Sebagai bangsa yang memiliki Pancasila sebagai dasar filsafat negara, masyarakat Indonesia tentu menginginkan satu haluan ekonomi khas yang mampu menambal kelemahan mazhab ekonomi yang ada seperti kapitalisme dan sosialisme. Tak lupa pula bahwa haluan ekonomi khas itu, taruhlah kita namakan sebagai aliran Ekonomi Pancasila, harus mampu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat.Â
Sebagai titik awal, sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa Indonesia ingin mendayung di antara dua karang kapitalisme maupun sosialisme. Kapitalisme dengan ekonomi pasar dianggap terlalu bersendi pada keserakahan dan orientasi laba tanpa memikirkan pertimbangan moral seraya meminimalkan peranan negara. Sementara itu, sosialisme dipersepsikan memasung kreativitas individu
akibat sistem ekonomi komandonya yang serba sentralistis dan memberikan porsi berlebihan pada negara, yang berpotensi pada munculnya negara korup.
Varian-varian Ekonomi Pancasila
Dalam lintasan sejarah, Ekonomi Pancasila merentang panjang hingga melahirkan sejumlah tafsiran dan, pada gilirannya, berbagai varian. Istilah Ekonomi Pancasila sendiri muncul kali pertama dalam tulisan opini Prof Emil Salim di Kompas pada 1965, tapi kemudian dikembangkan lagi oleh dua ekonom UGM, yaitu Prof Boediono dan Prof. Mubyarto (1938-2005), yang disebut terakhir ini dikenal terus gigih memperjuangkan serta meneliti Ekonomi Pancasila. Namun karena banyak mendapat tentangan, termasuk kritik dari Presiden Soeharto sendiri yang merasa "gerah" dengan kritik Mubyarto terhadap praksis ekonomi liberal yang dijalankan Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan, nama Ekonomi Pancasila kemudian redup dan digantikan dengan nama baru, Ekonomi Kerakyatan.
Adapun ciri-ciri dari Sistem Ekonomi Pancasila atau Ekonomi Kerakyatan ini menurut Subiarto Tjakrawardaya dkk (Sistem Ekonomi Pancasila, Rajawali Pers, 2017, hlm. 90) adalah diutamakannya hak warga negara dan asas kekeluargaan; peran sentral negara dalam menyusun dan merencanakan perekonomian nasional; BUMN, koperasi, dan swasta sebagai pelaku ekonomi; peran negara mengendalikan kebutuhan dasar; dan kekuasaan alokasi sumber daya di tangan rakyat yang dilaksanakan melalui MPR lewat institusi pasar yang berkeadilan. Ciri ekonomi Pancasila semacam ini juga mengikuti alur pikir Mubyarto yang mengedepankan "suruhan-suruhan moral" dalam teori makro ekonomi maupun praksis ekonomi riil (Mubyarto, Ekonomi Pancasila, LP3ES, 1981).Â
Namun, kelemahan dari ciri-ciri ini adalah Ekonomi Pancasila hanya menjadi semacam Ekonomika Etik atau prinsip-prinsip etis
dalam praktik ekonomi (lihat pidato pengukuhan Guru Besar Ace Partadiredja dalam Khazanah Pemikiran Ekonomi Indonesia, LP3ES, 1994). Tampaknya, pilihan Ekonomika Etik ini dikarenakan kesulitan merumuskan sistem ekonomi Pancasila secara lengkap secara bangunan teoretis maupun konsep operasional. Sebagai contoh, masih sulit bagi kita membayangkan ada teori moneter Pancasila misalnya.
Epasos dan Negara Kesejahteraan Sosial
Karena ingin mendayung di antara dua karang kapitalisme dan sosialisme, Indonesia secara sistem ingin menerapkan sistem ekonomi pasar sosial/epasos (social market economy). Hendrawan Supratikno dalam Ekonomi Konstitusi (KPG, 2019) menyebut epasos ini sebagai ekonomi pragmatis yang tidak terlalu ideologis, melainkan plastis menyesuaikan strategi ekonomi dengan kebutuhan situasi.
Secara teoretis, epasos adalah sistem ekonomi yang ingin menghargai hak milik, kombinasi usaha individual dan masyarakat serta keragaman aktivitas ekonomi. Pranata negara dianggap memiliki peran penting dalam melindungi dan mengembangkan masyarakat secara memadai, seperti melalui bentuk-bentuk asuransi, skema pendanaan untuk masyarakat, penetapan cadangan komoditi atau modal, dan lain sebagainya. Merujuk Yudi Latif dalam Negara Paripurna (Gramedia, 2011), peran negara dalam ekonomi amat aktif tapi tidak menindas keragaman.
Sebagai tambahan, Jimly Ashhidique dalam Konstitusi Keadilan Sosial (Penerbit Buku Kompas, 2018) menguraikan bahwa negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 bukan sekadar menganut doktrin negara kesejahteraan (welfare state), melainkan negara kesejahteraan sosial (social welfare state) Inilah doktrin pengecam welfare state klasik yang dianggap menerapkan
kesejahteraan sosial secara sepotong-potong demi meredam potensi amarah kaum pekerja. Sebaliknya, kesejahteraan sosial harus menjadi sesuatu yang dianut secara komprehensif. Sistem ini tetap menerima kenyataan adanya orang kaya dan orang miskin berdasarkan prinsip ko-eksistensi damai. Namun, jarak sosial di antara keduanya diidealkan tidak terlalu jauh menurut standar-standar keadilan sosial yang bersifat universal.