Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kulepas Saja Burung Perkutut Itu

26 April 2024   08:27 Diperbarui: 26 April 2024   15:40 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Burung Perkutut (sumber gambar: Relevania) 

Kulepas Saja Burung Perkutut Itu

Oleh: Suyito Basuki

"Burungnya dilepas mas?" tanya istriku usai pulang sekolah.  Ia menengok kurungan burung yang kosong melompong, hanya isi tempat pakan dan minum air yang terguling.

"Burungnya nggak mau dipelihara, kelihatan sedih," jawabku sembari melepas jaket, menaruh pada kapstok dekat dapur.

"Sedih gimana maksudnya?" istriku bertanya dengan nada penasaran.  Maklumlah, dia termasuk yang bersemangat ikut membeli sangkar burung itu.  Di sampingku, saat itu, dia memegang HP dan memperhatikan arah google map yang memberi tahu lokasi warung pakan burung yang sekaligus menjual kurungan burung.  Semula kami hendak membeli sangkar burung itu di pasar hewan.  Kebetulan pasaran Jawa jatuh pada neptu Pon.  Setiap neptu Pon memang pasar hewan itu ramai dengan orang-orang yang berjual beli, mulai dari hewan ternak: sapi, kerbau, kambing sampai ke binatang unggas, kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.  Karena merasa tidak tahu lokasi warung penjual sangkar burung di pasar hewan itu, dari pada nanti buang-buang waktu, maka kami ingin ke warung yang pasti-pasti saja.

"Dekat rumah kita malah ada lho yang jual sangkar burung," ujarku sambil melanjutkan perjalanan mobil.  Sesampai di tempat yang dimaksud, ternyata warung itu bukan menjual sangkar burung, tetapi sangkar kucing.  Warung itu juga menjual pakan kucing dan hewan rumahan lainnya.  Akhirnya istriku menghidupkan google mapnya kembali. 

"Di Sanggrahan ada," katanya sambil menunjukkan jarinya ke HP.  Meluncurlah kami ke lokasi yang dimaksud.  Sesampai di tempat yang dituju, kami tidak menemukan warung sangkar burung yang kami maksud. 

"Dulu di warung ini ada kok, sekarang mungkin tidak jual lagi," demikian penjelasan istriku yang sejak kecil tinggal tidak jauh dari daerah ini. 

"Ini ada banyak warung sangkar burung, tetapi perjalanan ke sana sekitar 30 km atau butuh waktu 30 sampai 45 menit,"istriku berkata sambil menunjukkan gambar google map yang terlihat banyak titik-titik merah lokasi yang dimaksud.

Dengan alasan tempatnya jauh dan tubuh capek, maka aku lebih memilih untuk pulang kembali ke rumah.  Tiba-tiba saja teringat bahwa saat kami mau ke Sanggrahan tadi, sepertinya kami melewati warung pakan burung.  Ternyata benar!  Akhirnya kami mendapatkan sangkar burung seharga 60 ribu.  Aku membeli juga tempat pakan dan air.  Selain itu juga membeli juwawut pakan burung perkutut itu.

Semalam aku tangkap burung perkutut itu.  Kami bermalam di rumah yang ditempati anak-anak yang tengah kuliah di sebuah kota.  Aku naik ke lantai dua, kamar tempat anakku laki-laki tidur.  Di teras depan kamar itu kulihat ada burung perkutut yang hinggap di pagar teras.  Hari menjelang malam sehingga burung itu mungkin sedang kantuk atau tidak jelas melihat kedatangan orang.  Pelan-pelan kutangkap burung itu.  Kena!  Akhirnya kumasukkan sebuah kardus kecil dan kubawa pulang ke rumah tempat aku dan istri bermukim sehari-hari.

Wah bakal punya burung nih.  Rupanya istriku pun senang dengan bayangan suaminya punya burung yang dapat dipelihara dan didengar suaranya.

Waktu burung itu sudah dimasukkan ke dalam sangkar, istriku berkata dengan nada senang,"Burungnya bunyi mas."  "Iya tapi belum bagus suaranya, burungnya belum dewasa," ujarku, karena melihat badan burung masih kecil.  Mungkin burungnya kalau manusia masih usia remaja ya.

Hari pertama, burung perkutut itu masih terlihat lincah, badan tegak menunjukkan kegagahannya.  Tetapi hari kedua dan ketiga burung perkutut itu kelihatan lesu.  Ketika ketemu dengan anak lelakiku dan ia bertanya, kujawab dengan istilah bahasa Jawa,"burungnya nyekukruk."  "Nyekukruk itu apa?" tanya anakku, rupanya dia belum tahu arti istilah "nyekukruk" itu. "Nyekukruk" itu lesu, tidak bergairah dengan tanda-tanda bulu burung seolah berdiri semuanya dan lehernya seolah tenggelam.  Oalah, anak remaja sekarang tidak lagi paham dengan istilah-istilah khas bahasa Jawa, begitu pikirku.

Melihat kondisi burung itu, aku takut kalau nanti malah mati. Oleh karena itulah, maka burung perkutut itu kulepas saja.  "Kamu tidak mau kupelihara ya, kulepas saja, hiduplah merdeka di alam raya." Demikian kataku sambil melepasnya.

Hujan gerimis keesokan harinya.  Sore hari udara dingin.  Kulihat seekor burung perkutut, persis seperti burung perkutut yang kutangkap dan kumasukkan ke sangkar baru kemarin sedang bertengger di sebuah kawat telpon di kebun samping rumah kami.  Dia tidak pedulikan hujan menetes ke tubuhnya dan angin keras yang menerpanya.

Burung perkutut itu kelihatan sedih.  Tubuhnya "nyekukruk" tidak mau bergerak, seolah sedang berpikir keras.  Apakah dengan aku menangkapnya beberapa hari yang lalu dan membawanya ke lain daerah, dia terpisahkan dengan induknya atau pasangan yang tengah dirindukannya?  Apakah itu yang menjadikan sumber kesedihannya? Kemudian hilang semangat hidupnya? 

Sayang istriku tidak melihat kesedihan burung itu karena ia belum pulang dari ngajar di sekolah.  Saat ia pulang kuberitahu, burung perkutut itu sudah lenyap, tak lagi bertengger di kabel telepon kebun samping rumah.  Dengan semangat istriku berkata,"Pintu masuk burung itu dibuka saja mas, biar dia kembali ke kurungannya dan kita bisa kembali memeliharanya." 

Ambarawa, 26 April 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun