Oleh: Suyito Basuki
Pasangan hidup, entah suami atau istri yang meninggal adalah sesuatu yang tentunya tidak diharapkan. Harapan yang umum adalah pasangan tersebut bisa hidup sampai tua dan tiada secara bersama-sama.Â
Terdengar romantis dan lebay memang, tetapi seperti itulah ungkapan-ungkapan sebagaimana yang didengar manakala ada pasangan hidup yang saling mencintai satu sama lain. Memang sih, idealnya seperti itu.
Tetapi pada kenyataannya pasangan hidup toh harus meninggal lebih dahulu salah satu dari antara mereka. Ada yang meninggal karena penyakit yang diderita atau karena sebab-sebab lainnya.
Meninggalnya salah satu dari pasangan hidup itu tak pelak membawa kesedihan bagi pasangan yang masih hidup di dunia. Saking sedihnya, maka ada kisah, selang beberapa hari istrinya meninggal, maka suaminya pun meninggal. Orang bilang, mereka adalah pasangan sehidup dan semati.
Life Must Go On
Ada istilah berbahasa Inggris: life must go on. Artinya adalah kira-kira sebagai berikut: dalam keadaan sesedih apa pun, sehingga hampir-hampir tidak bisa lagi berbuat apa-apa harus mempunyai pemikiran bahwa kehidupan ini harus tetap berlanjut. Masih ada tanggung jawab pribadi dan keluarga dan cita-cita yang harus diperjuangkan.
Oleh karena itu, seseorang dalam situasi terpuruk yang paling parah pun harus segera bangkit dari keterpurukannya itu dengan cara menerima kenyataan yang telah terjadi dan menjalani kehidupannya seperti kehidupan sediakala: tetap bekerja, merawat keluarga dan melakukan aktifitas-aktifitas sosial lainnya.
Memang masing-masing orang memiliki ketahanan yang berbeda dalam menghadapi keterpurukan akibat kesedihan yang dialami karena pasangan hidup yang lebih dahulu meninggal.Â
Hal ini tergantung dari sikap kemandirian dalam hidup sebelumnya dan penghayatan iman keyakinannya kepada Sang Pencipta alam semesta serta pengamatan dari keluarga atau lingkungan dalam menyelesaikan masalah yang sama.
Sebagai contoh: seorang istri yang memiliki pekerjaan tetap dan memiliki penghasilan yang bisa untuk membantu suami memenuhi kehidupan sehari-hari, saat suami meninggal, dia akan lebih bertahan dari pada seorang istri yang menggantungkan sepenuhnya pada kehidupan suami.Â
Contoh lagi: seorang yang setiap harinya selalu menghayati ibadah yang dilakukan dengan berpasrah penuh kepada Sang Pencipta, lahir dan batin, akan lebih tahan dalam menghadapi kematian pasangannya, dibanding dengan orang yang masa bodoh dengan kehidupan rohaninya.Â
Contoh selanjutnya: sesorang yang hidup di keluarga dimana ibunya sudah menjadi single parent sejak mudanya dan bisa membawa kesuksesan hidup bagi anak-anaknya, maka saat pasangan hidupnya meninggal, dia akan lebih tahan karena terinspirasi dengan kehidupan ibunya daripada seseorang yang sebelumnya terbiasa hidup manja dan selalu bergantung kepada orangtuanya.
Move On
Sekarang ini ada istilah move on. Arti istilah ini kurang lebihnya adalah: seseorang yang suatu ketika terpuruk karena suatu hal, mungkin putus cinta atau dalam hal ini ditinggal mati oleh pasangan, sudah bisa menerima kenyataan dan menjalani kehidupannya sebagaimana adanya.
Hal ini dibuktikan dengan keterbukaannya untuk membuka relasi baru dengan orang lain, tidak terkungkung lagi pada masa silam yang membuat langkah kakinya seolah berhenti.
Ada memang seseorang yang setelah kematian suaminya sudah setahun lebih, masih terus menerus memasang foto kebersamaan dengan mendiang suami di akun-akun media sosial miliknya.
Mungkin itu hanya gambaran bahwa orang tersebut belum bisa move on atau masih gagal move on. Bukan berarti salah atau benar, baik atau tidak baik, semuanya sah-sah saja. Tetapi terlalu lamanya seseorang gagal move on, akan berakibat fatal bagi seseorang tersebut dalam jangka panjang; mungkin ia akan mengalami berbagai penyakit akibat kesedihan mendalam yang terus menerus ia pikirkan dan lain-lain.
Mbah putri saya disebut orang "ngenes" istilah bahasa Jawa yang berarti memiliki kesedihan mendalam yang terus menerus dipikirkan saban harinya karena anak lelaki semata wayangnya, yang adalah ayah saya itu, meninggal sewaktu masih usia muda. Waktu ayah saya meninggal katanya saya masih berumur satu tahun.
Mungkin mbah putri saya itu saking sayangnya pada anak lelaki satu-satunya yang pada saat orang kampung masih banyak yang buta huruf, anaknya itu sudah berhasil menyelesaikan studi di Solo di sebuah sekolah konservatori dan kemudian menjadi buah bibir karena anaknya itu mahir bermain kerawitan dan menjadi seorang dalang di pusat kota kami. Karena terlalu sedih memikirkan anaknya itu, maka mbah putri saya terserang berbagai penyakit dan meninggal.Â
Orang kampung mengatakan bahwa mbah putri saya itu meninggal karena "ngenes". Mungkin kalau zaman sudah ada istilah gagal move on, mbah putri saya akan dikatakan meninggal karena gagal move on barangkali ya.
Disorientasi adalah istilah yang saya usulkan terhadap suatu keadaan dimana seseorang yang karena pasangan hidupnya meninggal, tidak lagi memiliki tujuan hidup yang jelas atau kehilangan tujuan hidupnya semula.
Sebagai contoh misalnya sebelum pasangannya meninggal, ia memiliki angan-angan untuk hidup setelah pensiun tinggal di kota tertentu untuk menghabiskan masa tua bersama di kota tersebut. Mungkin mereka memiliki rencana untuk membangun sebuah rumah di kota tertentu itu.
Mereka akan melakukan aktivitas bersama di kota itu dan menghabiskan waktu bersama dengan merencanakan berbagai kegiatan untuk mereka berdua dan anak-anak mereka.
Namun di saat salah satu pasangan itu meninggal lebih dulu, maka terbanglah angan-angan itu. Apalagi saat kedukaan itu terasa tebal masih menyelimuti, maka terhadap angan-angan ke depan yang dibangun bersama pasangan seolah menjadi ragu untuk dilakukan. Pada situasi seperti inilah seseorang itu bisa disebut mengalami fase disorientasi dalam kehidupannya.
Pada fase ini kehidupannya menjadi limbung dan hari-harinya dilaluinya dengan terus merenung. Sebagaimana yang saya sampaikan di atas, jika hidupnya sejak awal sudah berusaha mandiri, penghayatan iman dan keyakinannya kepada Sang Pencipta dihidupi dalam kesehariannya serta pengalaman yang mendukung dari orangtua atau lingkungannya, maka fase disorientasi ini akan dapat segera disudahi. Tetapi jika belum, maka kesedihan itu akan berlanjut dan keterpurukan itu akan semakin merajut.
Reorientasi adalah istilah yang saya usulkan juga untuk menjelaskan seseorang yang karena pasangan hidupnya meninggal sehingga kemudian menyebabkan disorientasi dalam kehidupannya. Namun beberapa waktu kemudian kehidupannya bisa move on dan kembali dapat menata hidupnya serta memiliki arah tujuan yang baru.Â
Seseorang yang pernah rapuh itu kembali bersemangat hidup, meninggalkan keterpurukan kepada suatu harapan baru. Ada seorang wanita yang hidup menjanda, tetapi kemudian menikah kembali dengan seorang lelaki; demikian pula sebaliknya, ada seorang duda yang setelah beberapa saat menjalani hidup sendiri kemudian menikah dengan seorang wanita, itu contoh-contoh adanya tahapan reorientasi dalam kehidupan yang saya maksudkan.
Reorientasi ini terjadi setelah seseorang berhasil mengatasi fase disorientasinya. Harus diakui memang bahwa kembali menemukan orientasi baru dalam kehidupan atau reorientasi ini tidaklah mudah. Orang bisa berbeda-beda masanya untuk kembali menemukan orientasi baru kehidupannya.Â
Ada yang beberapa bulan mereka bisa melakukannya tetapi ada juga yang bertahun-tahun baru bisa menemukan tahapan ini. Belum lama ini saya ditelepon oleh seseorang yang berusia sekitar 70 tahun yang sudah setahun ini ditinggal mati oleh istrinya. Dia menelepon saya dalam rangka akan menikahi seorang janda tetangga desanya.
Saya ditanya soal persyaratan pernikahan karena saya juga bertugas sebagai pembantu pencatat perkawinan Disdukcapil di kota kami. Dalam pikiran saya, bapak ini sudah move on dan sudah meninggalkan fase disorientasi menuju tahapan reorientasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H