Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lagu Joko Tingkir, Desakralisasi yang Digugat

20 Agustus 2022   07:54 Diperbarui: 20 Agustus 2022   17:33 1742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Farel Prayoga dan Lagu Joko Tingkir (foto: youtube.com)

Lagu Joko Tingkir, Desakralisasi yang Digugat

Oleh: Suyito Basuki

Diberitakan bahwa pencipta lagu "Joko Tingkir Ngombe Dawet" yang bernama Pratama memohon maaf kepada warga dan ulama di Lamongan karena karya lagunya yang mengambil nama "Joko Tingkir".  Diakui sebelumnya bahwa Pratama tidak tahu bahwa Joko Tingkir adalah seorang ulama besar.  Permintaan maafnya ini juga diunggah di channel youtube miliknya. 

Permintaan maaf ini bermula disebut dari desakan warga dan para ulama di Lamongan yang merasa nama besar "Joko Tingkir" sebagai ulama dibawa-bawa dalam lirik lagu yang sedang ngehits tersebut.  Juga ada ulama yang protes karena irama lagu itu mirip-mirip dengan irama shalawat.  (detik.com , 19 Agustus 2022)

Akhirnya Pratama, sang pencipta lagu mengubah lirik lagu itu.  Tidak ada  lagi nama Joko Tingkir yang disebut ngombe dhawet.

Lirik Positif

Terlepas dari polemik mengenai nama Joko Tingkir yang dibawa-bawa, lagu itu sebetulnya memiliki makna yang positif.  Coba saja awal lagu liriknya dicermati: Joko Tingkir ngombe dhawet, jo dipikir marakke mumet (Joko Tingkir minum dawet, jangan terlalu dipikirkan, hanya menyebabkan pusing).  Ini semacam petuah yang sederhana dan masuk sekali di hati masyarakat kebanyakan yang saat ini lagi pusing mikir persoalan mencukupi hidup anak istri, biaya pendidikan dan biaya hidup yang semakin mahal, sebentar lagi BBM bersubsidi naik, kasus polisi ditembak polisi yang terus menggelinding, eskalasi politik yang semakin menanjak menjelang pemilu 2024 dan sebagainya.  Ngapain mikir pusing-pusing masalah itu?  Toh sudah ada yang mikir sendiri? Ajakannya jelaslah supaya masyarakat lebih baik enjoy dengan hidup masing-masing, tidak usah mumet-mumetlah mikir urusan itu.  Kira-kira demikian pesan lagu dalam larik pertama itu.

Lirik lagu pada bait pertama  juga menggelitik, seperti ini: Ngopek jamur nggone Mbah Wage
Pantang mundur, terus nyambut gawe, Pantang mundur, terus nyambut gawe
(Memetik jamur di tempatnya mbah Wage, pantang mundur terus bekerja).  Lirik ini berpesan supaya orang daripada mikir urusan orang lain yang bikin pusing, lebih baik terus fokus dalam bekerja.  Di bagian ini juga mencatut nama Wage, sebuah nama yang pada masa lalu seringkali dipakai oleh masyarakat Jawa dalam memberi nama pada anak-anaknya.  Di Jawa dikenal dengan neptu hari, yakni: Pon, Wage, Kliwon, Legi, Paing.  Demi mudahnya menamakan anak, maka di Jawa kalau anak lahir di neptu Pon ya kemudian diberi nama Pon dengan tambahan yang menunjukkan jenis kelamin anak tersebut.  Poniyem untuk bayi perempuan, Ponimin, Poniman untuk bayi laki-laki.  Demikian dengan nama Wage.  Bisa langsung mengambil kata wage atau mengimbuhinya menjadi Waginem, Waginah, Wagimin atau Wagiman.  Ingat pencipta lagu kebangsaan kita bernama Wage juga, WR Supratman adalah Wage Rudolf Supratman!

Lirik pada bait-bait selanjutnya juga positif pesannya.  Misalnya: Rokok klobot ning ngisor wit mlinjo, Paling abot ninggal anak-bojo, Tuku donat ning Kalimantan, Tetep s'mangat kanggo masa depan, Tetep s'mangat kanggo masa depan (Rokok klobot di bawah pohon mlinjo, sangat berat meninggalkan anak-istri, beli donat di Kalimantan, tetap semangat untuk masa depan).  Mungkin beratnya meninggalkan anak istri harus dikaitkan dengan lirik lagu pada bait yang lain, dimana pengarang lagu menyebut sebagai cerita sebagai anak rantauan dan serba salahnya menjadi pekerja TKW (tenaga kerja wanita) baik di mata masyarakat Indonesia maupun juragannya di negeri manca.  Tapi pesan lagu itu sangat positif dan logis supaya hidup itu harus tetap semangat, fokus dalam pekerjaan demi masa depan yang gilang gemilang.  Begitu kira-kira.

Skema Pantun

Penulisan lagu "Joko Tingkir Ngombe Dhawet" ini menggunakan skema pantun.  Pantun adalah penulisan puisi gaya lama dengan membuat di awal kalimat sampiran dan di akhir kalimat isi.  Misal saja: berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian.  Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.  Kalimat berakit-rakit dahulu, berenang-renang ke tepian adalah kalimat sampiran.  Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian, kalimat terakhir inilah yang disebut kalimat isi, dimana pesan pantun itu disampaikan.  Contoh lagi: jika ada sumur di ladang, bolehlah kita menumpang mandi (kalimat sampiran), kalau ada umur yang panjang, bolehlah kita berjumpa lagi (kalimat isi).  Contoh lagi: dari mana datangnya lintah, dari sawah turun ke kali (kalimat sampiran), dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati (kalimat isi).

Skema pantun ini dalam perkembangannya banya digunakan dalam seni tradisional. Khususnya di Jawa Timur, ada kesenian Ludruk yang para pemainnya seringkali menembangkan tembang-tembang dengan skema pantun.  Ambil contoh misalnya dalam tembang Jula-juli Jawatimuran irama ludruk, pemainnya bermain pantun dalam menyampaikan pesan-pesannya kepada penonton.  Ambil contoh misalnya: Langit biru lho cak, mendhung mentiyung, wayah jam papat udane teka, amit sewu lho cak, kula ndherek ngidung, meski kathah lepat, nedhi sepura (Langit biru, mendung menggelantung, hujan datang, aku minta ijin ikut menyanyi, jika ada salah, mohon dimaafkan). (You Tube: Jula-juli Jawatimuran, Cak Yudho Bakiak -- Sekar Budoyo) 

Pencipta lagu Pratama, sebagai orang Jawa Timur (mungkin orang Lamongan?) tentu akrab dengan ludruk dan cara bernyanyi para pemainnya dengan menggunakan pantun dalam menyampaikan pesannya.  Oleh karenanyalah saat mencipta lagu Joko Tingkir tersebut, skema pantun menjadi pilihannya sehingga dapat sudah dipahami oleh masyarakat sekarang ini.

Mirip Irama Selawat

Diberitakan bahwa salah satu ulama di Lamongan menyebut bahwa lagu Joko Tingkir mirip dengan irama selawat.  Selawat itu apa sih?

Selawat atau kadang muncul dengan tulisan sholawat ataupun shalawat dari arti kata sholla yang berarti doa untuk nabi sebagai ibadah kepada Allah SWT.  Shalawat dari Allah kepada nabi Muhammad adalah sebagai rahmat dan keridhaan, sedangkan shalawat dari malaikat kepada Nabi SAW adalah sebagai doa dan istigfar dan shalawat umat kepada Nabi SAW adalah sebagai doa dan pengagungan kepada Rasululah SAW. (inews.id, 8 September 2021)

Lalu irama selawat itu yang bagaimana?  Rhoma Irama dan Grup Sonetanya pernah melantunkan lagu Sholawat Badar di sebuah stasiun teve swasta yang diunggah di  You Tube.  Dalam pertunjukkan Rhoma Irama ini musik yang ditampilkan seperti irama padang pasir atau irama samproh, gambus atau qasidah menurut istilah di kampung saya.  Lagu-lagu grup Nasida Ria pada jaman jaya-jayanya dulu dengan lagu "Perdamaian", juga melantunkan lagu dengan irama jenis ini.

Bagi para ahli musik mungkin perlu menelusuri bahwa irama yang disebut selawat ini oleh beberapa orang, benarkah milik religi tertentu atau itu merupakan irama umum yang biasa dilantunkan di negara manca asal muasal irama lagu itu berada?  Karena di negara-negara yang berlokasi di padang pasir sepertinya irama jenis ini banyak ditemukan. 

Joko Tingkir seorang Ulama

Disebut Joko Tingkir adalah seorang ulama? Hal ini mungkin perlu keterangan lebih lanjut tentang tokoh Joko Tingkir yang dimaksud. 

Dari cerita rakyat Jawa Tengah yang saya dengar sejak kecil, Joko Tingkir adalah nama lain dari mas Karebet.  Joko Tingkir adalah putra dari Ki Kebo Kenanga murid Syeh Siti Jenar, penguasa daerah Pengging yang terletak sekarang ini di kabupaten Boyolali, berdekatan dengan Kartasura Sukoharjo Jawa Tengah.

Joko Tingkir inilah yang dengan rakitnya akhirnya sampai di daerah Demak yang saat itu diperintah oleh Sultan Trenggono.  Karena Joko Tingkir bisa meredam kekacauan di Demak, akhirnya dinikahkan dengan salah satu putri kerajaan Demak.  Pada akhirnya Joko Tingkir menjadi penguasa di Pajang 1568-1582 dengan gelar Sultan Hadiwijaya.

Setahu saya, masyarakat Jawa Tengah sangat menghargai Joko Tingkir dalam upaya meraih masa depannya yang luar biasa.  Sehingga ada nama Tingkir untuk tempat-tempat tertentu.  Di Salatiga ada terminal bus Tingkir atau desa Tingkir.  Mungkin ada kaitannya dengan nama Joko Tingkir menurut pengertian masyarakat Jawa Tengah.

Mestikah Digugat

Lagu Joko Tingkir yang dicipta dan diperdengarkan sekarang ini, berdasar pemahaman sejarah yang saya tangkap, sebenarnya hanya ingin memudahkan Pratama si pencipta lagu dalam menyampaikan pesannya kepada masyarakat.  Joko Tingkir yang menurut cerita hidup di abad-abad sebelumnya dengan segala kisah mistis hidupnya, menjadi cair dan akrab dengan masyarakat kekinian.  Itulah makna desakaralisasi.  Yang dulu dianggap sakral, sekarang menjadi tidak lagi sakral, yang dulu tidak biasa menjadi hal yang biasa dengan sebuah tujuan tertentu.

Layakkah lagu Joko Tingkir ini digugat?  Dalam lagu Joko Tingkir ini juga menyebut nama "Mbah Wage".  Layakkah juga nama-nama Wage dan anak cucunya mengugat?  Tapi ya sudahlah, akhirnya Pratama, sang pencipta lagu mengubah lirik lagu itu dengan meniadakan nama Joko Tingkir di lagunya, meski Farel Prayoga  yang menyanyi lagu "Aja Dibanding-bandingke" di hadapan Presiden Jokowi pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 2022 yang baru lalu, masih menyanyikannya dengan lirik aslinya  dan ia semakin populer saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun