Demokrasi dalam alam pikir masyarakat Indonesia adalah semacam mitos Ratu Adil. Sesudah lama tersekap kepemimpinan otoriter rezim Orde Baru, orang beranggapan demokrasi akan membereskan seluruh masalah negeri ini. Nyatanya, setelah hampir 27 tahun menginjak era Reformasi, perjalanan demokrasi kita masih belum membawa perbaikan signifikan. Bahkan sebaliknya, kita justru melihat setumpuk masalah yang kian kronis, seperti korupsi yang semakin merajalela, tingkat kesenjangan pendapatan yang masih tajam, kuasa oligarki modal yang kian menjadi-jadi, dan sebagainya.Â
Parahnya lagi, salah satu pilar terpenting demokrasi, yaitu partai politik, malah menjadi episentrum alih-alih pemecah masalah. Korupsi di tingkat partai, dan badan legislatif yang terdiri dari perwakilan partai, begitu sering terjadi. Sudah jadi rahasia umum pula bahwa demokrasi berbiaya tinggi kerap dinisbatkan pada ulah partai-partai yang jamak meminta "mahar" tinggi untuk pencalonan. Belum lagi ulah partai politik yang sering memainkan isu-isu politik panas hanya demi tawar-menawar posisi. Akibatnya, sindrom tidak percaya partai alias deparpolisasi mulai merambat masuk ke dalam hati banyak warga. Wajar jika orang bertanya: benar-benar cocokkah demokrasi yang kita jalankan sekarang dengan kebudayaan kita?Â
Belajar dari sejarah
Kita tentu tahu pemeo, "Demokrasi memang tidak sempurna, tapi dia tetap sistem terbaik dari sistem-sistem yang ada." Artinya, demokrasi seolah-olah menjadi "agama" karena jika terjadi masalah dalam demokrasi, yang disalahkan adalah proses dan aktor-aktor demokrasinya, bukan demokrasi itu sendiri. Atau, kalau meminjam istilah I. Wibowo dalam Negara Bandit dan Demokrasi (Penerbit Kompas, 2010), kita kerap menyalahkan waktu dengan berkata 'demokrasi kita masih muda, beri dia waktu untuk matang.'
Padahal, sejarah bangsa kita menunjukkan betapa demokrasi liberal yang sempat kita jalankan pada Orde Lama ternyata memajan kita dengan masalah sama seperti yang kita hadapi sekarang ini.
Misalnya saja, Bung Karno pernah begitu jengkel dengan ulah partai-partai hingga dia ingin membubarkan partai politik. Dalam pidatonya, "Marilah Kita Kubur Partai-Partai" (1956), Soekarno mengungkapkan kegeramannya betapa partai-partai saling menyikut satu sama lain sehingga Indonesia dilanda penyakit kepartaian yang bobrok, menghasilkan ketidakstabilan dan kemerosotan akhlak negara.Â
Bung Hatta pun juga jengkel melihat para politisi mempraktikkan "ultra demokrasi" ("Demokrasi Kita", Panji Masyarakat, 1960) yang cuma menghasilkan jatuh-bangunnya berbagai kabinet dalam hitungan bulan. Hanya saja, kedua tokoh ini bersilang jalan soal cara mengatasi masalah partai politik tersebut. Apabila Soekarno menggagas Demokrasi Terpimpin sebagai solusi, Hatta sekadar mengusulkan pembenahan partai itu sendiri. Solusi pertama telah terbukti gagal dalam sejarah, sementara solusi kedua sudah kita coba selama 27 tahun ini dan, lagi-lagi, belum juga membuahkan hasil menggembirakan. Â
Mana Lebih Baik?Â
Maka itu, bukankah sekarang saat yang tepat bagi kita untuk merenungkan kembali solusi "Hattaian" yang mengedepankan pembenahan alias "reformasi" dan mengkaji secara lebih jernih lagi solusi "Soekarnoian" yang mengutamakan pentingnya pemimpin kuat dan baik hati seperti philosopher-king Plato? Sebab, jangan-jangan solusi terakhir tersebut memang lebih cocok dengan kultur kita, hanya saja pelaksanaannya oleh Soekarno waktu itu tidak berjalan dengan baik. Bahkan, setidaknya ada dua pemikir kaliber yang memberikan alasan logis bagi solusi "Soekarnoian" tersebut.
Pertama, Ismail Suny dalam disertasinya Pergeseran Kekuasaan Eksekutif (1963) mengungkapkan kejengahannya terhadap ketidakstabilan politik akibat pelaksanaan Demokrasi Parlementer. Sehingga, Suny kemudian berpendapat demokrasi liberal telah gagal karena tidak cocok dengan kultur Indonesia. Â
Suny lalu menyimpulkan bahwa Demokrasi Terpimpin secara ketatanegaraan adalah corak demokrasi terbaik bagi Indonesia, mengamini pemikiran integralistik Supomo yang menekankan kedaulatan sebagai kedaulatan negara bukannya kedaulatan rakyat. Sebab, negara memiliki kapasitas sebagai bapak dan pengayom, yang mewujud dalam konsep Demokrasi Terpimpin sebagai demokrasi yang dipandu seorang Bapak (orang kuat seperti Soekarno) yang menjadi personifikasi negara. Dari sinilah, kita paham melalui Suny bahwa kegagalan demokrasi liberal telah menyebabkan pendulum ketatanegaraan condong ke arah eksekutif (executive heavy), hal yang berlanjut sampai era Suharto hingga 1998.
Kedua, setali tiga uang dengan Suny, sosiolog senior Selo Soemardjan dalam "Demokrasi Terpimpin dan Tradisi Kebudayaan Kita" (1961) mengatakan upaya penggantian sistem pemerintahan kolektif seperti dalam demokrasi liberal dengan pemerintahan terpimpin sebenarnya mudah diterima rakyat karena sejarah Indonesia memang lebih banyak dipenuhi oleh raja, sultan, dan penguasa-penguasa absolut lainnya yang oleh masyarakat dianggap sebagai mediator antara dunia dan kekuatan kosmologi penguasa kehidupan manusia dan masyarakat.Â
Jadi, masyarakat mempercayakan semua kekuasaan kepada penguasa absolut itu seraya mengharapkan kekuasaan itu digunakan untuk kesejahteraan manusia. Pendek kata, meski tak memungkiri bahwa demokrasi terpimpin---solusi "Soekarnoian"---mencabut hak-hak dasar politik, Soemardjan menyatakan bahwa konsep primus inter pares (orang utama di antara para sesama) yang disiratkan oleh Demokrasi Terpimpin itu sejatinya lebih cocok untuk Indonesia.Â
Dalam konteks sekarang, misalnya, kita patut merenungkan: apakah pemerintahan Prabowo - Gibran yang didukung oleh nyaris semua partai politik di parlemen minus PDIP-yang bisa saja kemudian bergabung-adalah varian lain dari solusi Soekarnoian? Jika iya, apakah varian itu akan ideal dan tidak akan melahirkan anomali bernegara yang lain?
Akhirul kalam, perjalanan sejarah kita telah memampangkan bahwa kedua solusi terhadap "penyakit" demokrasi kepartaian, yaitu solusi "Soekarnoian" dan "Hattaian" sama-sama menghasilkan kegagalan. Hanya saja, patut dipertanyakan apakah kegagalan tersebut terletak pada aras konsep atau aras pelaksanaan. Jika hal pertama yang terjadi, kita perlu meninjau kembali konsep demokrasi mana yang lebih tepat secara filosofis: konsep Soekarno atau Hatta. Namun, jika kita meyakini hal kedua, kita juga patut menanyakan pelaksanaan konsep mana yang menyimpang. Singkat kata, kita tampaknya memang perlu melakukan refleksi serius lagi tentang haluan berpolitik kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H