Dua buah tembang Pangkur dan Dhandanggula saya buat untuk mendeskripsikan kesatuan dan keberagaman nusantara ini. Â Sebelumnya saya membawakan sebuah suluk:
Ijo royo subur makmur, maju pepak samubarang
Kanugrahan Sang Akarya jagad
Nguri kabudayan, dadi tedhaning tiyang
Guyub rukun, gotong royong, tepa slira kang utama
Sayuk, rukun, tepa slira kang utama
Suluk ini menceritakan keadaan bumi nusantara yang subur dan makmur, serba lengkap yang dibutuhkan manusia yang ada. Semua itu adalah anugrah dari Tuhan yang Maha Kuasa yang menciptakan seluruh isi dunia ini.Â
Manusia yang ada kemudian melakukan pekerjaan mengelola potensi yang ada di bumi sehingga dapat menjadi sumber kehidupan.Â
Manusia yang hidup di bumi nusantara melakukan hidup dengan model rukun, gotong royong dan bertoleransi satu lain dalam kesehariannya.
Tembang pangkur yang saya lantunkan adalah sebagai berikut:
Kababaring nuswantara
Kang misuwur Indonesia nagari
Pitung dasa pitu tahun
Anggennya mardika
Pulo, basa, maneka budayanipun
Guyub lan nyawiji nunggal
Saeka praya lan kapti
Deskripsi nusantara dalam tembang pangkur yang saya buat ini adalah menceritakan nusantara yang dikenal dengan nama Indonesia ini sudah berusia 77 tahun di tahun 2022 ini.
Seperti kita ketahui, Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Â Indonesia terdiri dari beragam pulau, bahasa dan budaya. Kesemuanya itu bersatu padu dalam satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Sedang tembang Dhandhanggula deskripsinya sebagai berikut:
Kawitane Injil kang sejati
Tinampa tyang ing laladan Murya
Piter Janzs dadi arane
Mbabarken mring sawegung
Temah dadya pasamuwan niki
Ngrembaka lan tumangkar nggayuh kang satuhu
Tigang sinode dadya
GITJ GKMI lan JKI
Nyatunggil nunggal rasa
Tembang Dandhangdula yang saya gubah ini menceritakan sejarah timbulnya gereja-gereja menonit di Indonesia.Â
Semula ada seorang misionaris dari Belanda, Peter Jansz yang tiba di Jepara di tahun 1852 yang melakukan pewartaan serta akhirnya berkembang di daerah sekitar Gunung Muria.Â