Meski demikian, para generasi muda anggota jemaat GITJ juga memiliki tanggung jawab untuk menggunakan dan melestarikan bahasa Jawa dalam ibadah atau dalam pelayanan lainnya. Â Ini adalah tantangan besar tidak saja di GITJ tetapi juga gereja-gereja yang terwadahi dalam Badan Musyawarah Gereja Jawa (BMGJ) yang masih konsisten menggunakan bahasa Jawa dalam ibadah Minggunya. Â Gereja-gereja yang masuk dalam wadah BMGJ selain GITJ adalah: Gereja Kristen Jawa (GKJ), Gereja Kristen Jawa Tengah bagian Utara (GJKTU), dan GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan).
Dengan tersedianya sarana pembelajaran melalui Renungan Harian Dilah Kasukman ini, semoga generasi muda yang bergereja di lingkup Sinode GITJ dapat belajar secara tertulis bahasa Jawa melalui renungan-renungan yang ada. Â Dalam era digital sekarang ini, memang merupakan tantangan yang berat bagi generasi muda untuk membaca, apalagi membaca dalam teks bahasa Jawa.Â
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa generasi muda lebih enjoy membaca teks-teks yang singkat di media-media sosial seperti twitter, Instagram, Face Book, WA dan lain-lain. Â Tetapi ketika dihadapkan pada media yang memuat gambar atau video, maka generasi muda akan lebih memilih media tersebut daripada media yang menggunakan sarana literer. Â Oleh karenanya, media sosial Tik-Tok dan sejenisnya lebih disukai oleh generasi kekinian.
Perjuangan Berat
Ketika mulai mengelola penerbitan Dilah Kasukman ini, sudah disadari oleh crew redaksi dan para penulis, bahwa penerbitan ini sebuah perjuangan yang berat. Ketika mempertimbangkan segmen pasar, jelas segmennya terbatas, yakni para pembaca yang sudah berusia. Â Serta ketika berpikir perlunya sarana pembelajaran bahasa Jawa bagi generasi muda dalam kondisi era digital seperti sekarang ini, hal ini semakin menyadarkan bahwa perjuangan ini perjuangan yang sangat berat.
Kemudian saat mempertimbangkan sumber daya manusia yang bisa diandalkan untuk menulis renungan dalam bahasa Jawa, maka sebenarnya perjuangan yang dirasakan menjadi benar-benar sangat berat.  Dalam rangka mengumpulkan naskah setiap bulannya, saya menghubungi para "Pendeta sepuh" untuk ikut menulis renungan ini.  Asumsi saya, para sepuh tentu lebih fasih dalam berbahasa Jawa, sehingga menulis renungan berkisar 250-350 kata  dengan bahasa Jawa tentu bukan hal yang sulit.  Tetapi kenyataannya banyak yang menolak karena berbagai alasan.  Hanya satu dua yang berkenan menulis, itupun hanya di awal-awal penerbitan.  Dalam hal ini saya berterima kasih kepada Bapak GI Em. Sumadi (GITJ Karangsari-Jepara) dan Pdt. Em. Y. Subari (GITJ Trangkil-Pati).
Terus Memompa
Saya dan kawan-kawan redaksi sampai saat ini terus memompa semangat menulis rekan-rekan penulis dan juga mendorong bibit-bibit baru para penulis. Â Syukurlah para penulis yang terdiri dari para gembala jemaat dan jemaat bisa juga memahami kondisi redaksi dalam hal pendanaan. Â Sehingga honor minim yang disediakan tidak mereka pusingkan. Â Bahkan sampai sekarang, ada penulis setia sejak awal penerbitan tidak pernah menengok rekening tabungan padahal beberapa kali rekan Bendahara Redaksi sudah mentransfernya.
Bendahara Redaksi mempunyai kebijakan, setelah total naskah yang dimuat 50 naskah, maka baru ditransfer honor atau uang lelah itu. Â Mau tahu berapa honor penulis untuk setiap naskahnya? Pokoknya minimlah setiap naskahnya! Â Beberapa waktu redaksi bisa memberi honor lumayan setiap tulisannya karena ada sponsor dari seorang pengusaha komputer. Â Tetapi sejak sponsor untuk penulis itu berhenti, maka kemampuan redaksi dalam memberi honor ya baru sebatas minimalis itu.
Para Pejuang Bahasa Jawa