Mohon tunggu...
Anton Saja
Anton Saja Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PT 20 Persen Bikin Indonesia Makin Gaduh dan Otoriter?

14 Juli 2017   13:24 Diperbarui: 14 Juli 2017   21:20 1391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

UU Pemilu tak jua kunjung disahkan. Salah satu poin krusial yang menjadi penghambat adalah presidential threshold (PT), pemerintah bersama beberapa partai pendukungnya ngotot diangka 20 persen kursi DPR dan 25 persen perolehan suara nasional. Sedangkan beberapa partai lain menginginkan PT Nol Persen.

Pemerintah menyebutkan PT 20 persen bertujuan untuk memperkuat dan menyehatkan sistem demokrasi. Dan jika UU Pemilu tidak juga disepakati, pemerintah merencanakan menerbitkan Perppu UU Pemilu atau kembali ke UU Pemilu yang lama.

Pemilu 2019 akan dilaksanakan serentak, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden bersamaan waktunya. Sesuai dengan keputusan MK bernomor 14/PUU-XI/2013 yang dibacakan Kamis 23 Januari 2014. Dalam amar putusannya, mahkamah menyatakan penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan 2009 setelah Pileg ditemukan fakta calon presiden terpaksa harus bernegosiasi (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang pada akhirnya mempengaruhi roda pemerintahan.

Mahkamah juga menyebutkan penyelenggaraan Pilpres harus menghindari terjadinya tawar menawar politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang.

Dari amar putusan MK tersebut sangat jelas disampaikan kalau tujuan dari melaksanakan Pemilu serentak adalah tidak memaksa partai politik melakukan deal politik jelang Pilpres. Tapi yang terjadi saat ini (Pembahasan RUU Pemilu) telah terjadi deal politik dalam menentukan Pilpres.

Logikanya, jika ingin menghindari deal politik jelang Pilpres adalah menghilangkan syarat pencalonan Presiden. Siapapun partai yang ikut Pileg dapat mencalonkan kandidatnya untuk Capres, dengan demikian tidak ada pembatasan dan deal sesama partai politik, terutama dengan kandidat yang akan diusung.

Dengan ngototnya pemerintah dan beberapa partai pendukung terkait ambang batas menjadi pertanyaan, apakah pemerintah ingin memaksakan kehendak melalui deal politik atau telah terjadi. Atau mungkinkah pemerintah ingin membunuh kesempatan kandidat lain untuk mencalonkan diri?.

Jika pemerintah ingin memperkuat atau menyehatkan sistem demokrasi, seharusnya yang diperkuat adalah Parliamentary Threshold. Syarat untuk lolos ke DPR dinaikkan dan akan membuat partai yang bertahan adalah partai yang benar-benar kuat, sehingga nanti partai akan semakin sedikit.

Head to Head Bikin Gaduh

Pilpres 2014 telah menjadi contoh nyata bagi kita, saat hanya ada dua kubu yang bertarung maka tingkat perselisihan yang terjadi semakin terasa. Dampaknya hingga saat ini nampak sangat jelas, pro Jokowi versus pro Prabowo.

Meski telah tiga tahun berlalu, pertentangan antara pendukung  kedua kubu masih sangat kental. Kompetisi yang harusnya melahirkan kedewasaan dalam berpolitik, malah menjurus kearah caci maki dan saling menyakiti diantara kedua pendukung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun