Alasan lain adalah, ada calon (biasanya petahana) yang terlalu kuat dilawan. Daripada melawannya dan pasti kalah setelah buang-buang uang dan waktu, lebih baik biarkan saja lawan sendirian sehingga pilkada ditunda. Ini adalah politik bumi hangus dan sekaligus melemahkan petahana menjadi pengangguran.
Pada saat ini beberapa pihak, terutama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mewacanakan agar presiden mengeluarkan Perppu. Secara spesifik mereka mewacanakan bumbung kosong, yaitu pada surat suara terdapat dua kotak pilihan; pada kotak pertama terdapat gambar pasangan calon tunggal; sedang pada kotak kedua isinya kosong. Pemilih mencoblos di salah satu kotak itu yang merepresentasikan "yes" dan "no" atas pasangan calon tunggal tersebut.
Praktik bumbung kosong ini memang sudah lama ada di tingkat desa untuk memilih kepala desa. Lucunya ada beberapa calon kepala desa yang dikalahkan bumbung kosong, terpaksa pilkades diulang, dan parahnya, ada yang diulang sampai kelima kalinya karena calon tunggal itu sudah empat kali kalah oleh kotak kosong (Pilkades Dlingo). Jadi sebetulnya, secara teoritis, cara bumbung kosong ini tidak layak dijadikan peraturan karena bisa berulang tak berkeputusan. Andaikan bumbung kosong menang terus sampai seratus kali, apa yang harus dilakukan?
Yang berkepentingan di Kota Surabaya sangat yakin, khusus untuk kasus mereka, apabila benar sampai harus menjalani pilkada dengan pasangan calon tunggal, Risma-Wisnu akan menang dengan sekali pemilihan saja. Itulah masalahnya, Perppu tidak boleh dibuat hanya untuk kepentingan sendiri, sesaat, dan khusus; Perppu harus adil dan umum. Perppu itu harus mencakup berbagai macam kemungkinan, tidak memberi celah pada hal-hal yang tidak dikehendaki yang secara teoritis bisa terjadi. Dari pihak-pihak yang mendorong cara bumbung kosong, jelas tujuannya cuma satu, yaitu agar calon tunggal itu lolos menjadi pemenangnya. Untuk mendukung cara bumbung kosong, mereka berdalih bahwa itu berguna untuk menunjukkan ada berapa persen yang menolak calon tunggal tersebut. Kalau hanya untuk informasi sekelas survei itu saja, mengapa harus repot-repot menyelenggarakan pilkada menggunakan uang dan waktu rakyat padahal pemenangnya sudah jelas?
Daripada berbelit-belit dan aneh-aneh, sebetulnya solusinya mudah sekali. Buatlah Perppu untuk menyatakan bahwa kalau ada pasangan calon tunggal maka merekalah pemenangnya sebagai pasangan kepala daerah. Orang yang punya elektabilitas tertinggi sehingga para lawannya bertekuk lutut tentu yang paling pantas menjadi pemenang. Tak ada argumen yang bisa menyangkalnya.
Sumber Gambar: liputanbanten.com
Â
— •oo 0θ Φ θ0 oo• —
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H