Karena itu, kombinasi antara kesalehan individual ala post-Islamisme yang mementingkan konsep ‘Negara Islami’ dan ‘objektivikasi Islam’ dan karakter demokrat kritis pemilih Indonesia lantas menghasilkan perilaku memilih umat Muslim Indonesia yang juga kian rasional. Ini terafirmasi oleh Wasisto Raharjo Jati dalam Preferensi Politik Pemilih Muslim Kontemporer (2024) yang menyatakan bahwa umat Islam dalam memilih caleg laki-laki—yang berjumlah mayoritas—lebih menjatuhkan pilihan kepada caleg yang beragenda sekular dan rasional.
 Rasionalitas memilih ini kian pekat ketika pemilih melihat kenyataan bahwa parpol Islam tidak memiliki perbedaan signifikan dengan parpol bukan-Islam karena perilaku politik parpol Islam kurang lebih sama dengan partai lain. Ini kemudian menjelaskan turunnya afiliasi pemilih dengan partai politik (party ID) di Indonesia: dari 86% pada 1999 ke 55% pada 2004, 20% pada 2009, 14% pada 2014, dan 12% pada 2017 (Psikologi Politik, Penerbit Kompas, 2018).
Jadi, partai Islam harus mulai merenungkan kemerosotan elektoral mereka dan memperbaikinya di masa depan. Caranya dengan tidak lagi terlalu berkutat pada promosi aspek formal Islam, melainkan lebih pada merumuskan program konkret yang dapat mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Ini juga perlu menjadi perhatian nasional karena demokrasi Indonesia yang kurang diimbangi nuansa agama akan menjadi timpang, kurang majemuk, dan kurang sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H