Dalam khazanah pemikiran dan filsafat ekonomi, ada satu dilema klasik antara otonomi individu beserta haknya dan kesejahteraan masyarakat. Di satu sisi, kesetaraan hak akan menimbulkan kesenjangan dalam kesejahteraan. Bayangkan saja, jika setiap individu bebas berupaya sesuai potensinya, jelas akan ada pihak yang terpental dari medan persaingan. Apalagi kita tahu bahwa posisi awal individu tidak pernah melulu setara. Ada yang semenjak lahir sudah hidup berkecukupan dan punya modal besar sehingga mampu memulai usaha yang cepat meraksasa. Sementara, ada yang lahir dalam kondisi kekurangan sehingga, jangankan memulai usaha, menghidupi dirinya sendiri saja sulit. Pendek kata, kesetaraan hak dan otonomi individu pasti akan melahirkan kesenjangan lebar antara kaum berpunya (the haves) dan kaum papa (the have-nots).
Di sisi lain, kesetaraan dari segi kesejahteraan dalam bentuk pemberian hak-hak khusus bagi orang paling lemah dalam struktur masyarakat justru akan menciptakan ketidaksetaraan dalam hak individu. Sebab, individu yang sudah meraih kesuksesan dengan ikhtiar mereka sendiri lantas mendapati diri 'dituntut' menyerahkan sebagian hak mereka demi memberikan kepuasan bagi mereka yang paling tidak sejahtera.
Tiga Filsuf
Pendulum permasalahan di atas sejatinya memiliki pembela-pembela tangguh. Pertama, kaum yang memberikan penekanan pada kesamaan hak didukung oleh Robert Nozick. Sebagai perintis mazhab neoliberal, Nozick menyatakan dalam Anarchy, State, and Utopia (1975) bahwa memaksa individu agar membantu orang lain demi satu konsepsi tentang keadilan sosial berarti menurunkan derajat otonomi individu. Sekaligus, itu mematikan fitrah individu sebagai makhluk otonom yang seyogianya memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan potensinya dan menikmati hasil dari jerih-payahnya tersebut.
Makanya, Nozick menekankan bahwa setiap individu adalah 'pengusaha' dan, karenanya, wajib mengurus dirinya sendiri apabila terjadi kemalangan pada diri mereka. Jadinya, negara berperan sebatas sebagai 'negara minimal' yang tak lagi mengurusi kesejahteraan rakyat luas lewat konsep welfare care karena yang harus dianut adalah self-care. Lahirlah kemudian paham neoliberalisme.
Kedua, kaum yang memberikan aksentuasi pada aspek kesetaraan kesejahteraan dibela oleh John Rawls. Dalam Theory of Justice (1971), Rawls mengatakan prinsip keadilan paling utama adalah  "memaksimalkan kepuasan kelompok orang yang paling tidak sejahtera." Artinya, Rawls mengabaikan hak individu selama 'pelanggaran' terhadap hak individu itu mampu menguntungkan orang yang paling tidak sejahtera. Padahal, bisa saja orang yang paling tidak sejahtera itu bernasib demikian karena mentalitas mereka sendiri. Alhasil, pemikiran Rawls ini menyebabkan ketidakadilan jenis lain, yaitu ketidakadilan terhadap hak-hak individu.
Lalu, apakah tidak ada jalan tengah? Di sini, ada Amartya Sen yang mengangkat satu hal yang dilupakan Nozick dan Rawls. Itulah masalah kapabilitas yang merupakan modal bagi individu untuk memiliki dan mempraktikkan kebebasan fitriahnya. Dalam Inequality Reexamined (1992), Sen menguraikan bahwa intervensi negara mestinya ditujukan pada segi peningkatan kapabilitas individu demi meraih kemakmuran. Sebagai contoh, melek huruf adalah kapabilitas yang memungkinkan orang membaca dan berpengetahuan. Dengan kapabilitas itu,orang memiliki kebebasan untuk belajar, menuntut ilmu, dan meraih kesuksesan. Akan tetapi, orang di daerah terpencil tentu memiliki akses lebih terbatas pada pendidikan dibandingkan orang di perkotaan. Di sinilah, pemerintah harus mengalokasikan anggaran lebih banyak untuk pendidikan di daerah terpencil.
Memang ada ketidakadilan 'anggaran' atau 'hak', tapi itu dilakukan demi menciptakan kondisi 'kesetaraan kapabilitas' yang memungkinkan semua orang berhak mengaktualisasikan hak paling dasarnya, yaitu kebebasan memilih. Singkatnya, ketidakadilan itu bertujuan menciptakan kesetaraan hak yang lebih dasariah, yaitu kebebasan memilih. Berbekal itu, Sen kemudian dikenal sebagai ekonom jalan tengah yang memperkenalkan elemen moral dalam khazanah teori ekonomi.
Jalan Tengah
Sesuai dengan jalan tengah Sen, Indonesia ternyata merambah jalan pikiran serupa lewat konsep Ekonomi Pancasila. Digagas oleh Mubyarto dalam berbagai karya, salah satunya buku Ekonomi Pancasila (Prisma, 1981), Sistem Ekonomi Pancasila didefinisikan sebagai sistem yang dijiwai Pancasila dan merupakan usaha bersama berasaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan
nasional. Setidaknya, ada lima prinsip dasar ekonomi Pancasila, yaitu (1) peran dominan koperasi dalam kehidupan ekonomi; (2) harus ada rangsangan-rangsangan ekonomis maupun moral untuk menggerakkan roda perekonomian; (3) adanya komitmen sosial kuat terhadap pemerataan sosial; (4) menciptakan perekonomian nasional yang tangguh; (5) melaksanakan desentralisasi kegiatan ekonomi.
Kita lihat ini paralel dengan pendapat Sen. Sebab, ekonomi Pancasila memberikan ruang bagi otonomi individu dalam bentuk ikhtiar swasta dan desentralisasi kegiatan ekonomi tapi sekaligus menyarankan pentingnya rangsangan-rangsangan moral dalam menjalankan roda perekonomian. Artinya, seperti Sen, teori ekonomi Pancasila kental dengan muatan moral yang kerap absen dalam diskursus ekonomi yang rasional-teknokratis. Selain itu, komitmennya akan pemerataan mengakui pentingnya kebijakan
ekonomi untuk menciptakan kesetaraan kapabilitas antarsesama demi meraih kebahagiaan versi masing-masing sesuai dengan kebebasan mereka memilih. Dengan kata lain, Ekonomi Pancasila mampu meretas jalan tengah antara pentingnya otonomi individu dan niscayanya kesejahteraan. Tinggal, bagaimana kita menurunkan kerangka teoretis Ekonomi Pancasila ke dalam kebijakan-kebijakan konkret.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H