Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Restoran Minang, Warung Tegal, dan Sistem Ekonomi Pancasila

21 Januari 2025   22:40 Diperbarui: 21 Januari 2025   20:41 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover Jurus Manajemen Indonesia karya Mochtar Naim (Sumber: www.goodreads.com)

Sebagai dasar filsafat negara atau ideologi negara, Pancasila diharapkan bisa dihayati oleh seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi, sulit mengharapkan demikian jika Pancasila berhenti sebatas jargon. Supaya nilai-nilainya tertanam di dalam masyarakat, Pancasila harus mewujud konkret dan memberikan efek positif nyata bagi warga negara.

Utamanya, konkretisasi suatu ideologi akan lebih terasa apabila ideologi itu mampu diejawantahkan dalam bentuk kebijakan ekonomi yang memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Karena itu, penting bagi kita untuk menggali satu sistem perekonomian khas Pancasila bernama Sistem Ekonomi Pancasila (SEP). Sebab, penggalian paradigma berpikir ekonomi yang sesuai dengan jati-diri bangsa akan berujung pada keberhasilan suatu negara memakmurkan masyarakatnya tanpa mencerabut akar budaya mereka. 

Dalam konteks ini, warung padang (restoran minang) dan warung tegal (warteg) bisa kita lirik sebagai dua contoh entitas SEP.

Restoran Minang

Konsep ekonomi Pancasila kali pertama dirumuskan pada 1981 oleh Prof. Mubyarto dan Boediono. Menurut Mubyarto dalam Ekonomi Pancasila (UGM Press, 1981), sistem ekonomi Pancasila (SEP) adalah sistem ekonomi yang dijiwai ideologi Pancasila, sistem ekonomi yang merupakan usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan nasional.

SEP memiliki lima prinsip dasar ekonomi: (1) peran dominan koperasi dalam kehidupan ekonomi; (2) harus ada rangsangan-rangsangan yang bersifat ekonomis maupun moral untuk menggerakkan roda perekonomian; (3) adanya komitmen sosial yang kuat untuk melakukan pemerataan sosial; (4) menciptakan suatu perekonomian nasional yang tangguh; (5) melaksanakan desentralisasi dalam kegiatan ekonomi.

Kelima prinsip dasar SEP ini kemudian bisa ditemukan dalam manajemen restoran Minang. Sebagaimana diungkapkan penelitian sosiolog Mochtar Naim dalam Jurus Manajemen Indonesia: Sistem Pengelolaan Restoran Minang, Sebuah Prototipe Sistem Ekonomi Pancasila (YOI, 1987), ada beberapa aspek Pancasilais dalam manajemen restoran Minang. Pertama, aspek hubungan kerja. Pada aspek ini, rata-rata restoran Minang menerapkan hubungan kerja yang sangat kental nuansa kegotong-royongannya. Misalnya, semua karyawan tunduk secara aklamasi terhadap peraturan yang telah diakui bersama. Kemudian, rekrutmen karyawan diutamakan dilakukan terhadap kerabat sekampung tanpa mengabaikan aspek kompetensinya. Ini tentunya angat mendekati corak koperasi yang berasaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Kedua, aspek hak dan kewajiban karyawan. Kebanyakan restoran Minang biasanya memberlakukan pembagian keuntungan. Selain itu, karyawan umumnya mendapatkan fasilitas penginapan jika mereka mau menggunakannya. Sebagai kewajiban, karyawan diharuskan memperhatikan setiap tamu yang datang dan ini harus dilakukan tanpa perlu menunggu perintah atasan. Dengan demikian, setiap karyawan memiliki semacam rasa memiliki terhadap restorannya. Jadi, ada komitmen sosial kuat untuk melakukan pemerataan sosial di antara para pegawai.

Ketiga, aspek pembinaan karyawan. Pembinaan biasanya tidak memiliki penjadwalan tertentu dan bisa dilakukan dengan jalan sesama karyawan saling menasihati satu sama lain. Di sini, semangat kegotong-royongan kental terasa. Selain itu, pembinaan dan tindakan menasihati ini berperan sebagai rangsangan moral bagi sesama pegawai untuk bekerja sama memajukan restoran tempat mereka mencari nafkah.

Berbekal ketiga aspek itu, terbukti bermekaran sejumlah merek restoran Minang yang mampu berjaya di level lokal maupun nasional.  

Warteg

Sementara itu, warung tegal alias warteg adalah entitas usaha mikro kecil menengah (UKM) yang berperan sangat penting dalam perekonomian kita. Coba bayangkan, apa jadinya para pekerja kita tanpa warteg? Niscaya, mereka harus memenuhi hajat perutnya di restoran yang cukup mahal. Oleh karena itu, warteg memiliki posisi mulia sebagai entitas perwujudan prinsip-prinsip SEP, terutama karena beberapa alasan. Pertama, sebagaimana restoran Minang, umumnya warteg menerapkan hubungan kerja yang kental nuansa kegotong-royongannya. Rekrutmen karyawan juga sering dilakukan terhadap kerabat sekampung tanpa mengabaikan aspek kompetensi.

Kedua, warteg adalah tempat di mana cinta-kasih terhadap sesama tumbuh subur dan miniatur bagi komitmen kuat akan pemerataan sosial. Seringkali di warteg, walaupun ada beberapa warteg yang sudah mengalami pergeseran nilai juga, kita tak perlu memesan lauk-pauk dan menanyakan berapa harga totalnya seusai makan. Yang perlu kita lakukan hanyalah menyodorkan uang yang kita punya saat itu, misalnya Rp10.000 atau bahkan kurang dari itu, dan sang pemilik warung biasanya secara kreatif dan empatik dapat menyodorkan sepiring nasi putih berlauk sayur plus dengan air minum. Dari transaksi seperti ini, terciptalah satu perasaan saling memaklumi, bertoleransi, dan bersimpati. Kita sering menyebutnya sebagai spirit persaudaraan yang sesuai dengan sila ke-3 Pancasila dan budaya keadaban warga yang selaras dengan sila ke-2 Pancasila.

Ketiga, warteg adalah perwujudan dari apa yang disebut Miftah W. (Prisma 1, "Politik Ekonomi Kaum Pinggiran", 1991) sebagai bumper yang mengalihkan pertikaian langsung antara kelas pemilik modal (majikan) dan kelas pekerja (buruh). Maksudnya, keberadaan warteg sebagai penyedia bahan pangan terjangkau membuat kelas pekerja bisa menoleransi standar hidup yang sedang-sedang saja. Sehingga, potensi konflik tajam antara kelas pekerja dan kelas majikan bisa teredam. Kembali, fungsi keadilan sosial Pancasila yang bercita-cita mewujudkan harmoni sosial terjembatani oleh warteg.

Akhir kata, resto Minang dan warteg adalah dua contoh kearifan ekonomi lokal (economic local wisdom) yang membuktikan Pancasila tidak hanya manis di kata, tapi juga mampu memberikan dampak positif nyata bagi masyarakat Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun