Mohon tunggu...
Suyono Apol
Suyono Apol Mohon Tunggu... Insinyur - Wiraswasta

Membaca tanpa menulis ibarat makan tanpa produktif.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Akan Seperti Apa Isi Perppu Calon Tunggal Pilkada?

30 Juli 2015   18:03 Diperbarui: 12 Agustus 2015   03:46 1167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pilkada Serentak 2015 - Sumber Gambar: liputanbanten.com"][/caption]

 

Menghadapi adanya pasangan calon tunggal kepala daerah dalam Pilkada Serentak 2015 trio Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdjiatno, Menkumham Yasonna Laoly, dan Mendagri Tjahjo Kumolo terlihat defensif, saling melempar wacana yang berubah-ubah dan belum memiliki solusi tuntas. Sedang waktu berjalan terus menyisakan fakta bahwa ada 12 kabupaten/kota hanya memiliki pasangan calon tunggal dan satu kabupaten belum memilki pasangan calon kepala daerah (UPDATE pada Kamis 30 Juli 2015 pukul 17.30 WIB). Permasalahannya telah dibahas di sini dan di sini.

 

Opsi diundur sampai Pilkada 2017

Solusi default adalah mengikuti Peraturan KPU yang berlaku, yaitu apabila setelah lewat perpanjangan masa pendaftaran (1-3 Agustus 2015) belum juga mendapatkan dua pasangan calon atau lebih, pilkada di daerah yang bersangkutan diundur sampai pilkada berikutnya (Pilkada 2017). Kelemahan opsi ini adalah selama masa penundaan yang cukup lama itu kabupaten/kota dipimpin oleh pelaksana tugas bupati/walikota yang merupakan pejabat eselon II yang diusulkan oleh gubernur ke Kemendagri untuk kemudian ditentukan oleh Kemendagri. Jadi, petahana bupati/walikota dipastikan menganggur total selama periode penundaan itu.

Menariknya, calon tunggal bupati/walikota itu diusung (dan didukung) bukan hanya oleh satu atau dua partai, tetapi oleh banyak partai yang bagaikan laron meluruk mengusung calon terkuat yang benar-benar sangat kuat itu. Kalau sudah begitu, siapa yang bisa melawan? Bukankah untuk mengusung satu pasang calon diperlukan persyaratan minimal 20% kursi DPRD atau 25% suara sah pileg di pusat? Apakah perlu bantuan calon independen yang diskenariokan pasti kalah, sebagai calon boneka?

Argumen terkuat untuk menolak opsi ini adalah bahwa opsi ini tidak menyelesaikan masalah. Masalahnya adalah rekursif, yaitu kalau pada tahun 2015 calonnya tunggal, tidak ada jaminan pada tahun 2017 calonnya tidak tunggal. Dengan peraturan seperti itu, bagaimana kalau setelah ditunda sampai seratus pilkada calonnya tetap tunggal?

 

Opsi pengeluaran Perppu

Ada tuduhan bahwa bisa terjadinya calon tunggal pada pemilihan tingkat kabupaten/kota adalah karena keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan anggota DPR/DPRD/DPD untuk mengundurkan diri terlebih dahulu kalau mencalonkan diri dalam pemilu padahal banyak kader potensial merupakan anggota dewan-dewan tersebut, dan mereka tidak berani menempuh risiko melepaskan zona amannya untuk sesuatu yang tidak pasti apalagi kalau kansnya tipis dan harus buang-buang uang yang tidak sedikit. Karena sudah diputuskan MK, berarti aturan ini sudah final.

Alasan lain adalah, ada calon (biasanya petahana) yang terlalu kuat dilawan. Daripada melawannya dan pasti kalah setelah buang-buang uang dan waktu, lebih baik biarkan saja lawan sendirian sehingga pilkada ditunda. Ini adalah politik bumi hangus dan sekaligus melemahkan petahana menjadi pengangguran.

Pada saat ini beberapa pihak, terutama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mewacanakan agar presiden mengeluarkan Perppu. Secara spesifik mereka mewacanakan bumbung kosong, yaitu pada surat suara terdapat dua kotak pilihan; pada kotak pertama terdapat gambar pasangan calon tunggal; sedang pada kotak kedua isinya kosong. Pemilih mencoblos di salah satu kotak itu yang merepresentasikan "yes" dan "no" atas pasangan calon tunggal tersebut.

Praktik bumbung kosong ini memang sudah lama ada di tingkat desa untuk memilih kepala desa. Lucunya ada beberapa calon kepala desa yang dikalahkan bumbung kosong, terpaksa pilkades diulang, dan parahnya, ada yang diulang sampai kelima kalinya karena calon tunggal itu sudah empat kali kalah oleh kotak kosong (Pilkades Dlingo). Jadi sebetulnya, secara teoritis, cara bumbung kosong ini tidak layak dijadikan peraturan karena bisa berulang tak berkeputusan. Andaikan bumbung kosong menang terus sampai seratus kali, apa yang harus dilakukan?

Yang berkepentingan di Kota Surabaya sangat yakin, khusus untuk kasus mereka, apabila benar sampai harus menjalani pilkada dengan pasangan calon tunggal, Risma-Wisnu akan menang dengan sekali pemilihan saja. Itulah masalahnya, Perppu tidak boleh dibuat hanya untuk kepentingan sendiri, sesaat, dan khusus; Perppu harus adil dan umum. Perppu itu harus mencakup berbagai macam kemungkinan, tidak memberi celah pada hal-hal yang tidak dikehendaki yang secara teoritis bisa terjadi. Dari pihak-pihak yang mendorong cara bumbung kosong, jelas tujuannya cuma satu, yaitu agar calon tunggal itu lolos menjadi pemenangnya. Untuk mendukung cara bumbung kosong, mereka berdalih bahwa itu berguna untuk menunjukkan ada berapa persen yang menolak calon tunggal tersebut. Kalau hanya untuk informasi sekelas survei itu saja, mengapa harus repot-repot menyelenggarakan pilkada menggunakan uang dan waktu rakyat padahal pemenangnya sudah jelas?

Daripada berbelit-belit dan aneh-aneh, sebetulnya solusinya mudah sekali. Buatlah Perppu untuk menyatakan bahwa kalau ada pasangan calon tunggal maka merekalah pemenangnya sebagai pasangan kepala daerah. Orang yang punya elektabilitas tertinggi sehingga para lawannya bertekuk lutut tentu yang paling pantas menjadi pemenang. Tak ada argumen yang bisa menyangkalnya.

Sumber Gambar: liputanbanten.com

 


— •oo 0θ Φ θ0 oo• —

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun