Mohon tunggu...
Suyono Apol
Suyono Apol Mohon Tunggu... Insinyur - Wiraswasta

Membaca tanpa menulis ibarat makan tanpa produktif.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Dobrak Tradisi Demokrasi Domestik

10 Maret 2016   17:00 Diperbarui: 10 Maret 2016   17:12 1286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="To different direction - Sumber Gambar: dreamstime.com (frame was added) - Logo © Teman Ahok"][/caption]

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah dua unsur unggul yang kalau disinergikan dalam suatu racikan yang optimal akan merupakan formula kemenangan yang sakti dan ideal dalam menghadapi Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017. Namun di dunia politik, kisah putri tercantik dan pangeran terganteng tidak selalu harus berakhir dengan hidup bersama berbahagia selamanya. Pada hari Minggu, 6 Maret 2016 malam, Ahok yang dikunjungi komunitas "Teman Ahok", memutuskan untuk memilih maju melalui jalur perseorangan dengan Heru Budi Hartono, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI Jakarta, sebagai wakilnya.
Partai politik (parpol) dalam demokrasi

Istilah parpol mengandung konotasi buruk dalam persepsi publik, seperti pembohong, serakah, koruptor, serta mementingkan diri sendiri dan kelompok. Namun, dalam demokrasi modern yang benar, parpol adalah keniscayaan.

Dari ratusan juta rakyat akan ada begitu banyak pendapat, kemauan, dan kepentingan; sebagian malah saling bertentangan. Harus ada yang mengumpulkan dan mengolah berbagai gagasan itu dan merumuskannya menjadi kebijakan dan program, kemudian mengimplementasikannya. Untuk itulah diperlukan parpol. Tanpa parpol akan terjadi khaos. Parpol adalah penghubung antara politik dan masyarakat.

Sejak zaman dulu orang tahu bahwa orang-orang yang membuat aturan dan yang melaksanakannya perlu dipisah. Ada legislatif dan ada eksekutif. Tanpa pemisahan itu, dijamin akan terjadi kesewenang-wenangan. Itu adalah konsep dasar yang amat disederhanakan.

Legislatif dan eksekutif harus sinkron dan harmonis kalau tidak mau saling jegal yang mengarah pada kerusakan. Kestabilan politik akan lebih mudah dicapai apabila eksekutif berasal dari (gabungan) parpol yang juga kuat di parlemen. Apabila suatu kelompok parpol di parlemen cukup kuat untuk menjatuhkan eksekutif yang tidak mengikuti kemauan legislatif maka adalah wajar dan alamiah apabila legislatif menjatuhkan eksekutif. Dalihnya, politisi berkewajiban memaksa siapapun, termasuk eksekutif, agar kehendak rakyat yang mereka wakili dijalankan dengan benar.

Sayangnya, parpol-parpol di Indonesia sangat jauh dari harapan. Meskipun demikian, mereka adalah yang seharusnya terbaik yang dimiliki seluruh rakyat Indonesia, mereka juga mewakili politik rakyat Indonesia setelah melalui seleksi alam yang keras dan kompetitif. Mereka setelah melalui pengorbanan dan perjuangan merupakan pemenangnya sampai akhirnya bisa berada di situ. Mereka adalah kumpulan dari orang-orang yang mau dan teruji dalam melaksanakan politik praktis.


Calon perseorangan juga bisa menang dalam pilkada

Dari ratusan pemilihan kepala daerah yang digelar, ada 14 pasangan calon perseorangan yang menang. Berikut ini adalah para pemenang tersebut.

Pasangan ke-1 adalah Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar yang memenangi Pemilihan Gubernur Aceh melalui jalur perseorangan pada 11 Desember 2006 dan dilantik pada 8 Februari 2007. Itu adalah pilkada pertama di Aceh seusai konflik bersenjata yang ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki pada 15 Agustus 2005.

Pasangan ke-2 adalah Tengku Nurdin Abdurrahman dan Tengku Busmadar Ismail yang memenangi Pemilihan Bupati Kabupaten Bireuen, Aceh pada 26 Juni 2007.

Sementara itu, pada tanggal 28 April 2008 disahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, tentang perubahan kedua terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang tersebut dalam Pasal 56 Ayat (2) telah mengakomodasi calon perseorangan.

Pasangan ke-3 adalah OK Arya Zulkarnain dan Gong Martua Siregar yang memenangi Pemilihan Bupati Kabupaten Batubara, Sumatera Utara pada 10 Oktober 2008. Arya adalah tokoh setempat yang sebelumnya mengupayakan pemekaran Kabupaten Batubara dari Kabupaten Asahan.

Pasangan ke-4 adalah Christian N Dillak-Zacarias P Manafe yang memenangi Pemilihan Bupati Kabupaten Rote-Ndao, Nusa Tenggara Timur pada 13 Oktober 2008.

Pasangan ke-5 adalah Muda Mahendrawan-Andreas Muhrotein yang memenangi Pemilihan Bupati Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat pada 19 Desember 2008. Mereka dilantik pada 17 Februari 2009. Kubu Raya merupakan wilayah pemekaran Kabupaten Pontianak pada 2007.

Pasangan ke-6 adalah Aceng HM Fikri-Dicky Candra yang memenangi Pemilihan Bupati Kabupaten Garut, Jawa Barat pada 21 Desember 2008. Mereka dilantik pada 23 Januari 2009.

Pasangan ke-7 adalah Saiful Ilah–MG Hadi Sucipto yang memenangi Pemilihan Bupati Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur pada 25 Juli 2010. Mereka dilantik pada 1 November 2010.

Pasangan ke-8 adalah Jonas Salean-Hermanus Man yang memenangi Pemilihan Walikota Kupang, NTT pada 27 Juni 2012. Mereka dilantik pada 1 Agustus 2012.

Berikutnya (ke-9 sampai dengan ke-14) adalah hasil Pilkada Serentak 9 Desember 2015. Mereka semua sudah dilantik pada 17 Februari 2016 kecuali pasangan Neni Moerniaeni-Basri Rase yang rencananya akan dilantik pada 31 Maret 2016.

Pasangan ke-9 adalah Abdul Hafidz-Bayu Andriyanto yang memenangi Pemilihan Bupati Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Pasangan ke-10 adalah Ramlan Nurmatias-Irwandi yang memenangi Pemilihan WaliKota Bukittinggi, Sumatera Barat.

Pasangan ke-11 adalah M Syahrial-Ismail Marpaung yang memenangi Pemilihan WaliKota Tanjung Balai, Sumatera Utara.

Pasangan ke-12 adalah Martin Rantan-Suprapto yang memenangi Pemilihan Bupati Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

Pasangan ke-13 adalah Nadjmi Adhani-Darmawan Jaya Setiawan yang memenangi Pemilihan Walikota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

Pasangan ke-14 adalah Neni Moerniaeni-Basri Rase yang memenangi Pemilihan WaliKota Bontang, Kalimantan Timur pada 9 Desember 2015. Rencananya mereka akan dilantik pada 31 Maret 2016.


Ahok melawan arus

Dari bahasan di awal tulisan ini, berdasarkan perkembangan perpolitikan yang sehat, seharusnya parpol merupakan sarana utama bagi rakyat untuk menyalurkan gagasan-gagasan politik mereka. Namun, ternyata parpol-parpol yang ada masih jauh dari harapan rakyat, tidak cukup untuk menampung aspirasi rakyat, sehingga memberi celah bagi kehadiran calon-calon kepala daerah melalui jalur perseorangan. Melihat hasilnya selama ini, ternyata calon-calon perseorangan bisa menang juga, tetapi persentasenya relatif kecil. Mengapa?

Banyak calon perseorangan yang bukan tokoh independen, mereka adalah orang partai yang kalah bersaing di partainya kemudian memanfaatkan jalur perseorangan. Atau, ada juga tokoh independen tetapi ketokohan mereka tidak cukup memadai, mereka tidak memiliki akar rumput.

Sebaliknya, tokoh-tokoh independen atau non-parpol yang bagus dan berpotensi tinggi untuk menang justru dilirik dan diusung partai. Sebagai contoh, sejatinya Ridwan Kamil bukanlah kader binaan partai bahkan KTA (kartu tanda anggota) partai saja ia tidak punya, tapi ia diusung oleh PKS dan Gerindra untuk menjadi calon Walikota Bandung pada tahun 2013. Tri Rismaharini (Risma) pun jelas-jelas seorang PNS (pewai negeri sipil) yang pasti bukan anggota partai, yang kemudian diusung oleh PDI-P untuk menjadi calon Walikota Surabaya pada tahun 2010. Hal ini menunjukkan salah satu fungsi parpol, yaitu pembinaan kader sesuai dengan visi partai, tidak berhasil meskipun berdalih demi melaksanakan fungsi parpol yang lainnya, yaitu perekrutan dan pemilihan orang-orang berbakat untuk mengimplementasikan gagasan parpol di pemerintahan. Hal ini makin memperkuat anggapan bahwa calon perseorangan adalah pedestarian karena tidak punya kendaraan.

Di antara calon perseorangan yang menang, ada juga kader partai yang memiliki ketokohan yang kuat tetapi partainya sedang mengalami konflik internal (seperti PPP atau Golkar) sehingga menempuh jalur perseorangan.

Ahok adalah fenomena baru dan bisa menciptakan perubahan kebiasaan berpolitik dan demokrasi di Indonesia, tergantung keberhasilannya kelak. Ia adalah petahana dengan popularitas dan elektabilitas tertinggi di DKI. Seharusnya ia memiliki posisi tawar tinggi dan menjadi incaran parpol untuk diusung. Buat parpol, secara spesifik PDI-P, mengusungnya adalah jalan pintas menuju kemenangan. Namun, tampaknya deal politik antara Megawati dan Ahok mengalami hambatan serius. Mengapa?

Ahok bukanlah Risma. Risma memang bisa lebih penurut dan sabar dibanding Ahok, tapi itu bukan alasan utama yang membuat deal Risma dengan Megawati lebih lancar. Yang membuat Megawati gentar adalah beberapa parpol lain bersiap mengusung Risma kalau PDI-P tidak sigap mengamankan Risma, sementara elektabilitas Risma menjulang kokoh tak tergoyahkan. Bayangkan kalau sampai Gerindra dan Demokrat termasuk di antara mereka yang memberi kendaraan politik buat Risma.

Menghadapi Ahok, Megawati tergoda untuk berhitung, sebagai parpol pemenang pemilu 2014 di DKI dan memiliki cukup kursi di DPRD DKI untuk mengusung calon sendiri, apakah kader terkuatnya bisa menumbangkan Ahok yang maju melalui jalur perseorangan? Dua parpol kuat di DKI, Gerindra dan PKS, ia hitung sebagai "pihak ketiga" yang tidak akan mengusung Ahok.

Hitung-hitungan secara terpisah oleh Megawati dan Ahok ini bisa berdampak serius dan berisiko tinggi buat PDI-P dan DKI. Kalau Megawati salah hitung, mitos kepala daerah perlu kendaraan parpol bisa rontok. Paling tidak, citra dan kewibawaan PDI-P di DKI akan melorot ditarik gaya gravitasi, dan PDI-P bisa cenderung menjadi pemeran antagonis di DKI. Sebaliknya kesalahan pada software dan brainware Ahok akan membuat sebagian warga DKI menangis karena kehilangan gubernur terbaiknya setelah Ali Sadikin. Kita tunggu saja, sambil terus berdoa dan berjuang demi Jakarta yang lebih baik.

Tips: Biasakanlah memiliki cadangan fotokopi KTP di rumah dan/atau di kantor.

Sumber Gambar: dreamstime.com

Artikel Terkait: Ahok vs Sandiaga Uno, Bukan tentang Yusril


— •oo 0θ Φ θ0 oo• —

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun