Bramastho merasa bersalah,"Maaf, maaf, itu hanya peribahasa."
Fitri ternyata marah,"Itu bukan ungkapan biasa, aku merasa sakit dengan pernyataan itu; kamu sudah menuduh aku di pihak yang menggerogotimu. Â Bukankah justru aku mau jalan denganmu karena aku simpati dengan keadaanmu dan ingin mendampingimu ke arah perbaikan. Â Kapan aku mengambil keuntungan dari kedekatan hubungan kita selama ini?"
Bramastho terbata-bata,"Ya, ya aku salah...tetapi kamu harus menjelaskan, kenapa sikapmu berubah akhir-akhir ini?"
Fitri menyerang dengan kata-kata,"Bram, kamu mulai melakukan kebiasaan lamamu kan? Â Bahkan kamu sekarang kembali menjadi pecandu dan pengedar barang maksiat itu kan?"
Bramastho membela diri,"Fitri! Â Kamu tahu dari mana? Â Itu bohong, tidak berdasar."
Fitri tidak mau mengalah,"Tidak usah tanya dari mana informasi itu aku dapatkan."
Bramastho masih membela diri,"Itu fitnah untuk menjauhkan hubungan kita."
Fitri berusaha meraih tas yang dibawa Bagas,"Jangan membela diri. Â Coba boleh aku lihat tas yang selalu kamu bawa-bawa itu... Apa itu isinya?"
Bramastho terkesiap, salah tingkah. Â Bagas muncul di pintu depan dengan membawa anak wayang. Bramastho dan Fitri terkejut dengan kemunculan Bagas.
"Maaf mengganggu, anu mbak Fitri, saya pulang dulu. Â Aku pinjam wayang Srikandhi dan Bisma. Â Aku sudah bilang Bapak," Bagas berkata sambil memperhatikan keduanya.
Fitri gugup menjawab,"Eh, eh, iya mas, mangga-mangga." Â Bagas melangkah pergi disertai rasa heran dengan situasi antara Bramastho dan Fitri. Â Segera terdengar deru motor Bagas.