Sebuah bebukitan, sore hari Handa menangis di pelukan Bagas.
Handa berbisik,"Aku tidak tahu, mas, apa yang harus aku lakukan...??"
Bagas menarik napas panjang, mengelus rambut Handa yang panjang,"Aku juga tidak tahu apa yang harus aku katakana. Â Hanya aku heran, apakah latar belakang politik orang tuaku yang aku sendiri tidak jelas juntrungnya perlu dibawa-bawa dalam hal ini. Â Atau sekedar cari alasan untuk memisahkan kita?"
Handa masih berbisik,"Entahlah, aku tidak tahu."
Bagas merenganggkan tubuh Handa,"Barangkali soal kemiskinanku? Â Hani, kemiskinan memang perlu dijauhi. Â Kemiskinan selalu menakutkan."
Handa bertanya dengan heran,"Apa maksudmu mas?"
Bagas lirih menjawab, merasakan angin getir,"Han, kamu tahu sendiri. Â Sejak kecil aku hanya hidup dengan kakekku. Â Hidup yang berkekurangan menjadi bagian dalam hidupku. Â Kadang aku sendiri ragu, apakah kuliahku akan dapat selesai. Aku harus bekerja sampingan mencukupi kebutuhanku sendiri, supaya kuliah tetap harus jalan."
Handa memandang kagum."Aku malah bangga sebenarnya dengan kemandirianmu itu, mas."
Bagas menjawab, pandangannya ke langit,"Tapi itu menakutkan banyak orang tentang kepastian masa depan. Â Menakutkan orang tuamu, menakutkanmu, dan kadang-kadang membuat ketakutan diriku sendiri. Â Handa, aku menyadari siapa diriku saat ini; tiba-tiba aku merasa betapa jauhnya jarak di antara kita."
Handa melekat ke tubuh Bagas,"Mas Bagas, jangan berkata seperti itu."
Bagas merenggangkan tubuh Handa kembali,"Mungkin baik kalau memikir positif apa yang menjadi keinginan orang tuamu. Â Aku mengalah. Â Aku dengar orang tuamu akan menjodohkanmu dengan seorang penerbang yang orang tuanya kaya raya."