Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Djoko Pekik, Kritik Pedas, dan Kekuatan Ekspresi Personalnya Menonjol

14 Agustus 2023   17:57 Diperbarui: 15 Agustus 2023   17:04 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Subroto Sm dan istri bersama Djoko Pekik dan istri serta Ibu Kartika Affandi (Sumber Gambar: Dokumen Pribadi Subroto Sm)

Lukisan Berburu Celeng (Sumber Gambar: JawaPos.com)
Lukisan Berburu Celeng (Sumber Gambar: JawaPos.com)

Tapi apa pun penafsiran orang-orang, Djoko Pekik berkata,"Celeng itu kan apa saja doyan.  Membabi buta.  Perusak.  Celeng itu seperti pemimpin yang penuh angkara murka," demikian Djoko Pekik yang sudah berkarir sejak 1960-an. (Sumber)

Djoko Pekik yang melukis secara realis-ekspresif ini memiliki sebuah komitmen berkesenian.  "Saya ingin melukis sesuatu bukan hanya untuk cerminan penguasa setempat, tapi bagi siapa saja yang mempunyai kekuasaan," kata Djoko Pekik dikutip dari buku Menyusu Celeng karya Sindhunata. 

Jeritan Suara Akar Rumput

Seorang seniman lukis kota Solo, Slamet Rahardjo, meski tidak mengenal dekat Djoko Pekik, memberikan kesannya saat saya hubungi.  Menurut Slamet Rahardjo, Djoko Pekik adalah seniman yang konsisten dengan prinsipnya, tidak goyah oleh keadaan.  Melukis bagi Djoko Pekik, menurut pengamatan Slamet Rahardjo adalah untuk menyuarakan jeritan suara akar rumput.

Lengkapnya Slamet Rahardjo alumni Fakultas Sasdaya Seni Rupa UNS desain grafis 86 dan pernah bekerja di PT HIT/Polytron Kudus sebagai desainer produk ini memberi komentar sebagai berikut: 

"Saya terkesan akan konsistennya didunia lukis yang tidak goyah oleh keadaan, terlebih di Lekra waktu itu lebih lekat kalau boleh dibilang jargon saat itu yakni nuansa kelas proletar.  Tentu saja sepertinya kaum proletar adalah kelas penderita kelas susah orisinil, seperti  kehidupannya yang fenomenal, dari sejak masa sekolah sampai masa dewasa "tansah kedarang-darang"...menjadikan melukis untuk bicara menyuarakan jeritan suara-suara  akar rumput, melukis bukan untuk menopang hidup bukan, untuk mencari makan, melukis adalah dirinya, melukis bukan dagangan,  melukis bukan karena menuruti pakem mainstream, kontemporer dsb...lukisan itu adalah dirinya sendiri. Sampai akhir hayat tidak pernah menerima pesanan lukisan, kalau mau beli lukisan ya ekpresi suara nurani beliau diatas canvas," demikian urai Slamet Rahardjo yang sekarang menjadi tenaga freelance desainer, arsitektur rumah/bangunan dan mengisi waktu luang dengan menggambar atau melukis.

Slamet Rahardjo bersama Djoko Pekik (Sumber Gambar: Dokumen Pribadi Slamet Rahardjo) 
Slamet Rahardjo bersama Djoko Pekik (Sumber Gambar: Dokumen Pribadi Slamet Rahardjo) 

Suka Duka Kehidupan Djoko Pekik

Seorang seniman lukis Jogja senior, Subroto Sm menyatakan bahwa ia kenal dekat dengan Djoko Pekik saat saya hubungi.  Subroto Sm pernah mengajar di FSR ISI Yogyakarta hingga pensiunnya. 

Tidak saja mengajar, tetapi Subroto Sm yang adalah kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 23 Maret 1946 ini juga melukis dengan aktif. Dia pernah antara lain mendapat Piagam & Hadiah "Wendy Sorensen Memorial Fund-USA" untuk seni lukis terbaik ASRI (1968).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun