dari belakang. Ini jugalah yang terjadi tatkala klan Toyotomi Hideyoshi, yang dipimpin oleh Ishida Mitsunaeri sepeninggal Hideyoshi, harus mengalami kekalahan di Pertempuran Sekigahara oleh pasukan seorang pemimpin yang sudah dianggap sebagai sekutu loyalnya, Ieyasu Tokugawa. Persis seperti Gus Dur yang akhirnya "ditelikung" oleh pihak yang justru di awal mengusungnya ke kursi kepresidenan.Â
Kemudian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan personifikasi bagi gaya kepemimpinan strategis-eksekutor. Ia memang mampu mengeluarkan langkah-langkah konkret, tapi sering kali dalam kurun waktu yang lama sehingga kebijakannya kerap kurang relevan atau kehilangan momentum. Akibatnya, pengamal gaya kepemimpinan ini dianggap plin-plan, tidak tegas, dan kurang efektif membekaskan dampak nyata bagi bawahannya. Sebagaimana kita tahu, memang itulah tuduhan yang sering ditujukan kepada Ketua Umum Partai Demokrat ini.
Oleh karena itu, karakter pemimpin ideal haruslah memiliki  "paket komplet" yang merangkum ketiga gaya kepemimpinan di atas. Pendek kata, pemimpin ideal harus memiliki ketegasan berkarisma, kemampuan persuasi dan negosiasi yang baik, serta ketangkasan bertindak disertai pemikiran mendalam.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI