Mohon tunggu...
Hukum

Sistem Pengupahan dalam Islam, Tegakkan Keadilan dalam Ketenagakerjaan

3 Januari 2019   20:08 Diperbarui: 3 Januari 2019   20:19 4895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Upah Dalam Hukum Islam

1.Pengertian Upah

Dalam Islam, upah dikenal dengan istilah ujrah yang artinya upah. Upah itu sendiri merupakan salah satu bentuk pemberian yang terdapat dalam suatu akad kerjasama antara seseorang dengan orang lainnya, yang termasuk ke dalam kategori akad yang dikenal dengan istilah al-Ijarah.
Oleh karena itu dalam melakukan kad upah mengupah perlu memenuhi rukun dan syarat yang ada dalam ijarah itu sendiri. Di mana hal ini akan dibahas secara rinci terkait dengan akad Ijarah dalam hukum Islam.

a.Pengertian Ijarah
Secara bahasa lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa jasa, atau imbalan.  Al-ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa menyewa, kontrak, atau sewa jasa perhotelan dan lain-lain. Di dalam teori ekonomi upah diartikan sebagai pembayaran ke atas jasa-jasa fisik maupun mental yang di sediakan oleh tenaga kerja kepada para pengusaha.  

Menurut Drs. Malayu S. P. Hasibuan mendefinisikan bahwa upah adalah balas jasa yang dibayarkan kepada pekerja harian dengan pedoman atas perjanjian yang disepakati pembayarannya. Sedangkan secara terminologi, ada beberapa definisi al-ijarah yang di kemukakan oleh ulama fiqih. 

Adapun definisi yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1)Ulama Hanafiyah
"Transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan".

2)Ulama Malikiyah dan Hanabilah
"Suatu akad yan memberikan hak milik atas manfaat suatu barang mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat".

3)Ulama Syafi'iyah
"Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisadiberikan dan  dibolehkan dengan imbalan tertentu".

Ijarah adalah pemilikan jasa dari seorang 'ajir (orang yang kontrak tenaganya) oleh seorang musta'jir (orang yang mengontrak tenaga), serta pemilikan harta dari pihak musta'jir oleh seorang 'ajir. Di mana ijarah merupakan transaksi terhadap jasa tertentu dengan disertai kompensasi. Transaksi mengontrak 'ajir tersebut adakalanya dengan menyebutkan jasa pekerjaan itu sendiri. Apabila transaksi tersebut menyebutkan jasa pekerjaan tertentu, maka yang disepakati itulah yang merupakan jasa yang harus dilaksanakan.

b. Dasar Hukum Upah
Dasar-dasar hukum yang dapat dijadikan sebagai dalil atas kebolehan Upah-mengupah (ijarah), salah satunya tertera dalam al-Quran surah al-Thalaq ayat 6:

"Jika mereka telah menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya".  (Al-Thalaq: 6).

Selain itu, dalil lainnya dalam al-Quran juga terdapat dalam surah al-Qashash ayat 26:

"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".  (Al-Qashash: 26).

Adapun dalan sunnah Rasulullah SAW, tertera dalam salah satu haditsnya bahwa beliau bersabda:

"Dari Ibnu Umar RA. Ia berkata "Rasullah Saw.  Bersabda:" Berilah kepada pekerja upahnya  sebelum keringatnya  kering"( HR.  Ibnu Majah).

c.Rukun dan Syarat Ijarah

Menurut ulama hanafiyah, rukun ijarah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan menyewa) dan qobul persetujuan terhadap sewa menyewa. Akan tetapi jumhur ulama mengatakan bahwa rukun ijarah itu ada empat, yaitu:

1)Orang yang berakad, yaitu pemberi sewa dan orang yang menyewa
2)Sewa/ imbalan
3)Manfaat, dan
4)shighat (ijab dan qobul), ulama hanafiayah menyatakan bahwa orang yang berakat, sewa atau imbalan, dan manfaat, termasuk syarat-syarat al-ijarah, bukan rukunnya.

Selain rukun-rukun yang harus dipeuhi dalam melakukan akad ijarah, di sisi lain juga terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan akad ijarah, adapun syarat ijarah di antaranya adalah:

1)Syarat terjadinya akad
Untuk melakukan akad ijarah ini, aqid disyaratkan harus berakal, yakni orang gila dan anak kecil yang belum mumayyiz tidak sah melakukan akad ini.  

2)Syarat pelaksanaan akad
Disyaratkan dalam pelaksanaan ijarah yaitu kepemilikan dan hak kuasa penuh atas barang yang disewakan.  Oleh kara itu, ijarah al-fudhuli (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kuasa penuh atau mendapat ijin dari pemilik barang tersebut) tidak dapat dilaksanakan.

3)Syarat sahnya ijarah

Syarat sah ijarah adalahsebagai berikut:

1)Kerelaan aqidain, yakni tidak sah melakukan akad ijarah bagi orang yang dipaksa.

2)Manfaat yang harus tertentu dan diketahui bersama sehingga mencegah timbulnya perselisihan di antara orang yang berakad.  Maka tidak sah jika seseorang menyewakan salahsatu dari dua rumahnya tanpa menentukan yang manakah yang akan disewakan dari dua rumah tersebut.  Termasuk dalam upah mengupah/sewa pekerja, pekerjaan juga harus ditentukan secara jelas.  

3)Barang/jasa yang disewakan dapat dimanfaatkan, baik secara nyata maupun secara syari.  Maka tidak sah menyewakan sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan secara nyata, seperti menyewakan rumah yang tidak dapat ditempat.

4)Manfaat yang diakad harus diperbolehkan secara syari, yakni tidak sah mengupah seseorang untuk mimum khamr, diajak berzina, membunuh dan lain-lain.

5)Pekerjaan yang menjadi objek akad ijarah bukan sesuatu yang memang wajib bagi pemberi jasa sebelum akad ijarah dilakukan, seperti mengerjakan salat fardhu, haji, puasa Ramadhan dan lain sebagainya.

6)Ajir tidak boleh mengambil manfaat dari pekerjaannya.  

7)Manfaat harus yangdimaksudkan dengan akad dan sesuai dengan fungsi ma'qud alaih.  Maka tidak sah menyewa pohon untuk dijadikan tempat jemuran atau tempat berteduh, karena itu bukan merupakan fungsi dari pohon.

4)Syarat manfaat

Ada beberapa syarat dari manfaat ma'qud alaih yang harus dipenuhi, yaitu:

1)Dibolehkan, yakni sesuatu yang dilarang tidak sah menjadi manfaat dalam akad ijarah.  
2)Menerima manfaat melalui mu'awadlah.  
3)Manfaat harus bernilai.  
4)Dimiliki.  
5)Tidak mengharuskan memberikan benda, seperti menyewa pohon untuk diambil buahnya.  
6)Dapat diserahkan.
7) Harus benar-benar memberikan manfaat bagi musta'jir.  Maka tidak sah mengupah seseorang untuk melaksanakan salat fardhu bagi dirinya.  
8)Diketahui, yakni ada kejelasan mengenai spesifikasi dan kadarnya.  
5)Syarat Ujrah

Syarat-syarat ujrah adalah sebagai berikut:
1)Ujrah harus berupa harta yang berharga dan kadar nilainya diketahui.  
2)Ujrah tidak boleh berupa manfaat yang sejenis dengan ma'qud alaih, seperti menyewa tempat tinggal dengan ujrah tempat tinggal, menyewa jasa dengan ujrah jasa dan menyewa kendaraan dengan ujrah kendaraan.

d.Jenis-jenis Ijarah
 Dalam ilmu ekonomi Islam, ijarah dalam segi objeknya terbagi keda alam dua macam.  Keduanya adalah sebagai berikut:

1)Ijarah manfaat, yakni menjadikan manfaat dari suatu barang sebagai ma'qud alaih, seperti menyewakan sebuah rumah untuk ditempati dan menyewakan kendaraan untuk dikendarai.

2)Ijarah a'mal, yakni menjadikan pekerjaan/jasa dari seseorang sebagai ma'qud alaih.  Seperti menyewa/mengupah seseorang untuk membangun sebuah bangunan, menjahit baju, atau pekerjaan lainnya. Sedangkan dalam segi upahnya, maka jenis-jenis ijarah digolongkan menjadi dua, yakni:
1)Upah (arjun) musamma, yaitu upah yang sudah disebutkan dalam perjanjian dan dipersyaratkan ketika disebut harus disertai adanya kerelaan kedua belah pihak dengan upah yang telah ditetapkan tersebut, tidak ada unsure pemaksaan.

2)Upah (arjun) misl', yaitu upah yang sepadan dengan kondisi pekerjaannya, baik sepadan dengan jasa kerja maupun sepadan dengan pekerjaannya saja.

2.Penentuan Upah
Rasulullah SAW memberikan contoh yang harus dijalankan kaum muslimin setelahnya, yakni penentuan upah bagi para pegawai sebelum mereka mulai menjalankan pekerjaannya.  Rasulullah SAW bersabda:

"Diceritakan oleh Abi said al-khudri r,a dari Nabi Muhammad SAW bersabda"barang siapa memperkerjakan seorang pekerja, maka harus disebutkan upahnya''.  (H. R.  Abdurrazaq).

Rasulullah memberikan petunjuk bahwa dengan memberikan informasi gaji yang akan diterima, diharapkan akan memberikan dorongan semangat bagi pekerja untuk memulai pekerjaan, dan memberikan ketenangan.  Mereka akan menjalankan tugas pekerjaan sesuai dengan kesepakatan kontrak kerja dengan majikan.

Upah itu sendiri ditentukan berdasarkan jenis pekerjaan, ini merupakan asas pemberian upah sebagaimana ketentuan yang dinyatakan Allah dalam firmannya dalam surat al-Ahqaf ayat 19:

"Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan.  Mereka tiada dirugikan" (Q.S. Al-Ahqaf: 19).

Kata derajat di atas menunjukkan tentang hasil atau kedudukan yang akan diperoleh oleh manusia bahwa hal itu didasarkan pada hasil kinerja mereka.  Jika dikaitkan dengan transaksi ijarah dapat disimpulkan bahwa upah yang diperoleh oleh seseorang akan berbeda dengan upah yang didapatkan oleh orang lainnya sesuai dengan hasil kinerja yang mereka lakukan.

Untuk itu upah yang dibayarkan kepada masing-masing pegawai bisa berbeda berdasarkan jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang dipikulnya. Tanggungan nafkah keluarga juga bisa menentukan jumlah gaji yang diterima pegawai.  Bagi yang sudah berkeluarga, gajinya 2 kali lebih besar dari pegawai yang masih lajang, karena mereka harus menanggung nafkah orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, agar mereka tetap bisa memenuhi kebutuhan dan hidup dengan layak.

Patokan besaran gaji yang paling mudah adalah dengan menyesuaikan upah minimum regional (UMR) setempat. Jangan sampai kurang dari itu karena anda mengalami resiko dengan hukum. Itu adalah patokan gaji paling dasar dalam menentukan gaji. Kalau anda bisa menggaji lebih, itu bagus, tetapi jangan sampai kurang.

Akan tetapi, tidak juga disamaratakan bahwa semua karyawan harus memiliki gaji yang sama.  Seharusnya, semakin berat tanggung jawabnya, semakin berat juga besaran gajinya.

Dalam fikih ekonomi Umar RA. terdapat beberapa perbedaan jumlah upah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya sesuai kualitas pekerja; dimana seyogiannya dibedakan antara para pekerja dipemerintahan dan pekerja terhadap individu.

Pada dasarnya hubungan kerja menurut islam merupakan suatu kerja sama yang saling menguntungkan dalam rangka untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan bersama baik bagi pengusaha atau pekerja, oleh karena itu tidak dibenarkan adanya pemaksaan untuk melakukan suatu pekerjaan diluar ketentuan batas waktu kerja yang telah diatur pemerintah, namun jika suatu perusahaan membutuhkan tenaga seorang pekerja diluar waktu yang telah ditentukan maka berdasarkan hadis di atas pihak pengusaha harus membantu pekerja tersebut dengan menambah upah yang biasanya mereka terima.

Berdasarkan ketentuan hadis di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya persoalan upah bukan hanya persoalan yang berhubungan dengan uang dan ketentuan melainkan lebih pada persoalan bagaimana kita memahami dan menghargai sesama dan tolong menolong antara yang satu dengan yang lainnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun