Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sumbangan Konsep Kembara dan Mukim Untuk Peradaban

6 Januari 2025   21:30 Diperbarui: 6 Januari 2025   21:06 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejak dari penciptaan, manusia adalah makhluk yang selalu dalam kondisi konflik. Diciptakan dari tanah dan kemudian mendapatkan hembusan ruh dari Tuhan, manusia senantiasa dalam kondisi dinamis antara kondisi tanahnya yang bersifat fana dan keinginan untuk mencapai Tuhan yang telah memberikan dia ruh ilahiah. Tegangan inilah yang menjadikan manusia terus berkutat dalam proses pergumulan menuju kebaikan. Ali Syariati dalam Man and Islam (diterjemahkan oleh Prof. Amien Rais menjadi Tugas Cendekiawan Muslim, Srigunting, 2001) menyebut proses ini sebagai becoming, yaitu dialektika antara fitrah tanah manusia yang ingin mencapai kebaikan sempurna menuju rumah asalnya, Tuhan.

Dalam perspektif budaya, keadaan tarik-menarik ini mewujud pula dalam keterombang-ambingan manusia antara terus bergerak dan menetap dalam rangka refleksi (perenungan diri). Siklus ini yang lantas melahirkan kebudayaan dan peradaban manusia.

Pakar neurosains John Medina misalnya menunjukkan dalam Brain Rules (Gramedia, 2011) bahwa otak manusia sesungguhnya hanya bisa berkembang jika ia melakukan kegiatan luar-ruang (outdoor activities). Dengan melakukan mobilitas di luar ruangan, manusia akan terpapar berbagai tantangan yang menstimulasi otaknya untuk mencari solusi bagi permasalahan yang ia hadapi. Singkat kata, manusia secara fitrah diharapkan untuk mengembara. Tujuannya, supaya manusia kian kaya dengan pengalaman yang berbeda, sehingga selalu bisa adaptif memecahkan serta menghadapi perubahan.

Kembara

Keterpajanan terhadap pengalaman akan perbedaan yang diharapkan datang dari kegiatan kembara pada gilirannya terbukti menghasilkan inovasi-inovasi luar biasa. Frans Johansson dalam Medici Effect (Serambi, 2007) mengemukakan bahwa ledakan kreativitas dahsyat di Italia abad ke-15 datang dari pertemuan antara berbagai perbedaan yang disikapi dengan pikiran terbuka dan sikap toleran. Pada zaman itu, Medici adalah keluarga bankir yang mendanai para pencipta gagasan dari pelbagai disiplin. Berkat keluarga ini, para pematung, ilmuwan, penyair, filsuf, ahli keuangan, pelukis, dan arsitek pergi untuk berkumpul di kota Florence tempat mereka bertemu, belajar dan meruntuhkan pembatas-pembatas antara berbagai disiplin dan budaya. Bersama-sama mereka menempa suatu dunia baru berdasarkan gagasan-gagasan segar yang kemudian akan kita kenal sebagai dunia Renaissance, suatu tonggak zaman yang menjadi pendahulu masa Pencerahan (Enlightenment) dengan segala kemajuan peradaban modern yang kita nikmati saat ini.

Dalam ranah spiritual, pengalaman kembara juga tak kalah memegang peranan penting. Misalnya saja, di Khurasan (kini Afghanistan) abad ke-13, terjadi gelombang politik amat dahsyat. Kota-kota utama di sana berulang kali mengalami pergantian kekuasaan secara kejam antara suku Ghurid, Khwarezmian, dan Qarakhanid, yang berpuncak pada invasi Mongol ke berbagai wilayah pada 1220. Akan tetapi, sebagaimana dicatat Leslie Wines dalam biografinya tentang sufi besar Jalaluddin Rumi (Menari Menghampiri Tuhan, Arasy Mizan, 2004), pergolakan besar yang membuat banyak orang harus mengungsi atau mengembara seperti itu justru menjadi periode aktivitas tasawuf dan agama yang paling tinggi. Guncangan hebat yang mencerabut Rumi dan banyak orang sezamannya dari rumah mereka, baik rumah secara makna fisik maupun budaya, sehingga harus berpindah-pindah tempat tinggal ternyata membentuk pendirian bahwa keyakinan agama mereka bisa menjadi benteng pertahanan yang kuat untuk melawan realitas keras kehidupan Abad Pertengahan.

Khusus untuk Rumi, pengalaman kembara ini memberinya perspektif kosmopolitan (global) yang begitu bersinar dalam puisi-puisinya dan menjadi salah satu alasan mengapa karya Rumi sangat mengena juga bagi masyarakat Barat.

Mukim

Namun, apakah berarti kembara adalah satu-satunya aktivitas utama dalam kehidupan manusia guna mengembangkan diri dan membangun peradaban secara progresif? Jawabannya, tidak. Sebab, manusia sebagai makhluk yang senantiasa dalam kondisi konflik memerlukan pula sisi lain dari kembara, yaitu bermukim alias bertempat tinggal. Mukim diperlukan karena selain memerlukan tantangan, manusia juga memerlukan ketenangan, kestabilan, ketenteraman. Kondisi stabil akan memberi manusia ruang dan waktu lapang untuk merenungkan pergumulan hidupnya guna menghasilkan letupan kreatif yang berguna bagi kemajuan kebudayaan maupun peradaban manusia.

Dalam konteks kebudayaan, sumbangan bermukim bagi peradaban manusia tercermin dalam kisah filsuf besar Jerman, Immanuel Kant (1724-1804). Terkenal karena mampu mensintesiskan dua aliran besar filsafat, rasionalisme dan empirisme, Kant sejak lahir hingga wafatnya tidak pernah meninggalkan kota kelahirannya, Konigsberg (Paul Strathern, Kant dalam 90 Menit, Erlangga, 2002). Sang filsuf adalah contoh pemukim sejati yang tidak pernah mengembara sekali pun. Namun, kondisi tanpa kembara Kant ternyata tidak mengalanginya untuk memberikan sejumlah sumbangan konseptual besar dalam disiplin ilmu filsafat berupa ajaran kritisisme (kondisi berani berpikir sendiri), etika deontologi (terlepas dari alasan apa pun, suatu perbuatan salah jika memang secara etika salah), rasio murni dan praktis, serta banyak lagi.

Kant bisa menyalurkan kondisi mukim menjadi energi budaya yang produktif karena etos disiplin dan konsistensinya dalam merenung, belajar, dan bahkan dalam kebiasaan sehari-hari. Kant misalnya terkenal dengan kebiasaannya selama puluhan tahun berjalan kaki setiap hari dari rumah ke tamannya. Saking tertibnya, kebiasaan jalan kaki Kant ini sampai disebut sebagai “jam Konigsberg”.

Akhirulkalam, manusia dalam budaya harus bisa menyeimbangkan kondisi antara kembara dan mukim. Tidak ada salah satu yang lebih baik dari yang lain. Hal terpenting adalah bagaimana mencari manfaat terbaik dari keduanya dan menyalurkannya untuk perbaikan diri kita secara mikrokosmos dan dunia secara keseluruhan sebagai makrokosmos.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun