Oleh: Suyito Basuki
Saya mendapat berita bahwa mas Godod Sutejo dipanggil Tuhan dari adik ipar, siang ini. Saya memanggil Godod Sutejo dengan panggilan 'mas' karena beliau putranya pakdhe. Lebih tepatnya, bapaknya mas Godod kakaknya almarhum Bapak Mertua saya.
Segera kemudian saya menelpon mbak Atik, istri mas Godod Sutejo. Saya mengucapkan bela sungkawa yang mendalam dan bertanya kapan pemakaman dilaksanakan. Ternyata pemakaman dilaksanakan besok Kamis Pahing 29 Agustus 2024 jam 14.00. Saya, istri dan anak berencana akan menghadiri rumah duka, Posnya Seni Godod Jalan Suryodiningratan Mj II/ 641 Kavling BNI Gang Rakhmat Yogyakarta.
Tetap Survive dengan Berbagai Aktivitas
Terakhir saya bertemu dengan beliau saat menengok beliau terbaring sakit di ruang Cempaka RSUD Bantul Yogyakarta Rabu 14 Agustus 2024 yang baru lalu. Sebenarnya tanggal 14 Agustus 2024 itu rencana mau melihat pembukaan pameran lukisnya yang bertajuk "Manjing".
Melihat catatan kiriman pesan WhatsApp beliau, tanggal 23 Juli menginfokan 2 hal supaya saya menulis liputan di Kompasiana. Yang pertama tanggal 27 Juli 2024 akan ada jamasan pusaka di Lembah Kayangan dan yang kedua rencana persiapan pameran lukisan tunggalnya dari tanggal 14 Agustus-31 Agustus 2024 di Kiniko Bantul Yogyakarta.Â
Selama ini beliau selalu menginfokan kegiatan-kegiatan pameran lukisan yang diadakan di Yogyakarta baik pameran lukisannya secara mandiri atau keroyokan bahkan pameran pelukis lain.Â
Oleh karenanya saya mengenal banyak pelukis terutama sangat familier dan berkomunikasi baik dengan pelukis senior Subroto Sm, meski belum sempat ketemu secara fisik.
Karena jarak rumah Jepara yang jauh dengan lokasi pameran di Jogja, serta kesibukan utama yang tidak bisa saya tinggal di Jepara, hampir semua tulisan, beliaulah yang memberi info dengan mengirim katalog, gambar-gambar lukisan dan foto-foto kegiatan pameran. Sering saya minta untuk merekam pendapat pengunjung pameran yang kemudian saya transkrip untuk kelengkapan tulisan.
Tidak saja soal pameran lukisan, tetapi kegiatan yang bersinggungan dengan budaya, dimana beliau menjadi pemrakarsa atau terlibat di dalamnya, maka saya pasti diberi info berikut kelengkapannya. Seperti soal pusaka keris, peringatan tahun Jawa, Kemah Budaya dan lain-lain saya diinfo dan kemudian saya tulis di Kompasiana.Â
Saya bersama istri berkunjung juga belum lama ini untuk melihat usaha sampingannya mengembangkan bunga ketelang untuk terapi kesehatan. Saya bersama istri melihat perkebunan sederhana yang dengan tekun dirawat Godod Sutejo dan mbak Atik.
Saya kemudian menulis usahanya terhadap kembang ketelang ini di Kompasiana dan kalau tidak salah telah dilihat sekitar 8.000 viewer. Saya sampaikan ke beliau bahwa sudah sekian viewer yang melihat artikel bunga ketelang, beliau nampak senang.
Di rumahnya yang sekaligus menjadi galeri untuk lukisan-lukisannya yang diberi nama Posnya Seni Godod, tersedia kamar-kamar yang disediakan untuk para pelancong baik dari domestik maupun dari luar negeri.
Suatu ketika ada pelancong yang ternyata seorang pelukis dari negeri sakura Jepang yang menginap di rumahnya. Jadilah kemudian sebuah kolaborasi melukis bersama antara pelukis Jepang ini dengan Godod Sutejo dan kawan-kawan pelukis Jogja. Saya telah menulis kegiatan itu juga di Kompasiana.
Pengalaman covid 19 memberi inspirasi kepada Godod Sutejo untuk mengerjakan pekerjaan apa saja demi survive sebagai seorang seniman. Godod Sutejo pernah memberi info bahwa para pelukis dan pekerja seni Joga pada masa Covid-19 banyak mendirikan kafe, demi survive. Selepas Covid-19, Godod Sutejo bersama rekan-rekan pelukis kemudian menyelenggarakan lukis bersama di salah satu kafe tersebut.
Sejak tahun 1990-an saya merantau ke Yogya bersama istri, ketika itu beliau awal-awal mandhegani Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), kami sudah intensif berkomunikasi.Â
Oleh karenanya saya tahu koleksi-koleksi motor gedenya Harley Davidson yang ada beberapa dipajang di galerinya, kemudian juga barang-barang lawasan seperti setrika lawas dengan berbagai model, lampu-lampu petromax dengan sumbu kainnya, radio-radio transistor kuno dari jaman ke jaman, akik-akik, keris-keris dan barang-barang antik lainnya.
Setelah masa Covid-19 berlalu saya tidak lagi melihat motor-motor gedhenya. Saya bertanya, ke mana motor-motornya mas?
Dengan polos dia jawab, sudah dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Entah benar entah tidak jawaban beliau, saya kurang tahu persis. Tapi yang jelas, selama "berkawan" sejauh ini, beliau selalu berbicara apa adanya.
Sakit Bagian Dalam
Baru hari kemarin, Selasa 27 Agustus 2024, saya mendapat info dari saudara yang mengabarkan bahwa mas Godod Sutejo, sehari setelah pulang dari RSUD Bantul kemudian masuk rawat inap di ruang ICU RS Bethesda Yogyakarta.Â
Saya bertanya kepada saudara yang pernah bekerja di RS Bethesda Yogyakarta dan sekarang bermukim di Yogyakarta itu bahwa penyakit mas Godod Sutejo itu jantung dan paru-paru. Jika itu benar, mungkin beliau terforsir tenaganya untuk membuat lukisan-lukisan yang saat ini masih dipamerkan di Kiniko Bantul, 14 Agustus-31 Agustus 2024 ini.
Memang jika dilihat, dari sekian lukisan yang dipamerkan, hanya beberapa dilukis pada tahun-tahun sebelumnya, seperti lukisan Adu Domba dilukis di tahun 1980, Krakatau 2015, Merapi Merbabu 2015 Mendapat Rezeki 2022. Selebihnya lukisan seperti Arak-arakan Sesaji, Berburu Katuranggan dan lain-lain dilukis di tahun 2024 ini.
Artinya, sebelum tanggal 14 Agustus 2024 di mana pameran dibuka, beliau ini pasti sibuk melukis. Saya tidak tahu saat terbaik seorang pelukis membuat karyanya. Mungkin waktu terbaik adalah di malam hari, saat suasana sepi dan gairah seni membual dengan liar.
Jika memang seperti itu, maka angin malam bisa jadi mempengaruhi kesehatan Godod Sutejo. Sehingga ada pendapat beliau sakit di bagian dalam. Saat saya menengok di tanggal 14 Agustus 2024 itu, mbak Atik juga mengatakan bahwa ada pembengkakan di bagian jantungnya, begitu.
Ada Rasa Tidak Akan Melukis Lagi
Kebersamaan dengan beliau sebelum sakit, terjadi saat kami bertemu melayat saudara Wonogiri yang meninggal. Mas Godod Sutejo pulang bersama saya dan istri. Mampir di rumah anak kami di daerah Cuplik Sukoharjo, kemudian kami antar beliau ke Terminal Tirtonadi Solo untuk selanjutnya beliau naik bus jurusan Jogja.
Kata-kata yang saya tangkap saat itu bahwa beliau kemungkinan tidak akan selamanya melukis. Beliau ingin mengembangkan sebuah usaha. "Tidak bisa selamanya melukis karena fisik tidak memungkinkan sebab faktor usia," demikian kata beliau saat itu. Kami jajan soto bersama, pada waktu itu, beliau sudah mulai melakukan diet nasi dan mengurangi makanan lemak karena katanya trigliserid dan asam uratnya melewati batas normal.
Terhadap sebuah kesanggupan menulis kegiatan pameran lukisannya, WA yang saya kirim 23 Juli 2024 yang saya tulis: "Selagi masih sehat mas (caption tertawa), pangestunipun (caption ucapan terimakasih)."Â
Beliau memberi jawaban,"Kita harus sehat selalu sekarang dan selamanya dan kita harus berbuat kebajikan untuk kepentingan orang banyak." Saya kemudian teringat saat kami berkunjung ke rumahnya tahun lalu, kemudian pulang diberi sebuah lukisan yang sekarang saya pajang di ruang tamu.
Juga teringat saat anak sulung saya menikah 2022, beliau datang ke Jepara bersama mbak Atik jauh-jauh dari Jogja sambil meneteng lukisan sebagai hadiah.
Demikian pula teringat saat kunjungan ke Jogja 10 bulan yang lalu bersama istri, kami diberi tanaman melati Belanda, tanaman bunga ketelang bersama potnya serta bunga ketelang yang telah dipak siap dikonsumsi dan biji bunga ketelang, yang sampai hari ini belum semuanya kami tanam. Oh ya, saat saya menikahi mamanya anak-anak 2 Agustus 1992, di Blora beliau datang bersama mbak Atik memberi kado cermin dengan bingkai ukir kepala burung garuda.
Godod Sutejo lahir di desa Tameng Girikikis Giriwoyo Wonogiri, 12 Januari 1953 pada jam 6.15, hari Senin Legi wuku Madangkungan. Anak kedua dari pasangan Siswomiharjo dan Sutihartini. Ayahnya adalah seorang Kepala Sekolah Guru Sekolah Rakyat. Namun soal pendidikan karakter, neneknya lebih dominan menanamkan prinsip-prinsip perilaku spiritual orang Jawa. Sejak kecil Godod sudah dilibatkan dalam olah batin, tirakat atau laku prihatin sebagai pondasi penting.
Godod Sutejo adalah cucu dari Ronggo Tarusarkoro, seorang penari Mangkunegaran Solo dengan pangkat Jajar Ongko Loro. Neneknya bernama Sumani, keturunan trah Banteng Lanang Kediri, selain dikenal sebagai spiritual, Eyang Sumani punya kemampuan menyembuhkan luka bakar atau luka akibat terkena api.Â
Lingkungan keluarga Jawa yang memiliki kedekatan dengan Keraton Mangkunegaran Solo telah membentuk Godod Sutejo sebagai pribadi yang kokoh, pantang menyerah, dan pekerja keras. Keterlibatannya dengan ritual-ritual kejawen di masa kecil telah terekam di ruang memorinya.
Selamat jalan mas Godod Sutejo, saat kulihat lukisan-lukisanmu...terasa benar alam sunyi yang menjadi tema lukisan itu. Sampai berjumpa nanti di keabadian, alam kekal, entah itu hiruk pikuk entah itu sunyi, yang pasti keindahannya tak dapat terlukiskan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H