Bagas melempar pandangannya ke arah jalan,"Tapi melihat sikap orang tuamu, yang tidak pernah senang dengan kehadiranku, aku belum bisa menentukan sikap ke depan kita bagaimana?"
Handa merengkuh tangan Bagas,"Bukankah kita perlu sabar mas... Tuhan pasti akan memberi jalan keluar bagi kita yang tabah dalam menghadapi penderitaan."
Sebuah motor berderum, Pak Cokro bersama ibu pulang dari bepergian. Â Mengetahui Bagas dan Handa sedang duduk berdua di teras, langsung saja Pak Cokro berkata keras,"Handa!! Masuk!!"
Bu Cokro mengingatkan suaminya,"Pak mbok jangan gitu."
Pak Cokro berjalan melewati kedua muda-mudi yang duduk dan kebingungan itu.
Bagas tahu diri setelah memberi salam kepada Bu Cokro yang berdiri sebentar di depan mereka, kemudian pamit,"Handa, aku pulang dulu."
Handa gugup menjawab,"Eh, iya...iya, maaf ya mas."
Bagas segera pulang, mengayuh sepeda onthelnya. Â Teriakan pak Cokro memanggil anaknya kembali terdengar, bahkan lebih keras. Â Handa segera masuk ke dalam rumah. Â Pak Cokro, memarahi handa anak gadisnya semata wayan itu,"Sudah berkali-kali bapak dan Ibu peringatkan supaya kamu tidak lagi berhubungan dengan Bagas, anak tahanan politik itu. Â Masa depanmu bisa suram tahu?"
Handa memberanikan diri menjawab,"Masa depan apa hanya dapat diukur dari itu saja Pak?"
Pak Cokro membentak,"Cukup! Â Pokoknya Bapak tidak mau mendengar jawabanmu lagi. Â Tinggal kamu pilih alternatif tetap berhubungan dengan anak tapol itu dengan konsekuensi kamu pergi dari rumah ini dan jangan anggap aku dan ibumu sebagai orang tuamu, atau kamu ikuti nasihat orang tuamu, yang berarti pisah dengan Bagas!" Pak Cokro dengan kesal meninggalkan Handa yang menangis. Â Bu Cokro meraih anak gadisnya.
Selamat Tinggal Wahai