Semalam aku tangkap burung perkutut itu. Â Kami bermalam di rumah yang ditempati anak-anak yang tengah kuliah di sebuah kota. Â Aku naik ke lantai dua, kamar tempat anakku laki-laki tidur. Â Di teras depan kamar itu kulihat ada burung perkutut yang hinggap di pagar teras. Â Hari menjelang malam sehingga burung itu mungkin sedang kantuk atau tidak jelas melihat kedatangan orang. Â Pelan-pelan kutangkap burung itu. Â Kena! Â Akhirnya kumasukkan sebuah kardus kecil dan kubawa pulang ke rumah tempat aku dan istri bermukim sehari-hari.
Wah bakal punya burung nih. Â Rupanya istriku pun senang dengan bayangan suaminya punya burung yang dapat dipelihara dan didengar suaranya.
Waktu burung itu sudah dimasukkan ke dalam sangkar, istriku berkata dengan nada senang,"Burungnya bunyi mas." Â "Iya tapi belum bagus suaranya, burungnya belum dewasa," ujarku, karena melihat badan burung masih kecil. Â Mungkin burungnya kalau manusia masih usia remaja ya.
Hari pertama, burung perkutut itu masih terlihat lincah, badan tegak menunjukkan kegagahannya. Â Tetapi hari kedua dan ketiga burung perkutut itu kelihatan lesu. Â Ketika ketemu dengan anak lelakiku dan ia bertanya, kujawab dengan istilah bahasa Jawa,"burungnya nyekukruk." Â "Nyekukruk itu apa?" tanya anakku, rupanya dia belum tahu arti istilah "nyekukruk" itu. "Nyekukruk" itu lesu, tidak bergairah dengan tanda-tanda bulu burung seolah berdiri semuanya dan lehernya seolah tenggelam. Â Oalah, anak remaja sekarang tidak lagi paham dengan istilah-istilah khas bahasa Jawa, begitu pikirku.
Melihat kondisi burung itu, aku takut kalau nanti malah mati. Oleh karena itulah, maka burung perkutut itu kulepas saja. Â "Kamu tidak mau kupelihara ya, kulepas saja, hiduplah merdeka di alam raya." Demikian kataku sambil melepasnya.
Hujan gerimis keesokan harinya. Â Sore hari udara dingin. Â Kulihat seekor burung perkutut, persis seperti burung perkutut yang kutangkap dan kumasukkan ke sangkar baru kemarin sedang bertengger di sebuah kawat telpon di kebun samping rumah kami. Â Dia tidak pedulikan hujan menetes ke tubuhnya dan angin keras yang menerpanya.
Burung perkutut itu kelihatan sedih. Â Tubuhnya "nyekukruk" tidak mau bergerak, seolah sedang berpikir keras. Â Apakah dengan aku menangkapnya beberapa hari yang lalu dan membawanya ke lain daerah, dia terpisahkan dengan induknya atau pasangan yang tengah dirindukannya? Â Apakah itu yang menjadikan sumber kesedihannya? Kemudian hilang semangat hidupnya?Â
Sayang istriku tidak melihat kesedihan burung itu karena ia belum pulang dari ngajar di sekolah. Â Saat ia pulang kuberitahu, burung perkutut itu sudah lenyap, tak lagi bertengger di kabel telepon kebun samping rumah. Â Dengan semangat istriku berkata,"Pintu masuk burung itu dibuka saja mas, biar dia kembali ke kurungannya dan kita bisa kembali memeliharanya."Â
Ambarawa, 26 April 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI