Mohon tunggu...
Ganis Prahasti
Ganis Prahasti Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah Lepas

Seorang istri dari pria berkebangsaan Jepang dan saat ini tinggal di kota Saitama, Jepang.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sebuah Cerita dari Panti Jompo di Negeri Sakura

14 Oktober 2022   14:08 Diperbarui: 3 Juni 2024   07:15 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku mengayuh sepeda menyusuri jalanan menuju tempat kerjaku. Cuaca pagi ini lebih dingin dari kemarin, maklum sudah memasuki musim gugur. Jalanan yang kulalui cukup sepi, karena jam memang masih menunjukkan pukul lima lebih sepuluh menit. Namun beberapa kali netraku menangkap ada beberapa orang yang sedang jalan pagi bersama anjing peliharaan mereka. Selang dua puluh menit kemudian, aku memarkirkan sepedaku dan dengan bergegas memencet kode untuk membuka pintu samping tempatku bekerja.

Setelah berganti pakaian dan melakukan absensi, aku melangkahkan kaki menuju dapur untuk segera menyiapkan sarapan para kakek dan nenek yang tinggal di panti jompo ini. Ya, aku memang bekerja paruh waktu di salah satu panti jompo di kota Saitama sejak bulan Maret lalu sebagai staf dapur.

"Ohayou gozaimasu, Suzuki-san!" (Selamat pagi, Suzuki-san!)  sapa salah satu perawat saat aku berpapasan dengannya.

"Ohayou gozaimasu, Yamanaka-san. Kyou wa samui desu ne" (Selamat pagi, Yamanaka-san. Hari ini dingin, ya) aku membalas sapaannya sambil tersenyum dan mempercepat langkahku menuju dapur.

Sesampainya di dapur, aku membersihkan seragamku dengan roll untuk menghilangkan debu dan rambut atau bulu-bulu yang mungkin masih menempel, dan lalu mengenakan pelindung rambut sebelum mengenakan topi kerja. Kebersihan sangat dijaga di panti jompo ini, terutama bagi para staf dapur karena secara tidak langsung kami bertanggung jawab dalam menyiapkan makanan yang terjamin kebersihan dan kesehatannya untuk semua penghuni.

Ada tiga kategori makanan yang disiapkan untuk kakek dan nenek penghuni panti jompo. Pertama, makanan biasa dengan dua tipe nasi, yaitu nasi yang kerasnya normal dan nasi lunak. Makanan pendamping pun cenderung normal, seperti ikan, ayam, atau daging, dengan sayur dan side dish ala Jepang lainnya. 

Kedua, makanan lembek yang biasanya disajikan dengan bubur. Makanan pendamping untuk kategori kedua ini biasanya dihaluskan. Sedangkan, yang ketiga adalah roti yang biasanya disajikan dengan sop dan salad.

Setelah menyiapkan semuanya dengan baik, tepat pukul tujuh lewat lima belas menit, perawat akan mulai mendistribusikan setiap nampan berisikan nasi atau bubur atau roti, makanan pendamping, semangkuk sop, dan minuman untuk semua penghuni panti jompo. 

Ada kebahagiaan dan kehangatan mengalir di hati saat melihat senyuman mereka saat menyantap makan pagi. Namun, tidak jarang air mata ini menetes saat melihat wajah tua renta penuh keriput itu makan sendiri dengan tatapan kosong.

"Gochisousamadeshita" (Terima kasih atas makanannya) ucapan dengan suara pelan dari seorang nenek sambil menganggukkan kepalanya menyadarkanku.

"Hai, Obaasan" (Ya nek) aku pun menganggukkan kepalaku. Kemudian nenek itu berjalan tertatih dengan tubuhnya yang sudah bungkuk. Ah, melihatnya langsung membuatku teringat akan orang tuaku di Indonesia.

Kakek dan nenek yang tinggal disini memiliki alas an masing-masing yang membuat mereka memutuskan untuk tinggal di panti jompo, seorang diri, jauh dari keluarga. Namun, ada juga beberapa pasang suami dan istri yang tinggal disini. Mereka memilih untuk tinggal bersama di panti jompo karena tidak mau berpisah satu sama lain. Ada yang beralasan tidak ingin merepotkan anak-anak mereka. Tapi, tidak jarang juga yang memang sengaja dititipkan oleh anak-anaknya untuk tinggal di panti jompo.

Pernah suatu pagi saat sedang bersiap di depan pintu dapur, aku mendengar seorang nenek berteriak dari atas kursi rodanya.

"Gomennasai! Gomennasai!" (Maaf! Maafkan aku!) berulang kali dia berteriak seperti itu.

Karena khawatir terjadi sesuatu dengan beliau, aku memanggil salah seorang perawat dan memberitahukan kondisi nenek tersebut.

"Uun, daijoubu yo, Suzuki-san" (Udah gapapa kok, Suzuki-san) perawat tersebut menanggapi dengan santai, seolah-olah kejadian tersebut memang sudah biasa terjadi.

Sejurus kemudian aku mengetahui dari rekan kerjaku sesama staf dapur kalau nenek tersebut memang acapkali berteriak-teriak seperti itu karena memiliki trauma disiksa oleh menantunya sendiri. Karena hal itu pula, anaknya memutuskan untuk memasukkan Ibunya ke panti jompo. Miris rasanya membayangkan perasaan nenek tersebut saat anak laki-laki yang dibanggakannya lebih memilih istri yang sudah menyiksa Ibunya sendiri. Tapi, siapa pula aku untuk menghakimi?

Satu episode yang pernah aku lalui dengan air mata yang mengalir dari kedua bola mataku di panti jompo ini adalah saat Ono-san, seorang kakek yang selama hampir tiga bulan sudah aku ingat menu makanannya seperti apa, yang selalu melemparkan senyumnya ke arahku setiap pagi dari atas kursi roda yang mungkin sudah menemaninya cukup lama, menghembuskan nafas terakhirnya di hari dimana pada saat itu aku sedang libur.

"Suzuki-san, Ono-san wa kinou nakunarimashita" (Suzuki-san, Ono-san sudah meninggal kemarin) ujar Yajima-san, rekan kerjaku, saat melihatku sedang menyendokkan bubur ke mangkuk hitam khusus milik Ono-san.

"Hontou ni? Hontou desu ka? Uso deshou?" (Hah serius? Seriusan? Bohong kan?) aku tak percaya dengan apa yang aku dengar saat itu. Yajima-san hanya menganggukkan kepalanya. Ya, Ono-san memang sudah meninggal.

Beliau meninggal didampingi oleh istrinya yang juga tinggal bersama di panti jompo ini. Aku diberitahu oleh salah seorang perawat kalau saat itu, tidak ada satupun anak mereka yang datang walaupun sudah diberitahu. Dengan alasan sibuk.

"Kesibukan apa yang sampai membuat kalian lupa dengan orang tua kalian sendiri? Sampai mati pun, kalian pun enggan untuk datang untuk memberikan perhatian? Dimana hati nurani kalian?!" ingin rasanya aku bertanya seperti itu ke anak-anak Ono-san secara langsung.

Tapi, lagi, siapa aku untuk menghakimi?

Para kakek dan nenek yang tinggal disini sering berucap terima kasih untuk setiap makanan yang aku dan staf dapur sajikan. Tapi, seharusnya aku lah yang berterima kasih kepada mereka. Berterima kasih untuk senyum tulus yang selalu terhias di wajah penuh keriput mereka. Berterima kasih sudah mengajarkanku untuk menghargai setiap waktu yang masih aku miliki untuk lebih mencintai dan menyayangi kedua orang tuaku. Berterima kasih sudah menunjukkan padaku kalau cinta orang tua itu ikhlas dan tulus.

Saitama, 14 Oktober 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun