Renungan Harian Dilah Kasukman, Berjuang Melestarikan Bahasa Jawa
Oleh: Suyito Basuki
Renungan Harian Dilah Kasukman atau bahasa Jawanya Limbangan Padintenan Dilah Kasukman Edisi No. 5/VI -- 1 Mei 2024 sudah terbit dan beredar bagi pembacanya. Â Tentu saja itu melegakan kami para punggawa redaksi. Â Saya sendiri sebagai pemimpin redaksi sekaligus editor sangat merasakan kelegaan itu.
Perjalanan penerbitan hingga memasuki tahun ke-6 ini baik dalam pengumpulan naskah kemudian keadaan dana yang pas-pasan dan kekurangan-kekurangan lainnya memang selalu menyertakan rasa dag-dig-dug dalam setiap penerbitannya. Tetapi puji syukur kepada Tuhan, setiap awal bulan, seperti pada bulan Mei 2024, Dilah Kasukman yang dicetak berkisar 1000 eksemplar ini sudah sampai di tangan pembaca dengan menyajikan artikel renungan harian berbahasa Jawa yang bisa dibaca setiap harinya.
Kebutuhan Literasi
Dilah Kasukman diterbitkan oleh Lembaga Pekabaran Injil Sinode Gereja Injili di Tanah Jawa (LPIS-Sinode GITJ). Â Sinode GITJ yang kantor pusatnya berada di Pati Jawa Tengah memiliki umat berkisar 50 ribu jiwa. Â Umat ini tersebar di Jawa di kota Pati, Kudus, Jepara, Semarang, Yogyakarta. Â Di Sumatra antara lain tersebar juga di Lampung, Palembang dan lain-lain.
Pembinaan rohani yang dilakukan oleh para gembala jemaat dibantu para penatua dan diaken yang disebut majelis di masing-masing gereja lokal atau setempat sudah dilakukan. Â Mereka semuanya sudah mengupayakan bagaimana pertumbuhan iman dan rohani jemaat sesuai dengan harapan.Â
Untuk mendukung pembinaan rohani inilah, maka dibutuhkan juga sarana literasi guna mendukung usaha mulia itu. Â Naskah-naskah khotbah para gembala jemaat yang meliputi Guru Injil, Pembantu Pendeta, Pendeta maupun Pendeta Emeritus bisa diolah kembali dan ditulis dalam sebuah artikel renungan singkat dengan menggunakan bahasa Jawa.
Di beberapa gereja yang berlangganan Dilah Kasukman ini, peminat paling besar memang para lansia.  Bisa dipahami memang, karena para lansia inilah yang masih enjoy dengan bahasa Jawa sebagai pengantar ibadah maupun renungan-renungan dalam brayatan atau persekutuan keluarga.Â
Sarana Pembelajaran
Meski demikian, para generasi muda anggota jemaat GITJ juga memiliki tanggung jawab untuk menggunakan dan melestarikan bahasa Jawa dalam ibadah atau dalam pelayanan lainnya. Â Ini adalah tantangan besar tidak saja di GITJ tetapi juga gereja-gereja yang terwadahi dalam Badan Musyawarah Gereja Jawa (BMGJ) yang masih konsisten menggunakan bahasa Jawa dalam ibadah Minggunya. Â Gereja-gereja yang masuk dalam wadah BMGJ selain GITJ adalah: Gereja Kristen Jawa (GKJ), Gereja Kristen Jawa Tengah bagian Utara (GJKTU), dan GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan).
Dengan tersedianya sarana pembelajaran melalui Renungan Harian Dilah Kasukman ini, semoga generasi muda yang bergereja di lingkup Sinode GITJ dapat belajar secara tertulis bahasa Jawa melalui renungan-renungan yang ada. Â Dalam era digital sekarang ini, memang merupakan tantangan yang berat bagi generasi muda untuk membaca, apalagi membaca dalam teks bahasa Jawa.Â
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa generasi muda lebih enjoy membaca teks-teks yang singkat di media-media sosial seperti twitter, Instagram, Face Book, WA dan lain-lain. Â Tetapi ketika dihadapkan pada media yang memuat gambar atau video, maka generasi muda akan lebih memilih media tersebut daripada media yang menggunakan sarana literer. Â Oleh karenanya, media sosial Tik-Tok dan sejenisnya lebih disukai oleh generasi kekinian.
Perjuangan Berat
Ketika mulai mengelola penerbitan Dilah Kasukman ini, sudah disadari oleh crew redaksi dan para penulis, bahwa penerbitan ini sebuah perjuangan yang berat. Ketika mempertimbangkan segmen pasar, jelas segmennya terbatas, yakni para pembaca yang sudah berusia. Â Serta ketika berpikir perlunya sarana pembelajaran bahasa Jawa bagi generasi muda dalam kondisi era digital seperti sekarang ini, hal ini semakin menyadarkan bahwa perjuangan ini perjuangan yang sangat berat.
Kemudian saat mempertimbangkan sumber daya manusia yang bisa diandalkan untuk menulis renungan dalam bahasa Jawa, maka sebenarnya perjuangan yang dirasakan menjadi benar-benar sangat berat.  Dalam rangka mengumpulkan naskah setiap bulannya, saya menghubungi para "Pendeta sepuh" untuk ikut menulis renungan ini.  Asumsi saya, para sepuh tentu lebih fasih dalam berbahasa Jawa, sehingga menulis renungan berkisar 250-350 kata  dengan bahasa Jawa tentu bukan hal yang sulit.  Tetapi kenyataannya banyak yang menolak karena berbagai alasan.  Hanya satu dua yang berkenan menulis, itupun hanya di awal-awal penerbitan.  Dalam hal ini saya berterima kasih kepada Bapak GI Em. Sumadi (GITJ Karangsari-Jepara) dan Pdt. Em. Y. Subari (GITJ Trangkil-Pati).
Terus Memompa
Saya dan kawan-kawan redaksi sampai saat ini terus memompa semangat menulis rekan-rekan penulis dan juga mendorong bibit-bibit baru para penulis. Â Syukurlah para penulis yang terdiri dari para gembala jemaat dan jemaat bisa juga memahami kondisi redaksi dalam hal pendanaan. Â Sehingga honor minim yang disediakan tidak mereka pusingkan. Â Bahkan sampai sekarang, ada penulis setia sejak awal penerbitan tidak pernah menengok rekening tabungan padahal beberapa kali rekan Bendahara Redaksi sudah mentransfernya.
Bendahara Redaksi mempunyai kebijakan, setelah total naskah yang dimuat 50 naskah, maka baru ditransfer honor atau uang lelah itu. Â Mau tahu berapa honor penulis untuk setiap naskahnya? Pokoknya minimlah setiap naskahnya! Â Beberapa waktu redaksi bisa memberi honor lumayan setiap tulisannya karena ada sponsor dari seorang pengusaha komputer. Â Tetapi sejak sponsor untuk penulis itu berhenti, maka kemampuan redaksi dalam memberi honor ya baru sebatas minimalis itu.
Para Pejuang Bahasa Jawa
Saya menyebut para penulis itu benar-benar pejuang bahasa Jawa!  Mengapa demikian?  Dalam era sekarang ini dimana bahasa Jawa dan juga bahasa-bahasa daerah lainnya terpinggirkan, kemampuan berliterasi menggunakan bahasa Jawa tidak saja dalam lisan tetapi tulisan, itu sungguh kampiun! Dalam bahasa Jawa ada unggah-ungguh bahasa Jawa Ngoko dan Krama.  Mereka menggunakan unggah-ungguh itu dengan konsisten, sungguh luar biasa!
Oleh karena itu saya sebagai rekan penulis dan redaksi Dilah Kasukman mengucapkan terimakasih kepada para penulis yang setia menuliskan renungannya dalam bahasa Jawa. Â Mereka adalah: Pdt. Em. Y. Subari, GI E. Sumadi, Iskandar MZ, Taufan Suherno, Pdt. Abednego Utomo Prasetyo, Pdt. Suratman, Pdt. Danang Tutut Arifal, Pdt. Barnabas Mohammad Sodiq, Pdt. N. Sukamto, Pdt. Dwi Lestianto, Pdt. Suharto, Pdt. Sukodono, Pdt. Siswanto, Pdt. Abgrit Hendra Sofiyanto, Nunia Widowinarti, Darsono Soewito dan lain-lain. Â Tuhan kiranya senantiasa memberkati dengan kesehatan, semangat hidup, dan kemakmuran bagi para pejuang bahasa Jawa ini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H