Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ikaisyo, di Balik Kesuksesan Para Maestro Perupa Yogyakarta

16 Agustus 2022   06:26 Diperbarui: 18 Agustus 2022   04:09 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ikaisyo, di balik Kesuksesan Para Maestro Perupa  Yogyakarta

Oleh: Suyito Basuki

Tentu kita mengenal para perupa atau pelukis Yogyakarta, setidaknya pernah mendengar nama mereka.  Sebut saja di antara mereka: Affandi, Widayat, Edhi Sunarso, Saptoto, Bagong Kusudiardjo, Batara Lubis, Djokopekik, Wardoyo dan lain-lain.  

Affandi memiliki museum lukis yang menjadi destinasi masyarakat atau anak-anak sekolah yang sedang berkarya wisata di Yogyakarta.  Widayat adalah perupa serba bisa yang bahkan bisa menguasai seni kubisme Pablo Piccaso.  Edhi Sunarso adalah pematung terkenal di Indonesia. 

Berikutnya, Saptoto adalah seniman patung yang membuat patung monumen serangan serangan umum 1 Maret yang terletak di area Benteng Vredeburg, tepat di depan Kantor Pos Besar Yogyakarta.  

Bagong Kusudiardjo adalah koreografer sekaligus seniman lukis yang terkenal.  Batara Lubis adalah seniman lukis yang memiliki corak warna yang kontras.  

Djoko Pekik adalah pelukis realis ekspresif yang terkenal dengan lukisannya "Berburu Celeng" yang terjual 1 milyar.  Wardoyo adalah pelukis realisme, dosen STSRI-ASRI Yogyakarta.

Sejarah Lahirnya Ikaisyo

Di balik ketekunan para perupa itu berkarya, ternyata mereka mendapat dukungan istri tercinta mereka masing-masing.  Para istri perupa itu membentuk sebuah paguyuban atau komunitas yang bernama "Ikaisyo" kependekan dari Ikatan Istri Senirupawan Yogyakarta.  

Ikaisyo yang jatidirinya sebuah komunitas yang mendukung pekerjaan suami mereka masing-masing serta berkarya untuk masyarakat, mengadakan doa syukur 14 Agustus 2022 yang baru lalu, karena sudah 40 tahun komunitas ini hadir di Yogyakarta. Subroto Sm alumnus dan mantan pengajar ASRI/FSR ISI Yogyakarta memberi penjelasan tentang Ikaisyo, proses lahir dan kiprahnya sampai hari ini.

"Malam hari di bulan Juli, 1982, Pelukis Batara Lubis, yang tinggal di Jl Pengok, Jogja, mengadakan hajatan khitanan putranya bernama Ucok. Hadir sejumlah perempuan istri perupa bersama suaminya yang notabene merupakan  perupa terkemuka Indonesia, antara lain: Ny. Sumini Widayat, Ny. Soed Amri Yahya, Ny. Sutiyah Wardoyo, Ny. Tuty Aming Prayitno, Ny. Tinuk Djokopekik, Ny. Hafsah Damas, dan Ny. Batara Lubis sebagai tuan rumah.  Dalam acara ini muncul gagasan atau usulan dari Ny. Hafsah Damas, bahwa untuk menjalin komunikasi intens antar perupa di Jogja sebaiknya diadakan arisan untuk  ibu-ibu pad setiap bulan, disertai harapan, setiap arisan ibu-ibu didampingi suaminya," demikian tutur Subroto Sm.

"Gagasan Bu Damas itu kemudian mendapat dukungan ibu-ibu yang lain, termasuk Ny. Maryati Affandi.  Beberapa waktu kemudian gagasan arisan itu menemukan muaranya di rumah pelukis Damas, yang tinggal di Mangkuyudan, Jogja.  Kemudian diadakanlah pertemuan pertama yg diadakan pada hari Jumat, 14 Agustus 1982. Yang datang cukup banyak dan kebetulan bersamaan dengan Ulang Tahun Bu Hafsah Damas. Pada pertemuan pertama yang berlangsung  santai namun meriah itu,  sekaligus disepakati sebuah nama untuk kelompok arisan ibu-ibu istri perupa ini dengan nama IKAISYO, singkatan dari Ikatan Istri Senirupawan Yogyakarta," begitu lanjut Subroto Sm.

Titik Tino Sidin, putri pelukis Tino Sidin, sebagai Ketua Ikaisyo memberi sambutan (foto: dokumen pribadi)
Titik Tino Sidin, putri pelukis Tino Sidin, sebagai Ketua Ikaisyo memberi sambutan (foto: dokumen pribadi)

Mengapa Istilah Senirupawan?  Menurut penjelasan Subroto Sm,  istilah "senirupawan" dipakai untuk menerangkan singkatan Ikaisyo, karena  pada waktu itu istilah "perupa" belum populer. Seingat Subroto Sm, istilah "perupa" baru muncul pada awal th 1990-an bersamaan dengan maraknya seni rupa kontemporer.

Pameran Karya Suami dan Lomba-lomba

Berdasarkan keterangan Subroto Sm, dalam perkembangannya, sejak dibentuknya Ikaisyo yang diawali dengan kegiatan arisan, kemudian ada kegiatan sosial internal di antara mereka seperti mengunjungi anggota yang sakit, melayat, pernikahan, dan sebagainya.

Kemudian aktivitas eksternal atau go publik yang mereka adakan adalah mulai diadakan kegiatan, yang paling utama ialah Pameran Seni Rupa karya para suami, juga anggota Ikaisyo, dan penerbitan buku.   Juga kemudian pernah menyelenggarakan Lomba Lukis Anak, Lomba Sepeda Wisata, serta kegiatan bakti sosial memberi sumbangan untuk PMI hasil penggalangan dana melalui pameran-pameran yang sudah diadakan.

"Berawal dari arisan, dengan komunikasi yang relatif intensif terbangunlah rasa kekeluargaan dan sekaligus memacu para suami dan anggota dalam berkarya seni, yang dimanifestasikan dalam berbagai pameran bersama di Jogya, Jakarta, dan sekali di Bali pada tahun 1996," demikian jelas Subroto Sm.

Komunitas yang Unik

Subroto Sm, narasumber Ikaisyo (foto: dokumen pribadi)
Subroto Sm, narasumber Ikaisyo (foto: dokumen pribadi)

Subroto Sm lebih lanjut menjelaskan bahwa Ikaisyo, yang dalam kenyataannya  dihuni para maestro atau legenda seni rupa Indonesia adalah sebuah kelompok atau komunitas yang unik.

"Ikaisyo tidak punya AD/ART, tidak ada kartu anggota, namun bisa eksis dan berkembang mantap sampai dengan usianya yang ke-40.  Seiring berjalannya waktu, alih generasi pun terjadi. Ada anggota-anggota baru berasal dari putra-putri para perupa anggota yang sudah meninggal, dan ada yang baru sama sekali yang berusia muda, bukan putra/putri perupa Ikaisyo," demikian Subroto Sm menerangkan.

Subroto Sm sebagai pengamat Ikasiyo dari awal berdirinya hingga Ikaisyo berusia 40 tahun ini memberikan kesimpulan. Menurutnya:  "Rasa kekeluargaan yang terbangun berkesinambungan antar anggotanya melalui beberapa aktivitas yang diadakan berjalan secara luwes, cair dan dinamis, walau tidak harus dalam organisasi yang formal,  telah menjadi fondasi dan perekat kuat dalam menjalin silaturahmi dan mengembangkan jati dirinya," begitu urai Subroto Sm.  Menurut Subroto Sm lebih lanjut, diyakini bahwa spirit para maestro atau legenda seni rupa Indonesia sebagai  pendamping suami, para isteri perupa telah menginspirasi dan memacu semangat para anggota yang lebih muda untuk kreatif, produktif dan aktif berpameran atau bersosialisasi.

Hymne Ikaisyo

Hymne Ikaisyo (foto: dokumen pribadi)
Hymne Ikaisyo (foto: dokumen pribadi)

Sejak tahun 2018, Ikaisyo memiliki Hymne.  Lirik Hymne yang dicipta oleh Subroto Sm dan lagu oleh Santi ini menunjukkan jati diri dan semangat Ikaisyo dalam berkarya seni dan berjuang untuk keharuman bangsa negara Indonesia tercinta ini.

Cermati saja saja liriknya:

Inilah kami para wanita,

satukan cita, satu wahana.

Ikatan istri senirupawan Yogyakarta.

Kekeluargaan azasnya, 'tuk pacu smangat mencipta.

IKAISYO slalu berkarya, untuk Indonesia.

Ternyata memang benar, di balik kesuksesan para maestro lagendaris seni lukis Indonesia seperti Affandi, Widayat, Edhi Sunarso, Saptoto, Bagong Kusudiardjo, Batara Lubis, Djokopekik, Wardoyo dan lain-lain, terdapat peran istri yang memegang kunci keberhasilan suami.  Semoga Ikaisyo terus berkarya untuk perkembangan seni rupa Indonesia dan mendukung karya suami tercinta!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun