Pasangan ke-13 adalah Nadjmi Adhani-Darmawan Jaya Setiawan yang memenangi Pemilihan Walikota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Pasangan ke-14 adalah Neni Moerniaeni-Basri Rase yang memenangi Pemilihan WaliKota Bontang, Kalimantan Timur pada 9 Desember 2015. Rencananya mereka akan dilantik pada 31 Maret 2016.
Ahok melawan arus
Dari bahasan di awal tulisan ini, berdasarkan perkembangan perpolitikan yang sehat, seharusnya parpol merupakan sarana utama bagi rakyat untuk menyalurkan gagasan-gagasan politik mereka. Namun, ternyata parpol-parpol yang ada masih jauh dari harapan rakyat, tidak cukup untuk menampung aspirasi rakyat, sehingga memberi celah bagi kehadiran calon-calon kepala daerah melalui jalur perseorangan. Melihat hasilnya selama ini, ternyata calon-calon perseorangan bisa menang juga, tetapi persentasenya relatif kecil. Mengapa?
Banyak calon perseorangan yang bukan tokoh independen, mereka adalah orang partai yang kalah bersaing di partainya kemudian memanfaatkan jalur perseorangan. Atau, ada juga tokoh independen tetapi ketokohan mereka tidak cukup memadai, mereka tidak memiliki akar rumput.
Sebaliknya, tokoh-tokoh independen atau non-parpol yang bagus dan berpotensi tinggi untuk menang justru dilirik dan diusung partai. Sebagai contoh, sejatinya Ridwan Kamil bukanlah kader binaan partai bahkan KTA (kartu tanda anggota) partai saja ia tidak punya, tapi ia diusung oleh PKS dan Gerindra untuk menjadi calon Walikota Bandung pada tahun 2013. Tri Rismaharini (Risma) pun jelas-jelas seorang PNS (pewai negeri sipil) yang pasti bukan anggota partai, yang kemudian diusung oleh PDI-P untuk menjadi calon Walikota Surabaya pada tahun 2010. Hal ini menunjukkan salah satu fungsi parpol, yaitu pembinaan kader sesuai dengan visi partai, tidak berhasil meskipun berdalih demi melaksanakan fungsi parpol yang lainnya, yaitu perekrutan dan pemilihan orang-orang berbakat untuk mengimplementasikan gagasan parpol di pemerintahan. Hal ini makin memperkuat anggapan bahwa calon perseorangan adalah pedestarian karena tidak punya kendaraan.
Di antara calon perseorangan yang menang, ada juga kader partai yang memiliki ketokohan yang kuat tetapi partainya sedang mengalami konflik internal (seperti PPP atau Golkar) sehingga menempuh jalur perseorangan.
Ahok adalah fenomena baru dan bisa menciptakan perubahan kebiasaan berpolitik dan demokrasi di Indonesia, tergantung keberhasilannya kelak. Ia adalah petahana dengan popularitas dan elektabilitas tertinggi di DKI. Seharusnya ia memiliki posisi tawar tinggi dan menjadi incaran parpol untuk diusung. Buat parpol, secara spesifik PDI-P, mengusungnya adalah jalan pintas menuju kemenangan. Namun, tampaknya deal politik antara Megawati dan Ahok mengalami hambatan serius. Mengapa?
Ahok bukanlah Risma. Risma memang bisa lebih penurut dan sabar dibanding Ahok, tapi itu bukan alasan utama yang membuat deal Risma dengan Megawati lebih lancar. Yang membuat Megawati gentar adalah beberapa parpol lain bersiap mengusung Risma kalau PDI-P tidak sigap mengamankan Risma, sementara elektabilitas Risma menjulang kokoh tak tergoyahkan. Bayangkan kalau sampai Gerindra dan Demokrat termasuk di antara mereka yang memberi kendaraan politik buat Risma.
Menghadapi Ahok, Megawati tergoda untuk berhitung, sebagai parpol pemenang pemilu 2014 di DKI dan memiliki cukup kursi di DPRD DKI untuk mengusung calon sendiri, apakah kader terkuatnya bisa menumbangkan Ahok yang maju melalui jalur perseorangan? Dua parpol kuat di DKI, Gerindra dan PKS, ia hitung sebagai "pihak ketiga" yang tidak akan mengusung Ahok.
Hitung-hitungan secara terpisah oleh Megawati dan Ahok ini bisa berdampak serius dan berisiko tinggi buat PDI-P dan DKI. Kalau Megawati salah hitung, mitos kepala daerah perlu kendaraan parpol bisa rontok. Paling tidak, citra dan kewibawaan PDI-P di DKI akan melorot ditarik gaya gravitasi, dan PDI-P bisa cenderung menjadi pemeran antagonis di DKI. Sebaliknya kesalahan pada software dan brainware Ahok akan membuat sebagian warga DKI menangis karena kehilangan gubernur terbaiknya setelah Ali Sadikin. Kita tunggu saja, sambil terus berdoa dan berjuang demi Jakarta yang lebih baik.
Tips: Biasakanlah memiliki cadangan fotokopi KTP di rumah dan/atau di kantor.