Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Di Sebalik Srikandi-Bisma (Episode 12)

2 Juni 2024   12:39 Diperbarui: 2 Juni 2024   12:42 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadis menari (IG-Kumarawangi Art)

Di Sebalik Srikandi-Bisma (Episode 12)

Oleh: Suyito Basuki

Fitri terbawa oleh kesedihan carita Bagas,"Masih bertemu dengan Hani sampai saat ini Mas...?"

Bagas menggeleng,"Dia sudah menikah dengan penerbang itu. Saya pikir hidupnya sangat baik.  Aku senang mendengarnya."

Fitri nakal bertanya, cemas juga,"Nggak mikir untuk mencari ganti?"

Bagas menjawab, melempar pandangan ke laut lepas,"Ada keengganan yang dahsyat untuk mendekati wanita sesudah itu."

Fitri masih bertanya,"Sampai sekarang?"

Bagas lirih menjawab,"Entahlah, kayaknya sekarang ingin dicintai dan mencintai, cuma...," Bagas tidak melanjutkan ucapnya.

Fitri penasaran,"Cuma apa?"

Bagas memandang Fitri, gelombang ombak menuju ke pantai, berdebur,"Cuma dua hal.  Soal latar belakang politik orang tuaku dan kemiskinanku.  Apakah ada gadis yang mau menerima keadaanku ini?" 

Fitri menatap Bagas,"Siapa sih yang melihat mas Bagas miskin?"

Bagas tersenyum kecut,"Coba dengar sepenggal kisah kecilku..."

Tatkala Remaja

Di sebuah sekolah SMP yang berhalaman rumput luas.  Kegiatan sekolah sedang berjalan, di siang hari.  Di ruang konseling, guru Bimbingan dan Konseling (BP) bertanya kepada murid-murid.   Murid maju berkelompok.

"Yunik Irmawati, kamu besok ingin melanjutkan ke mana?"

Yang ditanya menjawab,"Setelah ini saya akan meneruskan ke SMA, kemudian ke Fakultas Keguruan. Pengin jadi guru pak, seperti Bapak saya."

Guru BP memuji dan kembali bertanya, kali ini kepada Muhtadi,"Bagus, sekarang Muhtadi, kamu kelak punya cita-cita apa?"

Muhtadi menjawab dengan lantang,"Mau jadi insiyur

 kayak pakdhe saya, biar hidup berkecukupan pak."

Guru BP masih bertanya,"Monica, kamu mau jadi apa?  Apa cita-citamu?"

Monica Budi Rahayu yang memiliki tubuh kecil, putih, cantik, berambut ikal pendek menjawab,"Saya ingin jadi perawat rumah sakit, seperti mama saya Pak."

Guru giliran bertanya kepada Bagas, murid yang bertubuh kecil dan pendek berkulit hitam,"Nah kamu Bagas, kamu punya cita-cita apa?  Setelah lulus dari SMP ini kamu mau melanjutkan ke mana?"

Bagas menggeleng,"Saya, be...belum tahu Pak."

Guru memandang Bagas,"Sebaiknya kamu pikirkan ya, supaya kamu rajin belajar, mempersiapkan masa depan sejak sekarang.  Ingat tinggal beberapa bulan lagi kamu sudah tamat dari SMP ini."

Bagas gugup menjawab,"I...Iya...Pak."

Guru BP memberi penjelasan kepada murid-murid yang ada di dalam ruangan, supaya semuanya berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mencapai  cita-cita mereka.  Guru BP berkata  supaya setelah lulus, mereka bersekolah dengan tekun dan rajin belajar serta taat kepada orang tua dan guru-guru sekolah mereka. "Ya sudah semuanya keluar.   Sekarang panggil giliran siswa berikutnya: Murwati, Bety, Bambang, Septi, Tini, Luluk. Bagas dan teman-temannya keluar.  Siswa-siswi yang namanya dipanggil segera masuk.  Sesampai di luar ruangan, seorang wanita pegawai administrasi menemui Bagas,"Eh, Bagas, kamu dipanggil Bapak kepala sekolah...Sudah 3 kali ini lho kamu dipanggil, kok kamu tidak segera menghadap?"

Bagas gagap menjawab,"Eh, iya bu, saya ke sana sekarang."

Bapak kepala sedang menulis di atas meja kerjanya. Sesekali membetulkan kaca matanya yang melorot.  Di meja, menghadap ke depan tertulis papan nama yang diletakkan di meja: Kepala Sekolah: BASUKI, BA.

"Permisi Pak,"Bagas mengetuk pintu dengan sedikit keraguan.

Kepala sekolah menoleh,"Bagas ya...?  Masuk!" Bagas masuk dan duduk di kursi yang menghadap Kepala Sekolah.

Kepala Sekolah memandang tajam,"Hei, sudah tiga kali ini dipanggil kok tidak menghadap?  Ada apa?  Meremehkan panggilan Kepala Sekolah ya?"

Bagas merasa bersalah,"Tidak, maaf, Pak."

Kepala Sekolah bertanya, dengan suara keras,"Tahu ya, mengapa saya panggil?  Sudah berapa bulan kamu tidak membayar uang sekolah?"

"Lima bulan Pak," Bagas menjawab sambil menundukkan kepala.  Bagas ingat kakeknya yang hanya seorang petani kebun, pekerjaan hariannya adalah menanam pohon singkong atau jagung. Sesekali ke pasar hewan untuk menjual atau membeli satu dua kambing.

Kepala Sekolah mencecar dengan tanpa ampun,"Kapan kamu akan melunasinya?  Ingat kalau awal bulan depan kamu belum melunasinya, kamu tidak boleh ikut ujian akhir sekolah, mengerti?"

Bagas menjawab dengan ketakutan,"Saya mengerti Pak."  Bagas teringat punya kambing satu ekor pemberian kakeknya.  Kambing itu dipeliharanya selama 1 tahun dari kecil.  Harapannya bisa menjual kambing itu untuk membayar sekolahnya.

Kepala Sekolah menghardik,"Kamu ini kenapa?  Sudah jarang masuk kelas, membayar uang sekolah selalu terlambat...Niat sekolah tidak?  Atau aku panggil orang tuamu kemari?"

Bagas memelas memohon,"Jangan Pak...Maafkan saya Pak."

Kepala Sekolah sekarang melembutkan suara,"Kamu sebenarnya ada masalah apa?"

Bagas diam saja, tidak membuka mulut, kepala tunduk.

Kepala Sekolah mengelus kepala Bagas,"Ya, sudah sana, lanjutkan pelajaranmu."

Bagas hendak menangis.  Kepala dielus oleh seorang lelaki dewasa seperti itu, bagi Bagas sungguh luar biasa,"Iya Pak, permisi."

Bagas keluar ruangan.  Mata Kepala Sekolah masih mengekor sampai Bagas menghilang dari ruangan.  Kepala sekolah menggeleng-geleng, meneruskan pekerjaannya.

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun