Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Djoko Pekik, Kritik Pedas, dan Kekuatan Ekspresi Personalnya Menonjol

14 Agustus 2023   17:57 Diperbarui: 15 Agustus 2023   17:04 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan Berburu Celeng (Sumber Gambar: JawaPos.com)

Oleh: Suyito Basuki

Dikabarkan pelukis senior Djoko Pekik meninggal dalam usia 85 tahun di Yogyakarta.  Berita itu dikabarkan pertama kali oleh sutradara film Garin Nugroho Riyanto melalui akun pribadi instagramnya dan seniman Jogja, Butet Kartaredjasa. Djoko Pekik meninggal Sabtu 12 Agustus 2023 hari yang lalu. (Sumber)

Tentu saja berita meninggalnya seniman lukis Djoko Pekik ini menyembulkan rasa duka di kalangan seniman Jogja, karena seorang seniman lukis yang fenomenal telah berpulang ke haribaan Yang Maha Kuasa. 

Dikatakan fenomenal karena kreativitas lukis yang Djoko Pekik kerjakan ini tidak seperti seniman lukis pada umumnya.  Djoko Pekik dalam hal ini berani keluar dari zona aman seniman-seniman lukis lainnya saat dia berpameran tunggal di Bentara Budaya 1998 yang lalu.

Harga Satu Milyar

Saat berpameran tunggal di gedung Bentara Budaya Yogyakarta, 1998 yang lalu, saya sempat datang melihat pameran lukisnya.  Saat itu saya merasakan situasi yang unik.  Unik karena pameran lukis hanya menyanjikan satu lukisan dengan judul "Berburu Celeng."  

Jadi dalam satu ruangan di Bentara Budaya Yogyakarta yang cukup luas itu hanya tersaji satu (1) buah lukisan dengan kursi kayu panjang, kalau tidak salah kursi itu dari satu batang kayu yang ditatah sehingga menyerupai kursi panjang dengan ditambah kayu-kayu sebagai kaki-kakinya.

Di kursi panjang itu, duduk Djoko Pekik yang saat itu berambut putih gondrong dan berjanggut yang kurang beraturan.  Dengan sedikit senyum memberikan keterangan kepada rekan-rekan seniman yang bertanya ini itu kepadanya.  Penonton berada di sekeliling lukisan dengan mengamat-amati lukisan "Berburu Celeng" yang berukuran cukup besar 275 x 450 cm itu.

Lukisan "Berburu Celeng" itu banyak pengamat yang menafsirkan bahwa lukisan itu untuk menggambarkan penguasa Orde Baru pada masa itu.  Pameran lukisan itu berlangsung tak lama setelah pemerintahan Presiden Soeharto dilengserkan oleh gerakan mahasiswa.  

Lukisan itu terdapat beberapa obyek, yakni orang menggotong celeng besar dengan pikulan, kemudian di depannya ada orang-orang pemain reog yang menari juga seniman seniwati, latar belakang lukisan itu lautan manusia dan sebuah jembatan yang menurut pengamat, itu adalah simbol Presiden Soeharto yang disebut sebagai Bapak Pembangunan pada masa-masa pemerintahannya itu.

Lukisan Berburu Celeng (Sumber Gambar: JawaPos.com)
Lukisan Berburu Celeng (Sumber Gambar: JawaPos.com)

Tapi apa pun penafsiran orang-orang, Djoko Pekik berkata,"Celeng itu kan apa saja doyan.  Membabi buta.  Perusak.  Celeng itu seperti pemimpin yang penuh angkara murka," demikian Djoko Pekik yang sudah berkarir sejak 1960-an. (Sumber)

Djoko Pekik yang melukis secara realis-ekspresif ini memiliki sebuah komitmen berkesenian.  "Saya ingin melukis sesuatu bukan hanya untuk cerminan penguasa setempat, tapi bagi siapa saja yang mempunyai kekuasaan," kata Djoko Pekik dikutip dari buku Menyusu Celeng karya Sindhunata

Jeritan Suara Akar Rumput

Seorang seniman lukis kota Solo, Slamet Rahardjo, meski tidak mengenal dekat Djoko Pekik, memberikan kesannya saat saya hubungi.  Menurut Slamet Rahardjo, Djoko Pekik adalah seniman yang konsisten dengan prinsipnya, tidak goyah oleh keadaan.  Melukis bagi Djoko Pekik, menurut pengamatan Slamet Rahardjo adalah untuk menyuarakan jeritan suara akar rumput.

Lengkapnya Slamet Rahardjo alumni Fakultas Sasdaya Seni Rupa UNS desain grafis 86 dan pernah bekerja di PT HIT/Polytron Kudus sebagai desainer produk ini memberi komentar sebagai berikut: 

"Saya terkesan akan konsistennya didunia lukis yang tidak goyah oleh keadaan, terlebih di Lekra waktu itu lebih lekat kalau boleh dibilang jargon saat itu yakni nuansa kelas proletar.  Tentu saja sepertinya kaum proletar adalah kelas penderita kelas susah orisinil, seperti  kehidupannya yang fenomenal, dari sejak masa sekolah sampai masa dewasa "tansah kedarang-darang"...menjadikan melukis untuk bicara menyuarakan jeritan suara-suara  akar rumput, melukis bukan untuk menopang hidup bukan, untuk mencari makan, melukis adalah dirinya, melukis bukan dagangan,  melukis bukan karena menuruti pakem mainstream, kontemporer dsb...lukisan itu adalah dirinya sendiri. Sampai akhir hayat tidak pernah menerima pesanan lukisan, kalau mau beli lukisan ya ekpresi suara nurani beliau diatas canvas," demikian urai Slamet Rahardjo yang sekarang menjadi tenaga freelance desainer, arsitektur rumah/bangunan dan mengisi waktu luang dengan menggambar atau melukis.

Slamet Rahardjo bersama Djoko Pekik (Sumber Gambar: Dokumen Pribadi Slamet Rahardjo) 
Slamet Rahardjo bersama Djoko Pekik (Sumber Gambar: Dokumen Pribadi Slamet Rahardjo) 

Suka Duka Kehidupan Djoko Pekik

Seorang seniman lukis Jogja senior, Subroto Sm menyatakan bahwa ia kenal dekat dengan Djoko Pekik saat saya hubungi.  Subroto Sm pernah mengajar di FSR ISI Yogyakarta hingga pensiunnya. 

Tidak saja mengajar, tetapi Subroto Sm yang adalah kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 23 Maret 1946 ini juga melukis dengan aktif. Dia pernah antara lain mendapat Piagam & Hadiah "Wendy Sorensen Memorial Fund-USA" untuk seni lukis terbaik ASRI (1968).

Subroto Sm menyatakan,"Saya mulai mengenal lebih dekat dengang Pak Pekik, saya biasa memanggilnya demikian, sejak th 1972 saat saya bersama para pelukis: Aming Prayitno, Handrio, dan Batara Lubis tergabung dlm proyek-proyek seni rupa yang dikerjakan oleh Studio Pualam Timur yang dipimpin oleh pelukis Lian Sahar. Karya-karya yang kami kerjakan adalah elemen dekorasi interior, seperti mosaik, hiasan dinding, dan lukisan. Proyek-proyek yang kami dikerjakan aantara lain untuk  Kantor Gubernur dan Kantor Kehutanan di Aceh dan Pemda Kalimantan Timur, " demikian Subroto Sm. Kedekatan hubungan dengan Djoko Pekik yang menjadi tahanan politik terkait dengan G30S 8 November 1965-1972 ini, saat keduanya aktif di organisasi istri senirupawan Yogyakarta yang didirikan pada 14 Agustus 1982 yang disebut Ikaisyo.  Dalam organisasi tersebut ada sejumlah legenda seni rupa Indonesia seperti Affandi, Widayat, Fadjar Sidik, Edhi Sunarso, Amri Yahya, Saptohoedojo, Bagong Kussudiardja dan lain-lain.

Menurut pengamatan Subroto Sm, pasca keluar dari tapol th 1972 sampai akhir tahun 1980-an Djoko Pekik dapat dikatakan vakum sebagai pelukis, karena kondisi sospol pada waktu itu mengucilkan siapapun eks tapol. Untuk memutar roda ekonomi rumah tangganya, Djoko Pekik kadangkala mendapat order dari Studio Pualam Timur.  Selain itu Djoko Pekik juga pernah hidup sebagai penjahit, berjualan lurik, pernah juga menjadi petani lombok.

Menurut pengamatan Subroto lebih lanjut, nama Djoko Pekik sebagai pelukis mulai terkenal ketika karya-karyanya diikutkan dlm Pameran KIAS (Pameran Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat) th 1990-1991. 

Keikutsertaannya di KIAS dianggap kontroversial dan sempat menjadi polemik di media massa, lantaran Djoko Pekik adalah ex-tapol.   Keikutsertaan Djoko Pekik di KIAS, awalnya atas rekomendasi Astry Wright, dari Cornel University, ketika Astry Wright sedang meneliti karya Djoko Pekik  untuk disertasinya.  Sebagai catatan saja, orang sering menyebutnya bukan Astry Wright tetapi Astari Rasyid.  "Itu penyebutan nama yang salah," begitu Subroto Sm.

Oleh karena itulah, menurut penuturan Subroto Sm, sejak tahun 1991, karya Djoko Pekik  mulai dicari kolektor.  Nama Djoko Pekik  mulai melambung sejak karyanya "Berburu Celeng" dibeli oleh Siswanto, pemilik toko Mirota Kampus dengan harga fantastik: satu milyar rupiah.

Gegara itu Djoko Pekik mendapat julukan pelukis satu milyar.  Djoko Pekik yang secara umum disebut sesuai KTP lahir 2 Januari 1938, tetapi setelah Subroto Sm mengkonfirmasi dengan Tinuk, istri Djoko Pekik, ternyata lahir di Grobogan, Purwodadi, Jateng, 1 Februari 1938.  Sepoerti yang diungkap Subroto Sm selanjutnya, Djoko Pekik sendiri, dia lahir sehari sesudah anaknya Ratu Yuliana, Beatrix yang lahir tg 31 Januari 1938.

Subroto Sm dan istri bersama Djoko Pekik dan istri serta Ibu Kartika Affandi (Sumber Gambar: Dokumen Pribadi Subroto Sm)
Subroto Sm dan istri bersama Djoko Pekik dan istri serta Ibu Kartika Affandi (Sumber Gambar: Dokumen Pribadi Subroto Sm)
Kritik Pedas hingga Kekuatan Ekspresi Personalnya Menonjol

Berikut ini kesan Subroto Sm terhadap karya-karya Djoko Pekik:

a. Ide-idenya sebagian besar membawa pesan dan tidak jarang sebagai kritik pedas tanggapannya pada perkembangan sosial-politik mutakhir di Indonesia.

b. Konsep visual/bentuknya sangat khas/unik.  Lukisannya bagi saya cenderung ke gaya sosial realisme yang ekspresionistik.

c. Ekspresi personalnya  menonjol, sehingga aspek anatomi dan proporsi, atau perspektif yang kadang tampak lemah bisa diatasinya. Namun ia sangat memperhatikan komposisi.

d. Lukisannya memiliki metafora kuat. Sehingga bagi pengamat yang kurang jeli, tidak melihat hal tersirat di balik bentuk visualnya.

e. Visualisasinya khas. Lukisannya banyak didominasi warna coklat kemerahan dan hitam. Itu ditampilkan dengan teknik sapuan kuasnya yang kasar, sehingga memunculkan nilai tekstural yang khas.

f. Judul-judul lukisannya selalu menarik, mudah diingat, dan juga khas; menambah kekuatan pesan yang dibawakan.

Empat lukisan yang mengesankan Subroto adalah: 1. Keretaku Tak Berhenti Lama, 2. Gonjang-ganjing Kawula Jogja, 3. Berburu Celeng, dan 4. Go to Hell Crocodile

Kesalahan Struktur Anatomis?

Meski Subroto Sm mengakui bahwa lukisan Djoko Pekik yang berjudul “Berburu Celeng” sangat fenomenal, tetapi ada beberapa hal yang dikritisinya.  Menurutnya di balik fenomena popularitasnya lukisan ini, ada satu catatan menarik perhatian Subroto Sm, yaitu: letak kedua kaki dua orang yang memanggul celeng! 

“Mengherankan, tubuh celeng yang berat itu tidak jatuh, walaupun tubuh celeng itu ternyata terletak di sebelah kanan kedua pemanggul. Ini sebuah kesalahan struktur anatomis si celeng dengan kaki kedua pemanggul!  Inilah kekurangan sekaligus kelebihan sebuah lukisan yang bersifat 2D, karena dalam hal ini tidak berlaku hukum gravitasi sebagaimana dalam seni patung atau arsitektur,” demikian Subroto Sm.

Suatu saat hal ini pernah dikonfirmasi ke Djoko Pekik, menurut Subroto Sm, Djoko Pekik mengatakan bahwa dia sendiri baru menyadari kesalahan tersebut, dengan mengatakan "Iya, ya? Ya wis ben, sing nonton ora ngematke kok!" ("Iya, ya? Ya biarin, yang melihat tidak memperhatikan kok!")

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun