Jika merujuk lebih jauh pada teori negara kesejahteraan Triwibowo dan Bahagiyo (Negara Kesejahteraan, LP3ES, 2006), negara kesejahteraan yang dicita-citakan Pancasila tampaknya adalah negara kesejahteraan universalis, di mana ada cakupan jaminan sosial yang universal dan kelompok target yang luas serta tingkat dekomodifikasi yang ekstensif. Dekomodifikasi sendiri adalah pembebasan warga dari mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan dengan menjadikan kesejahteraan itu sebagai hak setiap warga yang dapat diperoleh melalui perangkat kebijakan sosial yang disediakan oleh negara.Â
Karena itu, berdasarkan perspektif epasos dan negara kesejahteraan sosial, negara harus tampil bertindak sebagai pemilik, pengatur, pengurus, pengelola dan bahkan pengawas atau pelaksanaan kebebasan, keadilan, kesejahteraan serta kebahagiaan dan kedamaian hidup bersama. Menurut Agustinus Dewantara (Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini, Kanisius, 2017), negara pengurus mengedepankan pengertian bahwa sang pemegang kekuasaan adalah pengurus, pengelola, dan pengemban. Sang pemimpin bukanlah sang pemilik, melainkan dia yang bertanggung jawab atas kekuasaan yang diembannya. Pengertian ini juga hendak menegaskan bahwa warga negara adalah juga subjek-subjek dalam mengurus negara. Mereka bukan pribadi-pribadi sebagai objek atau yang dikuasai, melainkan subjek atau yang ikut bagian dalam mengelola negara. Dari sini, kita bisa mengatakan bahwa negara pengurus adalah perwujudan dari semangat gotong-royong yang dianggap sebagai esensi dinamis dari Pancasila.
Akhirulkalam, kita bisa mulai mengenal sejumlah varian dalam Ekonomi Pancasila atau Ekonomi Kerakyatan sejauh ini: ekonomika etik, epasos, ekonomi pragmatis, negara kesejahteraan sosial-universalis, dan negara pengurus. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H