Sedekah Bumi, Takluknya Dalang pada Pakem Tradisi
Oleh: Suyito Basuki
Jumat Pahing 10 Mei 2024 yang baru lalu, saya diminta Bapak Petinggi (Bapak Lurah) desa kami untuk ikut menggelar pentas wayang kulit dalam acara sedekah bumi. Saya diminta untuk memulai pementasan, kemudian diteruskan dengan rekan dalang yang lain.
Seudah sejak sekitar 5 tahun yang lalu, pementasan wayang dalam rangka sedekah bumi selalu memanfaatkan dalang lokal yang tinggal di desa kami, Karanggondang.
Empat tahun yang lalu saya menerima giliran mendalang semalam suntuk. Tidak hanya dalang setempat, tetapi juga wayang dan gamelan serta para panjak atau pengrawit diusahakan dari desa kami juga. Kalau sinden bisa didatangkan dari berbagai daerah, karena di desa kami belum ada sinden yang bisa diandalkan.
Dalam percakapan awal dengan rekan dalang yang lain tersebut, direncanakan saya akan mementaskan pakeliran padat sekitar 2,5 jam dengan lakon inti sedekah bumi. Kemudian rekan dalang yang lain akan melanjutkan dengan cerita tersendiri.Â
Saya kemudian bertanya kepada rekan dalang asli Jepara yang sudah dianggap sepuh dan menjadi sumber cerita khas Jepara. Saya mendapatkan lakon "Dewi Sri Luhwati." Segera saya buat skenario lakon yang meliputi pembagian pathet, yakni pathet 6, pathet 9, dan pathet manyura.
Naskah itu sudah jadi. Ketika ketemu dengan rekan dalang yang bernama Ki Suryo itu, kami mendiskusikan pelaksanaan lakon kami tersebut. Dia sudah menyiapkan catatan lakon yang hampir sama dan lebih lengkap menurut saya.
Dengan berbagai pertimbangan, maka kami hanya akan mementaskan satu lakon saja dalam pementasan satu malam. Seperti yang diharapkan Bapak Petinggi kami, saya hanya mementaskan di bagian awal saja. Saya membatasi tampil hingga adegan Limbukan, setelah itu rekan dalang akan melanjutkan hingga pentas rampung.
Cerita Sri Luhwati
Adegan dimulai di Kahyangan Jonggring Salaka tempat para dewa bersemayam. Bathara Narada disuruh menemui Begawan Purbawasesa di Pertapaan Eka Bawana. Purbawasesa dipersalahkan karena membangun pertapaannya mirip kahyangan. Oleh karenanya Purbawasesa harus dibawa ke kahyangan untuk diberi hukuman.
Selain itu Bathara Guru, pemimpin para dewa meminta Narada untuk ke Kahyangan Sapta Pertala tempat Hyang Ananta Boga. Narada diminta untuk menanyakan kesanggupan Ananta Boga menyerahkan anaknya Dewi Sri Luhwati yang akan dikawin oleh Bathara Guru.
Sesampai di Pertapaan Eka Bawana, terjadilah perdebatan. Purbawasesa tidak mau dipersalahkan. Sehingga Purbawasesa dibantu oleh dua orang muridnya Puthut Pandan Surat dan Pandansari berperang dengan para dewa. Akhirnya para dewa kalah dan melanjutkan perjalanan ke Sapta Pertala.
Narada kemudian menagih janji Ananta Boga untuk menyerahkan Dewi Sri Luhwati. Ananta Boga belum bersedia menyerahkan kepada Bathara Guru. Akhirnya terjadilah peperangan yang berujung Narada dan para dewa kalah.
Narada dibelit Ananta Boga yang berubah menjadi ular. Narada kemudian meninggalkan Ananta Boga kembali ke kahyangan. Tiba-tiba saja Ananta Boga menangis sedih karena pada kenyataannya sampai hari ini belum bisa menyerahkan Dewi Sri Luhwati ke Bathara Guru. Air mata yang meleleh itulah, dari mata kanan menjadi Dewi Sri Luhwati dan dari mata kiri menjadi Sri Sadono.
Kemudian Ananta Boga meminta tolong Semar membawa Dewi Sri Luhwati ke kahyangan supaya diserahkan kepada Bathara Guru. Semar diberi jimat berupa tongkat kayu jenu dan daun telasih wulung (kemangi hitam).
Di kerajaan Medang Kamulan yang bernama Bledhak Basu ada seorang raja raksasa yang mengaku anak Bathara Guru. Mendengar kabar Bathara Guru akan kawin dengan Dewi Sri Luhwati, dia tidak terima. Dia ingin Dewi Sri Luhwati menjadi istrinya. Oleh karena itulah maka dia berangkat dengan disertai punggawanya mencegat Dewi Sri Luhwati untuk direbutnya.Â
Kemudian terjadilah peperangan dengan Sri Sadono. Belum ada pihak yang kalah atau menang, namun Bledhak Basu kemudian membawa kabur Dewi Sri Luhwati. Semar lalu mengejar Bledhak Basu, memukulnya dengan tongkat kayu jenu sehingga tubuh Bledhak Basu menjadi tiga potongan.Â
Potongan kaki dan tangan dibuang Semar ke pegunungan. Sehingga orang pegunungan itu fisiknya kuat yang sangat menopang dalam mereka bekerja. Orang pegunungan kebanyakan adalah orang-orang yang rajin bekerja.
Potongan yang berupa perut dibuang Semar dan jatuh di daerah Moro Demak atau Demak. Sehingga hingga saat ini Demak diyakini menjadi lumbung pangan yang dapat mensuplai kebutuhan pangan masyarakat Kudus, Jepara dan sekitarnya.
Potongan kepala dibuang Semar, jatuh di Jung Para yang sekarang bernama Jepara. Hal inilah yang menyebabkan orang Jepara bijaksana dalam olah pikir dalam pemerintahan dan pekerjaan yang mendatangkan kemakmuran.
Adegan di kerajaan Trembilungwulung. Seorang raja yang berbentuk hewan sapi yang bernama Sapi Gumarang putra Bathara Guru. Dia juga menginginkan kawin dengan Dewi Sri Luhwati sehingga kemudian dia pergi untuk mencegat dan mendapatkan Dewi Sri Luhwati.
Sapi Gumarang berperang dengan Sri Sadono. Sri Sadono terpijak kaki Sapi Gumarang hingga tewas demikian juga dengan Dewi Sri Luhwati. Semar tidak terima kemudian memukul Sapi Gumarang dengan daun telasih wulung.Â
Sapi Gumarang mati dan rohnya melesat ke langit menjadi bintang Sapi Gumarang penanda para petani dalam bercocok tanam. Konon kemudian diyakini jika bintang Sapi Gumarang mendongak, itu pertanda tidak ada hujan. Namun jika bintang Sapi Gumarang tertunduk, pertanda hujan akan turun.
Dewi Sri Luhwati dan Sri Sadono yang sudah mati, rohnya melesat ke langit. Roh Sri Sadono akan pergi ke luar pulau menjadi dewa sandang di sana. Sri Luhwati diminta oleh Sri Sadono untuk tetap tinggal di Pulau Jawa, menjadi dewi pangan untuk masyarakat Jawa.
Rambut Dewi Sri Luhwati dikatakan akan menjadi tanaman padi, mata menjadi kedelai, gigi menjadi jagung, kaki tangan menjadi pohon aren, pohon kelapa, jari jemari menjadi kimpul, gembili, ketela dan seterusnya.
Jika ada rasa rindu maka di masa atau mangsa ke tujuh atau ngepitu, saat hujan deras dan ombak besar, Sri sadono akan meninjau Pulau Jawa. Sri Sadono akan menjadi pohon rembulung atau dhuyuk. Sri Sadono minta diberi makanan hasil bumi berupa uwi, gembili. Gantian mangsa ke sembilan atau ngesongo Dewi Sri Luhwati akan pergi ke tanah sebrang dengan menaiki hewan kinjeng bang (capung merah).
Bathara Guru memahami bahwa Dewi Sri Luhwati tidak bisa menjadi istrinya karena sudah mati. Semar marah kepada Batahara Guru. Bathara Guru minta maaf kepada Semar. Jenazah Dewi Sri Luhwati dan Sri Sadono dimakamkan di taman kahyangan Junggring Salaka. Dijaga oleh Begawan Narahjati dan istrinya Nyi Narahwati.
Akhirnya Purbawasesa dapat dikalahkan oleh Begawan Narahjati utusan Bathara Guru. Purbawasesa dihukum oleh Bathara Guru dan Narahjati dan Narahwati dimaafkan atas kelalaian sebelumnya dalam menjaga pekuburan Dewi Sri Luhwati dan Sri Sadono.
Sebuah Anomali?
Mengikuti alur kisah Dewi Sri Luhwati memang terasa menyimpang dari kisah pewayangan, khususnya gagrag Solo atau Yogyakarta. Beberapa pertanyaan mungkin timbul, bagaimana mungkin Ananta Boga sudah menjanjikan Dewi Sri Luhwati sementara dewi Sri Luhwati belum ada? Mengapa Dewi Sri Luhwati dan Sri Sadono harus mati.
Belum lagi adanya tokoh Bledhag Basu yang mati dengan cara 'mutilasi', iihh ngeriii...Pertanyaan juga, bagaimana mungkin Bathara Narada berperang? Karena selama ini wayang gagrak Solo maupun Yogyakarta Narada belum pernah diperangkan. Mungkin banyak lagi pertanyaan yang bisa dilontarkan.
Tetapi itulah pakemnya. Seorang dhalang yang akan melakonkan lakon sedekah bumi di daerah Jepara, harus melakonkan versi yang demikian itu. Saat melakonkan cerita sedekah bumi di Pati, Kudus, Demak yang tidak jauh dari Jepara, mungkin lakonnya harus beda juga, sesuai dengan pakem daerah yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H