Suny lalu menyimpulkan bahwa Demokrasi Terpimpin secara ketatanegaraan adalah corak demokrasi terbaik bagi Indonesia, mengamini pemikiran integralistik Supomo yang menekankan kedaulatan sebagai kedaulatan negara bukannya kedaulatan rakyat. Sebab, negara memiliki kapasitas sebagai bapak dan pengayom, yang mewujud dalam konsep Demokrasi Terpimpin sebagai demokrasi yang dipandu seorang Bapak (orang kuat seperti Soekarno) yang menjadi personifikasi negara. Dari sinilah, kita paham melalui Suny bahwa kegagalan demokrasi liberal telah menyebabkan pendulum ketatanegaraan condong ke arah eksekutif (executive heavy), hal yang berlanjut sampai era Suharto hingga 1998.
Kedua, setali tiga uang dengan Suny, sosiolog senior Selo Soemardjan dalam "Demokrasi Terpimpin dan Tradisi Kebudayaan Kita" (1961) mengatakan upaya penggantian sistem pemerintahan kolektif seperti dalam demokrasi liberal dengan pemerintahan terpimpin sebenarnya mudah diterima rakyat karena sejarah Indonesia memang lebih banyak dipenuhi oleh raja, sultan, dan penguasa-penguasa absolut lainnya yang oleh masyarakat dianggap sebagai mediator antara dunia dan kekuatan kosmologi penguasa kehidupan manusia dan masyarakat.Â
Jadi, masyarakat mempercayakan semua kekuasaan kepada penguasa absolut itu seraya mengharapkan kekuasaan itu digunakan untuk kesejahteraan manusia. Pendek kata, meski tak memungkiri bahwa demokrasi terpimpin---solusi "Soekarnoian"---mencabut hak-hak dasar politik, Soemardjan menyatakan bahwa konsep primus inter pares (orang utama di antara para sesama) yang disiratkan oleh Demokrasi Terpimpin itu sejatinya lebih cocok untuk Indonesia.Â
Dalam konteks sekarang, misalnya, kita patut merenungkan: apakah pemerintahan Prabowo - Gibran yang didukung oleh nyaris semua partai politik di parlemen minus PDIP-yang bisa saja kemudian bergabung-adalah varian lain dari solusi Soekarnoian? Jika iya, apakah varian itu akan ideal dan tidak akan melahirkan anomali bernegara yang lain?
Akhirul kalam, perjalanan sejarah kita telah memampangkan bahwa kedua solusi terhadap "penyakit" demokrasi kepartaian, yaitu solusi "Soekarnoian" dan "Hattaian" sama-sama menghasilkan kegagalan. Hanya saja, patut dipertanyakan apakah kegagalan tersebut terletak pada aras konsep atau aras pelaksanaan. Jika hal pertama yang terjadi, kita perlu meninjau kembali konsep demokrasi mana yang lebih tepat secara filosofis: konsep Soekarno atau Hatta. Namun, jika kita meyakini hal kedua, kita juga patut menanyakan pelaksanaan konsep mana yang menyimpang. Singkat kata, kita tampaknya memang perlu melakukan refleksi serius lagi tentang haluan berpolitik kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H