Mohon tunggu...
Suyono Apol
Suyono Apol Mohon Tunggu... Insinyur - Wiraswasta

Membaca tanpa menulis ibarat makan tanpa produktif.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku PKI?

20 September 2017   08:08 Diperbarui: 20 September 2017   08:39 3962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: dark-room - toptenz.net

Tiba-tiba saja aku dan beberapa temanku diangkut menggunakan truk. Kami tahu bahwa kami diperlakukan dengan baik tapi tetap saja kami merasa kepanasan di atas kendaraan tanpa atap itu. Untunglah angin yang diakibatkan oleh kecepatan truk agak menyejukkan kami. Kami merasa ada yang mengawal truk ini tapi kami tidak tahu pasti.

Kami tiba di suatu kompleks yang hanya terdiri atas beberapa gedung. Kompleks itu berhalaman sangat luas dan asri tapi angker. Truk harus melewati penjagaan petugas keamanan sejak mau masuk pintu pagar. Serah terima kami pun berlangsung resmi dan serius. Masing-masing dari kami diperiksa satu persatu dan datanya disesuaikan dengan dokumen yang kemudian ditandatangani. Beres dengan urusan pemeriksaan dan administrasi, kami ditempatkan di satu ruangan besar dan ditinggalkan setelah pintu ruangan ditutup. Selanjutnya kami hanya menunggu dalam kesunyian dan terisolasi dari kehidupan di dunia ini.

Sekali-sekali pintu dibuka. Satu orang masuk memilih dan membawa satu atau beberapa di antara kami keluar, sementara yang seorang lagi tetap berdiri di ambang pintu mengawasi. Selesai melakukan tugas itu, mereka menutup pintu kembali. Kami yang berada dalam ruangan tak pernah tahu apa yang terjadi dengan teman-teman kami yang dibawa keluar karena mereka tak pernah kembali. Kami beranggapan no news is bad news sehingga kami makin merasa tertekan apalagi pada saat ada orang membuka pintu dan masuk. Menunggu dalam ketiadaan informasi itu sendiri sudah merupakan siksaan psikologis yang sangat meresahkan.

Kami mulai mengira-ngira siksaan apa yang akan diberikan kepada kami. Kami pikir siksaan ringan dan perlahan-lahan justru akan bisa membuat kami gila. Chinese water torture (meneteskan air di dahi dalam waktu lama) adalah salah satunya.

Siksaan yang juga berat adalah dengan memberikan kenikmatan sesaat yang kemudian dicabut secara mendadak, digantikan dengan keadaan sebaliknya yang kontras, syok karena terbanting dari ketinggian gairah hasil manipulasi.

Tiba-tiba pintu terbuka. Kali ini tanpa ada keraguan sedikitpun, dua orang, ya dua orang sekaligus, menghampiriku. Yang seorang adalah petugas yang biasa memilih dan mengambil kami, sedang yang seorang lagi berbadan atletis, berambut cepak, berbaju batik coklat, dan tampak gagah sekali.

Petugas yang biasa kulihat, kini menepuk-nepuk punggungku sambil berkata, "ini yang terbaik pak."

Si Baju Batik tampak tersenyum puas dan menjawab, "ya cocok untuk seorang nona yang cantik."

"Deg!" Jantungku berdegup. Kaget karena teringat akan siksaan yang diawali dengan kenikmatan sesaat.

Si Baju Batik menggiringku ke luar gedung. Di halaman yang luas itu berdirilah seorang gadis cantik jelita bergaun warna merah muda. Rambutnya yang hitam indah bergoyang melambai seirama angin di bulan Maret. Matanya membinar penuh harap merespon syaraf-syaraf di beberapa bagian sensitif tubuhnya yang berkedut-kedut penuh gairah. Senyum tipis yang selalu manis itu kini merekah tanda terkejut dan gembira menyambut kedatangan kami.

Si Baju Batik menyerahkanku kepada gadis berkulit putih segar itu, "Mbak, ini hadiahnya dari Bapak."

"Terima kasih, oh terima kasih... Oh senangnya... Akan kurawat dia baik- baik," tubuhnya turun naik mengikuti genjotan hatinya yang kesenangan.

Gadis itu menuntunku, membuat perasaanku senang tapi sekaligus kacau saat aku bersentuhan dengan pinggulnya. "Serrr... serrr...!" Namun tiba-tiba...

"Tang... ting... tung... ... Tang... ting... tung..." ah, telepon selular gadis itu mengganggu saja.

Angin bulan Maret ini cukup keras sehingga aku tidak dapat menyimak isi percakapannya dengan baik, hanya bisa mendengar penggalan-penggalan kalimat seperti berikut.

"... celananya terbang ketika dijemur?" (1)

...

(tak jelas)

...

"... selalu ingin..." (2)

"... memelukmu lagi..." (2)

"... hanya engkau..." (2)

"... meminta padaku..." (2)

"... jangan pernah..." (2)

"... hatiku memilihmu..." (2)

...

(tak jelas)

...

Pembicaraan baru saja selesai ketika kembali terdengar bunyi menyebalkan itu lagi.

"Tang... ting... tung... ... Tang... ting... tung..."

Pembicaraan kali ini pun tak jelas.

...

"... di atas perahu di tengah hutan?" (3)

...

(tak jelas)

...

"... kau nyatakan..." (4)

"... takkan pernah bisa..." (4)

...

"... yang kau beri..." (4)

"... terjebak di ruang..." (4)

...

"... sendiri ku di sini..." (4)

"... takkan pernah... " (4)

"... rasakan cinta..." (4)

...

(tak jelas)

...

Syukurlah pembicaraan segera berakhir. Juru foto eksklusif yang tadi menunggu, meminta kami berpose.

"Deg!" Daku bergetar, aku merasakan kehangatannya ketika gadis itu duduk di atas sadelku.

"Senyum, Mbak Raisa... senyum!" Juru foto istana kepresidenan itu berseru.

"Foto sekali lagi Mbak Raisa, kali ini tunjukkan bagian sepeda yang bertuliskan 'Hadiah Presiden Jokowi'. Oh, nanti tulisannya jangan dikerok ya? Di bawahnya ada tulisan 'Polygon Kuis Istana'."

Aku PKI, Polygon Kuis Istana? Ah, mungkin ia bercanda, yang penting kini aku milik Raisa Andriana.

- - - - - - - - - -

Catatan:

(1) Percakapan dengan seorang kompasianer. (Silakan tebak, siapa dia.)

(2) Dari lagu "Mantan Terindah" - Yovie Widiyanto.

(3) Percakapan dengan seorang kompasianer lainnya. (Silakan tebak, siapa dia.)

(4) Dari lagu "Terjebak Nostalgia" - Adrianto Ario Seto.

- o 0 o -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun