Salatiga dan Kabupaten Semarang pasti tidak asing lagi dengan sate sapi Suruh.
Masyarakat KotaSuruh adalah salah satu kecamatan dari 19 kecamatan di Kabupaten Semarang. Berdekatan dengan kecamatan Suruh adalah kecamatan Susukan. Di Suruh sendiri, sate sapi yang ada hanyalah di Pasar Suruh dan di desa Plumbon, cikal bakal sate sapi Suruh itu.
Tahun 1970-an, waktu saya masih kanak-kanak, setiap kali lebaran diajak pulang oleh orang tua atau keluarga ke Dompon atau Tambang. Dompon itu sebuah dusun asal muasal bapak saya. Sedang Tambang adalah daerah asal ibu saya. Baik Dompon maupun Tambang masih lingkup Kecamatan Suruh.
Identik Desa dan Salatiga
Kami tinggal di kota Semarang. Kalau keluarga mau ke Dompon, Tambang atau Suruh maka biasanya keluarga bilang, "Ayo mulih ndesa (Ayo pulang ke desa)."Â
Saat itu memang suasana Dompon, Tambang atau Suruh masih terasa sekali dengan suasana pedesaan. Bus Esto yang membawa kami dari stanplat (terminal) Salatiga akan berhenti di stanplat Pasar Suruh, kemudian kami akan berjalan kaki sejauh hampir 3 km menuju Dompon atau Tambang.
Udara masih sejuk dan segar, sawah terhampar luas di depan mata. Para gembala bebek dengan pecutnya akan menggiring bebek piaraan mereka masuk ke lahan sawah yang usai dipanen.
Kadang saat keluarga mengajak pulang ke Dompon, Tambang atau Suruh, cukup dengan mengatakan, "Ayo 'nyang Salatiga (Ayo ke Salatiga)"
Meski kecamatan Suruh terbilang wilayah Kabupaten Semarang, namun keluarga kami lebih suka menyebut nama Salatiga saat pergi ke Suruh
Hingga saya kemudian sekolah di sebuah sekolah pendidikan guru negeri di Salatiga, saya belum bisa memisahkan antara sebutan Suruh dan Salatiga. Mungkin sudah terbiasa sejak kanak-kanak atau bisa juga lebih keren ya nama Salatiga?
Diajak Mrema dan Boro
Saat kami sampai di Stanplat Suruh pada waktu itu; bau aroma pertama kali yang saya cium adalah asap sate. Asap sate apa itu? Asap sate sapi Suruh!
Aromanya harum, menukik kenangan hingga saat dewasa. Sehingga setiap kali mendengar ucapan daerah Suruh, ingatan kemudian melayang ke sate sapi Suruh!
Saya berhasil menemui dan mewawancarai Supriyati (54) bungsu dari pasangan Bapak Harjo Suwarni dan Ibu Mujiyo pendiri sate sapi Suruh.
Menurut Supriyati usaha sate sapi bapaknya sudah dimulai sejak tahun 1945. Sebelum membuka warung di Pasar Suruh, Bapak Harjo Suwarni dan Ibu Mujiyo berjualan sate sapi keliling dari desa ke desa. Supriyati menyebutnya mrema atau boro.
"Dulunya keliling, mikul, jalan ke desa-desa. Antara lain keliling di lomba pacuan kuda, jualan sampai malam. Dari kecil saya sudah diajak boro. Semua anak juga diajak jualan mrema dari desa ke desa. Berangkat dari rumah kami desa Plumbon,"Â demikian Supriyati yang mengikuti jualan bapak dan ibunya sejak dia masih SD.Â
Supriyati bersaudara akhirnya terbiasa dengan aktifitas jualan sate sapi ini bersama bapak dan ibunya sejak masih kanak dan remaja. Berbekal wasiat Bapak Harjo Suwarni, Supriyati dan ke-5 kakak perempuannya berjualan sate sapi dengan nama khas "Sate Sapi Suruh."Â
"Kowe dha sekolah, sing penting isa maca nulis, tak tinggali anglo, karo ipit (Kamu sekolah, yang penting bisa baca tulis, tak tinggali anglo dan kipas)," demikian ungkap Supriyati menirukan wasiat almarhum Bapak Harjo Suwarni.
Wasiat inilah yang mendasari Supriyati dan kakak-kakak perempuannya membuka warung sate sapi di beberapa tempat, di Semarang satu tempat di Jln. Sriwijaya dan di Salatiga ada tiga tempat: di Pasar Salatiga, di Puja Sera, dan di belakang Hotel Wahid.
Gamang Regenerasi
Supriyati saat ini yang memiliki warung sate sapi di Pasar Suruh. Warung sate sapi di Plumbon, tempat penulis mewawancarainya sudah dipegang oleh anaknya. Sate sapi di Plumbon sendiri dibuka pada tahun 2007.Â
Saat ditanya bagaimana dengan pengelolaan generasi selanjutnya? Supriyati yang memiliki dua orang anak dan cucu satu ini agak mengeluh. Menurutnya anak-anak muda jaman sekarang tidak mau kerja susah-susah. Padahal menurutnya berjualan sate sapi ini kesulitannya tinggi dan perlu totalitas.
"Sekarang model anak muda tidak mau bekerja berat, padahal jual sate ini pekerjaan berat, harus buat lontong dan lain-lain. Kerja sampai jam 12 malam, istirahat kemudian jam 04.00 harus sudah bangun,"Â demikian Supriyati yang terlihat sehat.
Dengan bekerja akan mengeluarkan keringat, dengan demikian ia yakin tubuhnya akan tetap sehat. Hampir semua pekerjaan dikerjakan sendiri dengan dibantu suaminya.
Saat kami wawancara, suaminya sedang ke Salatiga mengambil daging sapi di tempat penjual daging sapi yang sudah menjadi langganan bertahun-tahun sejak awal penjualan sate sapi Suruh ini.
Hasil Menggiurkan
Menurut pengakuan Tarmidi (52) karyawan laki-laki dari Plumbon ini sate sapi Suruh ini setiap harinya memerlukan sekitar 25 kg daging sapi. Jika hari raya, misal lebaran, kebutuhan daging sapi untuk kebutuhan warung bisa dua kali lipat atau malah lebih.
"Ramai mas, banyak pelanggan dari mana-mana, dari luar kota, bahkan dari Sumatra atau Kalimantan. Sudah terkenal mas," demikian tambah Mahmudah (50) karyawan wanita yang asli Plumbon dan sudah 15 tahun bekerja di sate sapi Suruh ini.
Supriyati mengaku tidak selamanya warung satenya ramai, kadang sepi juga, khususnya menjelang hari-hari keberangkatan haji atau hari raya Qurban dan saat orang punya gawe mantu pada bulan Besar hitungan Jawa.
Namun Supriyati memiliki prinsip bahwa hari besok lebih baik dari hari ini. Sehingga dia terus berjualan, meski situasi sepi, sambil berharap pelanggan ramai kembali.
Supriyati sendiri tidak menampik bahwa hasil pekerjaannya menggiurkan. Setelah dikurangi pembayaran 5 orang karyawannya dan kebutuhan lain, ia terima bersih bisa mencapai sekitar 10 juta setiap bulannya dari usaha jual sate sapi Suruh yang sudah legendaris ini.
Hasil yang sangat menggiurkan, tetapi memang sebanding dengan kerja keras dan kesulitan pekerjaan yang sebenarnya sudah dirintis orang tuanya setengah abad lebih sebelumnya.
Oleh: Suyito Basuki
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H