Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kemunduran Demokrasi dan Kapitalisme Global, Apa Hubungannya?

18 Januari 2025   08:02 Diperbarui: 18 Januari 2025   08:02 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover buku Populisme Islam (Sumber: koleksi pribadi)

Salah satu ironi terbesar abad ke-21 adalah kian mundurnya demokrasi di mana-mana, termasuk di Indonesia, terlepas dari kemajuan pesat di bidang ekonomi maupun teknologi. Indonesia sendiri merasakan hal itu dengan sejumlah penurunan dalam indeks demokrasi. Bahkan, the Economic Intelligence Unit (EIU) masih mengkategorikan Indonesia sebagai demokrasi cacat (flawed democracy). Tren ini dikuatkan oleh pernyataan ilmuwan politik Marcus Mietzner bahwa saat ini secara global kebebasan berekspresi makin dibatasi dan pemegang kekuasaan makin berani dalam merepresi pengkritik (Tempo, 17/4/2022).  

Belum lagi kemunculan populisme yang juga mengancam keberlangsungan demokrasi di banyak negara. Merujuk Vedi Hadiz dalam Populisme Islam (2017), populisme adalah semacam sentimen ideologis yang dikobarkan golongan elit dalam melakukan penyeragaman maupun penyederhanaan aspirasi dari golongan kelas menengah, kelompok pengusaha terkucil dan kaum proletar paling miskin yang terinjak-injak untuk secara bersama-sama melawan status quo yang merintangi jalan mereka. Penyederhanaan aspirasi pun dilakukan lewat penetapan musuh bersama, seperti orang kaya yang dipersepsikan serakah, imigran yang dicitrakan sebagai perebut lahan pekerjaan warga asli, dan lain sebagainya.

Populisme jadinya lebih mengandalkan sentimen emosional masyarakat untuk mengobarkan permusuhan (hostility) terhadap sasaran tembak bersama dan ini jelas menyalahi prinsip demokrasi yang seharusnya rasional. Padahal, motif populisme hanyalah untuk menaikkan elit politik ke tampuk kekuasaan, bukan untuk kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Meski demikian, tetap saja banyak warga yang terpikat dengan populisme karena munculnya kontradiksi sosial terkait dengan pembangunan kapitalis dan integrasi yang lebih erat dengan perekonomian dunia. Kemunculan Trump di AS, Bolsanero di Brasil, Duterte dan Marcos di Filipina adalah sejumlah contoh.

Kapitalisme global

Jika kita tengok sejumlah literatur mengenai demokrasi, saripati demokrasi bisa diperas menjadi lima: adanya kebebasan berekspresi, kepatuhan pada hukum (rule of law), terbukanya akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial-politik demi kesejahteraan bersama (lewat pemilu yang adil dan kegiatan kewargaan), emansipasi rakyat dari segala bentuk kesengsaraan, dan saling control (checks and balances) antara elemen-elemen negara.

Tentu membingungkan mengapa kemunduran demokrasi terjadi secara luas. Bukankah seiring pesatnya kemajuan teknologi dan sosial-ekonomi, bangsa-bangsa harusnya jadi lebih berpikiran terbuka dan toleran terhadap sesama warga alias lebih demokratis? Ternyata bukan itu yang terjadi dan gara-garanya adalah kapitalisme global.

Pasalnya, kapitalisme global saat ini sebangun dengan kapitalisme neoliberal, yaitu suatu paham kapitalisme lanjut yang memprivatkan semua sektor sebagai lahan laba, termasuk sektor publik. Kapitalisme global ini tidak lagi mengenal pemisahan antara sektor privat/swasta ataupun sektor publik yang dalam bahasa konstitusi kita "menguasai hajat hidup orang banyak." Alhasil, sektor publik seperti pendidikan, kesehatan, dan energi yang secara filosofis harusnya dikelola oleh negara (state) demi sebesar-besar kemakmuran rakyat, kini justru terbuka untuk secara serakah dijalankan dengan logika swasta yang ingin mengeduk laba dan melakukan akumulasi kapital semaksimal mungkin (Francis Wahono, Neoliberalisme, Cindelaras, 2010). Kapitalisme global pun menjadi kapitalisme pemangsa (predatory capitalism).

Di sisi lain, sendi utama kapitalisme global untuk memaksimalkan laba adalah efisiensi, yang mensyaratkan kemampuan mentabulasikan variabel-variabel untuk diprediksi dan menempatkannya di bawah kontrol rasio dingin yang mendambakan kepastian. Maka itu, kapitalisme global membutuhkan kepastian dan kestabilan politik dari negara, yang kerap menafsirkannya sebagai kendali luas atas kritik serta kebijakan membungkan rakyat.

Di sini, kapitalisme global bersekutu dengan negara sebagai alat pencipta kestabilan dan kepastian, yang kerap dilakukan lewat lobi, negosiasi, dan masuk langsung ke dalam sistem pemerintahan demi mengendalikan kebijakan. Terjadilah fenomena "penguasaha" atau oligarki modal, di mana mayoritas petinggi pemerintahan justru datang dari kalangan pengusaha yang ingin memaksimalkan laba. Tatkala uang dan kekuasaan terpusat di negara, negara memiliki kekuatan besar menjurus absolut. Apabila kapitalisme global bertemu dengan absolutisme negara, muncullah potensi pembentukan sindikat politik tingkat tinggi yang menelorkan politik kartel pro status quo (Valentinus Saeng, Herbert Marcuse, Gramedia, 2012).

Pribadi profetis

Artinya, kondisi kemunduran demokrasi saat ini adalah hasil dari kekusutan struktural yang perlu diurai oleh pribadi-pribadi tercerahkan. Merujuk Kuntowijoyo (Paradigma Islam, Mizan, 2010), sosok tercerahkan itu adalah pribadi profetis yang mengamalkan ilmu sosial profetis (ISP) yang didasarkan pada cita-cita memanusiakan manusia (humanisasi/emansipasi), membebaskan bangsa dari kemiskinan ekonomi dan keangkuhan teknologi (liberasi), dan merasakan kembali dunia ini sebagai rahmat dari Tuhan (transendensi) sehingga manusia tidak menyerah kepada arus hedonisme dan materialisme.

Namun, sulit mengharapkan pribadi profetis datang dari institusi pendidikan formal-konvensional yang sudah terperangkap dalam belitan kapitalisme global. Sebab, pendididikan adalah salah satu sektor publik yang sudah tersentuh sulur privatisasi dari neoliberalisme. Institusi pendidikan konvensional secara umum berpikir dalam langgam logika efisiensi guna melestarikan sistem kapitalisme global. Maksudnya, institusi pendidikan sering diarahkan untuk menciptakan tenaga kerja cakap siap-pakai guna mendukung pengejaran laba. Manifestasi konkretnya, disiplin ilmu praktis-pragmatis seperti ilmu teknik, komputer, ekonomi, dan lain sebagainya jadi lebih dianakemaskan ketimbang disiplin ilmu murni seperti astronomi, fisika, filsafat, dan yang sejenis. B. Herry Priyono menggambarkan situasi ini sebagai 'gerhana humaniora' (Ekonomi Politik, Penerbit Kompas, 2022)

Jadi, pribadi profetis lebih mungkin datang dari kursus-kursus politik maupun lokakarya di luar ranah pendidikan mainstream. Sebab, media seperti itu lebih independen dan objektif dalam mengajarkan ISP yang diperlukan untuk melahirkan pribadi profetis. Sebagai perbandingan, Jerman pada era 1960-1970-an memiliki Institut Penelitian Sosial (IPS) yang ingin mendidik pribadi pendobrak kebuntuan struktural, sehingga melahirkan pemikir-pemikir besar Mazhab Frankfurt seperti Max Horkheimer, Herbert Marcuse, Jurgen Habermas, dan lain sebagainya.

Karena itu, perbaikan demokrasi tidak bisa secara naif diserahkan kepada negara yang sudah bersekutu dengan sistem kapitalisme global. Sebaliknya, perbaikan harus dipulangkan kepada diri kita semua dengan mengorganisir kerja-kerja keilmuan profetis sistematis maupun kursus-kursus sosial politik mencerahkan untuk melawan kondisi kezaliman struktural yang ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun