Sementara itu, warung tegal alias warteg adalah entitas usaha mikro kecil menengah (UKM) yang berperan sangat penting dalam perekonomian kita. Coba bayangkan, apa jadinya para pekerja kita tanpa warteg? Niscaya, mereka harus memenuhi hajat perutnya di restoran yang cukup mahal. Oleh karena itu, warteg memiliki posisi mulia sebagai entitas perwujudan prinsip-prinsip SEP, terutama karena beberapa alasan. Pertama, sebagaimana restoran Minang, umumnya warteg menerapkan hubungan kerja yang kental nuansa kegotong-royongannya. Rekrutmen karyawan juga sering dilakukan terhadap kerabat sekampung tanpa mengabaikan aspek kompetensi.
Kedua, warteg adalah tempat di mana cinta-kasih terhadap sesama tumbuh subur dan miniatur bagi komitmen kuat akan pemerataan sosial. Seringkali di warteg, walaupun ada beberapa warteg yang sudah mengalami pergeseran nilai juga, kita tak perlu memesan lauk-pauk dan menanyakan berapa harga totalnya seusai makan. Yang perlu kita lakukan hanyalah menyodorkan uang yang kita punya saat itu, misalnya Rp10.000 atau bahkan kurang dari itu, dan sang pemilik warung biasanya secara kreatif dan empatik dapat menyodorkan sepiring nasi putih berlauk sayur plus dengan air minum. Dari transaksi seperti ini, terciptalah satu perasaan saling memaklumi, bertoleransi, dan bersimpati. Kita sering menyebutnya sebagai spirit persaudaraan yang sesuai dengan sila ke-3 Pancasila dan budaya keadaban warga yang selaras dengan sila ke-2 Pancasila.
Ketiga, warteg adalah perwujudan dari apa yang disebut Miftah W. (Prisma 1, "Politik Ekonomi Kaum Pinggiran", 1991) sebagai bumper yang mengalihkan pertikaian langsung antara kelas pemilik modal (majikan) dan kelas pekerja (buruh). Maksudnya, keberadaan warteg sebagai penyedia bahan pangan terjangkau membuat kelas pekerja bisa menoleransi standar hidup yang sedang-sedang saja. Sehingga, potensi konflik tajam antara kelas pekerja dan kelas majikan bisa teredam. Kembali, fungsi keadilan sosial Pancasila yang bercita-cita mewujudkan harmoni sosial terjembatani oleh warteg.
Akhir kata, resto Minang dan warteg adalah dua contoh kearifan ekonomi lokal (economic local wisdom) yang membuktikan Pancasila tidak hanya manis di kata, tapi juga mampu memberikan dampak positif nyata bagi masyarakat Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI