Salah satu fakta ironis dari dunia politik kita adalah minimnya partai yang merepresentasikan kepentingan Islam. Komposisi dari partai politik yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) nasional berdasarkan hasil pemilu legislatif 2024 adalah PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, NasDem, Demokrat, PKS, dan PAN. Ini karena kedelapan partai tersebut berhasil melampaui parliamentary threshold 4 persen, yang kemudian dihapuskan Mahkamah Konstitusi untuk pemilu legislatif 2029.
Jika kita asumsikan PAN telah bergeser dari partai Islam berbasis Muhammadiyah ke partai tengah, berarti partai Islam yang tersisa hanya PKB dan PKS dengan total suara sekitar 20 persen. Sementara partai Islam lainnya, yaitu PPP, PBB, Partai Ummat, dan Gelora terpental. Artinya, DPR nasional di periode 2024-2029 menjadi kurang majemuk karena didominasi hanya oleh partai nasionalis maupun tengah.
Post-Islamisasi
Ini semakin ironis karena masyarakat Indonesia sebenarnya kian saleh, yang terlihat dari maraknya penggunaan atribut Islam dalam kehidupan publik seperti: tingginya animo masyarakat berumrah, laris-manisnya busana Muslim, dan lain sebagainya. Jadi, ada semacam keterputusan antara kesalehan dan perilaku elektoral umat Muslim di Indonesia.
Salah satu variabel di balik melempemnya hasil elektoral partai Islam ini adalah proses post-Islamisasi menuju post-Islamisme. Menurut Ariel Heryanto dalam Identitas dan Kenikmatan (2015), post-Islamisme merupakan upaya umat Muslim untuk menyatukan religiusitas dan hak maupun keimanan dan kebebasan. Kredo post-Islamisme adalah iman, kenikmatan, dan kekayaan. Inilah kondisi di mana penganutnya bisa saja saleh dalam peribadatan dan tampilan formal (seperti mengenakan jilbab) tetapi tidak merasa rikuh mengonsumsi produk budaya modern seperti menonton konser musik Barat, mengenakan produk impor, dan lain sebagainya.
Ini sejalan dengan temuan Pepinsky, Liddle, dan Mujani dalam Kesalehan dan Pilihan Politik (2018) bahwa efek kesalehan terhadap opini publik Indonesia bersifat kosmopolitan. Artinya, revivalisme religius secara global ternyata tidak mengorbankan keterlibatan umat dengan nilai-nilai Barat. Dalam konteks Indonesia, ini menciptakan moderasi Islam dalam pilihan politik. Jadi, ketaatan individual tidak lantas terkonversi secara elektoral ke partai Islam.
Efek kosmopolitan proses post-Islamisasi ini berhimpitan dengan pergeseran karakter masyarakat pemilih Indonesia ke arah kritis. Penelitian Mujani, Liddle, dan Ambardi dalam Kaum Demokrat Kritis (2019) menunjukkan bahwa para pemilih sejak 1999 berada dalam jalur menjadi kaum demokrat kritis. Inilah kelompok yang menganggap demokrasi sebagai bentuk pemerintahan ideal, namun pada saat yang sama mereka agak skeptis ketika mengevaluasi bagaimana demokrasi berjalan di negara mereka. Ini juga yang agaknya menjelaskan mengapa partai nasionalis maupun tengah bisa konsisten berada di posisi tiga besar nasional hingga 2024.
Dalam diskursus relasi politik dan Islam, kombinasi keterbukaan terhadap nilai-nilai global-modern, keinginan mempraktikkan ketaatan ritualistik-formal terhadap doktrin Islam, dan perkembangan karakter demokrat kritis akhirnya menggerakkan proses post-Islamisasi. Alhasil, banyak umat Muslim mulai menerima konsep “negara Islami” ketimbang “Negara Islam”.
Merujuk disertasi Abdul Aziz berjudul Chiefdom Madinah (2016), negara Islami adalah negara yang memenuhi Maqashid al Syariah, yaitu menegakkan kebaikan dan kesejahteraan umat manusia. Artinya, sepanjang suatu negara berhasil menciptakan ketertiban umum dan memberikan kesejahteraan kepada semua warga negara, maka negara itu bisa dianggap sebagai “negara Islam” terlepas dari bentuk formal negara itu apakah Republik, Kerajaan, dan lain sebagainya.
Penerimaan terhadap konsep ini pun membuka ruang bagi objektivikasi Islam. Merujuk Kuntowijoyo dalam Identitas Politik Umat Islam (1996), objektivikasi adalah perbuatan rasional-nilai yang diwujudkan ke dalam perbuatan rasional sehingga orang luar dapat menerima perbuatan itu tanpa harus menyetujui nilai asal. Sebagai contoh, Islam mengenal konsep syura (konsultasi, musyawarah). Sebenarnya, musyawarah adalah nilai politik yang demokratis dan universal. Hanya saja, jika dibungkus dengan kata syura, nilai tersebut seakan eksklusif milik Islam. Maka itu, konsep syura perlu mengalami objektivikasi menjadi konsep ‘konsensus’ atau ‘demokrasi deliberatif’. Dengan objektivikasi ini, seluruh warga akan lebih bisa menerima konsep syura.
Kian rasional
Karena itu, kombinasi antara kesalehan individual ala post-Islamisme yang mementingkan konsep ‘Negara Islami’ dan ‘objektivikasi Islam’ dan karakter demokrat kritis pemilih Indonesia lantas menghasilkan perilaku memilih umat Muslim Indonesia yang juga kian rasional. Ini terafirmasi oleh Wasisto Raharjo Jati dalam Preferensi Politik Pemilih Muslim Kontemporer (2024) yang menyatakan bahwa umat Islam dalam memilih caleg laki-laki—yang berjumlah mayoritas—lebih menjatuhkan pilihan kepada caleg yang beragenda sekular dan rasional.
Rasionalitas memilih ini kian pekat ketika pemilih melihat kenyataan bahwa parpol Islam tidak memiliki perbedaan signifikan dengan parpol bukan-Islam karena perilaku politik parpol Islam kurang lebih sama dengan partai lain. Ini kemudian menjelaskan turunnya afiliasi pemilih dengan partai politik (party ID) di Indonesia: dari 86% pada 1999 ke 55% pada 2004, 20% pada 2009, 14% pada 2014, dan 12% pada 2017 (Psikologi Politik, Penerbit Kompas, 2018).
Jadi, partai Islam harus mulai merenungkan kemerosotan elektoral mereka dan memperbaikinya di masa depan. Caranya dengan tidak lagi terlalu berkutat pada promosi aspek formal Islam, melainkan lebih pada merumuskan program konkret yang dapat mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Ini juga perlu menjadi perhatian nasional karena demokrasi Indonesia yang kurang diimbangi nuansa agama akan menjadi timpang, kurang majemuk, dan kurang sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H