Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Di Sebalik Srikandi-Bisma (Episode 11)

1 Juni 2024   10:35 Diperbarui: 1 Juni 2024   10:43 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Sebalik Srikandi-Bisma (Episode 11)

Oleh: Suyito Basuki

 Rombongan mahasiswa menyebar.  Fitri bersama Bagas dan Vita menuju tepian pantai.  Mereka turun ke karang-karang, membiarkan kaki telanjang tersentuh air laut. Vita dipanggil panitia sehubungan dengan keikutsertaannya dalam salah satu lomba yang diadakan oleh panitia.  Tinggalah Bagas dan Fitri duduk berdua di sebuah batu karang yang besar menapaki tangga-tangga bukit, memandang hamparan laut yang luas.

Fitri membuka berkata dengan masih memandangi laut di depannya,"Mas Bagas tadi nyanyi bagus banget lho."

Bagas merendah,"Ah, biasa aja."

Fitri bertanya sambil mengamati,"Lagu favorit ya?"

"Nggak juga hanya menyesuaikan suasana," jawab Bagas sambil tersenyum.

Fitri agak penasaran,"Cocok ya dengan suasananya?  Bisa ngingatkan pacar dong," Fitri bergurau tapi cemas.

Bagas menggeleng, menarik napas panjang,"Nggak, aku nggak punya pacar, hanya pernah, duluuu..."

Fitri agak lega,"Boleh cerita sedikit dong."

Bagas berkata sambil memandang Fitri,"Boleh kalau kamu mau dengar."

Bagas menerawang," Sekitar 7 tahun yang lalu..."

Kisah Penolakan itu

Rumah model spanyol, teras depan terlihat asri. Bagas dan Handa duduk di teras rumah pak Cokro ayah Handa.  Sesekali suara burung perkutut dan beberapa burung ocehan Pak Cokro memecah suasana.  Lagunya Katon Bagaskara "Gerimis" mengumandang dari stasiun radio swasta membuat suasana romantis.

(Musim penghujan habis tanpa pesan, Bawa kenangan lama tlah menghilang, Saat yang indah dikau di pelukan, Setiap nafasmu adalah milikku...)

"Besok pagi saya ujian skripsi, mau datang ke kampus?" Bagas berkata, memandang Handayani yang biasa dipanggil Handa.

"Saya mau sekali, tapi saya mesti harus bilang sama ibu." Handa menjawab, membalas pandangan Bagas.

Bagas heran dengan suasana rumah yang sepi,"Ke mana ayah ibumu, kok rumah sepi?"

Handa menjawab sambil merapatkan tubuhnya,"Mereka mendatangi keluarga yang sedang punya kerja."

Bagas merasakan detak jantungnya mulai kencang,"Han, kau tahu sesungguhnya aku sangat mencintai kamu."

Handa lembut menjawab,"Apakah kamu meragukan cintaku mas?"

Bagas melempar pandangannya ke arah jalan,"Tapi melihat sikap orang tuamu, yang tidak pernah senang dengan kehadiranku, aku belum bisa menentukan sikap ke depan kita bagaimana?"

Handa merengkuh tangan Bagas,"Bukankah kita perlu sabar mas... Tuhan pasti akan memberi jalan keluar bagi kita yang tabah dalam menghadapi penderitaan."

Sebuah motor berderum, Pak Cokro bersama ibu pulang dari bepergian.  Mengetahui Bagas dan Handa sedang duduk berdua di teras, langsung saja Pak Cokro berkata keras,"Handa!! Masuk!!"

Bu Cokro mengingatkan suaminya,"Pak mbok jangan gitu."

Pak Cokro berjalan melewati kedua muda-mudi yang duduk dan kebingungan itu.

Bagas tahu diri setelah memberi salam kepada Bu Cokro yang berdiri sebentar di depan mereka, kemudian pamit,"Handa, aku pulang dulu."

Handa gugup menjawab,"Eh, iya...iya, maaf ya mas."

Bagas segera pulang, mengayuh sepeda onthelnya.  Teriakan pak Cokro memanggil anaknya kembali terdengar, bahkan lebih keras.  Handa segera masuk ke dalam rumah.  Pak Cokro, memarahi handa anak gadisnya semata wayan itu,"Sudah berkali-kali bapak dan Ibu peringatkan supaya kamu tidak lagi berhubungan dengan Bagas, anak tahanan politik itu.  Masa depanmu bisa suram tahu?"

Handa memberanikan diri menjawab,"Masa depan apa hanya dapat diukur dari itu saja Pak?"

Pak Cokro membentak,"Cukup!  Pokoknya Bapak tidak mau mendengar jawabanmu lagi.  Tinggal kamu pilih alternatif tetap berhubungan dengan anak tapol itu dengan konsekuensi kamu pergi dari rumah ini dan jangan anggap aku dan ibumu sebagai orang tuamu, atau kamu ikuti nasihat orang tuamu, yang berarti pisah dengan Bagas!" Pak Cokro dengan kesal meninggalkan Handa yang menangis.  Bu Cokro meraih anak gadisnya.

Selamat Tinggal Wahai

Sebuah bebukitan, sore hari Handa menangis di pelukan Bagas.

Handa berbisik,"Aku tidak tahu, mas, apa yang harus aku lakukan...??"

Bagas menarik napas panjang, mengelus rambut Handa yang panjang,"Aku juga tidak tahu apa yang harus aku katakana.  Hanya aku heran, apakah latar belakang politik orang tuaku yang aku sendiri tidak jelas juntrungnya perlu dibawa-bawa dalam hal ini.  Atau sekedar cari alasan untuk memisahkan kita?"

Handa masih berbisik,"Entahlah, aku tidak tahu."

Bagas merenganggkan tubuh Handa,"Barangkali soal kemiskinanku?  Hani, kemiskinan memang perlu dijauhi.  Kemiskinan selalu menakutkan."

Handa bertanya dengan heran,"Apa maksudmu mas?"

Bagas lirih menjawab, merasakan angin getir,"Han, kamu tahu sendiri.  Sejak kecil aku hanya hidup dengan kakekku.  Hidup yang berkekurangan menjadi bagian dalam hidupku.  Kadang aku sendiri ragu, apakah kuliahku akan dapat selesai. Aku harus bekerja sampingan mencukupi kebutuhanku sendiri, supaya kuliah tetap harus jalan."

Handa memandang kagum."Aku malah bangga sebenarnya dengan kemandirianmu itu, mas."

Bagas menjawab, pandangannya ke langit,"Tapi itu menakutkan banyak orang tentang kepastian masa depan.  Menakutkan orang tuamu, menakutkanmu, dan kadang-kadang membuat ketakutan diriku sendiri.  Handa, aku menyadari siapa diriku saat ini; tiba-tiba aku merasa betapa jauhnya jarak di antara kita."

Handa melekat ke tubuh Bagas,"Mas Bagas, jangan berkata seperti itu."

Bagas merenggangkan tubuh Handa kembali,"Mungkin baik kalau memikir positif apa yang menjadi keinginan orang tuamu.  Aku mengalah.  Aku dengar orang tuamu akan menjodohkanmu dengan seorang penerbang yang orang tuanya kaya raya."

Handa berbalik sambil menangis.  Langit temaram, burung-burung di langit mengejar cakrawala yang semakin buram.

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun