Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pdt. Dr. Chris Marantika dan Kecintaannya pada Masyarakat Desa

9 Juni 2022   10:41 Diperbarui: 10 Juni 2022   05:14 2966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pdt. Dr. Chris Marantika dan Kecintaanya pada Masyarakat Desa

Oleh: Suyito Basuki

Di lingkungan kampus yang dulu bernama STII (Seminary Theologia Injili Indonesia) dan sekarang bernama STTII (Sekolah Tinggi Teologia Injili Indonesia) dan UKRIM (Universitas Kristen Immanuel) Yogyakarta ini, nama Pdt. Dr. Chris Marantika sangat familiar.  Karena selain sebagai pendiri kedua lembaga pendidikan yang dinaungi oleh Yayasan Iman tersebut, gaya beliau saat berkhotbah di kapel atau gereja-gereja sangat menginspiratif para mahasiswanya.  Pak Chris, demikian kami biasa memanggil, memiliki suara khas serak-serak basah kata orang dan pada poin-poin tertentu yang ditekankan, maka suaranya bisa mencapai oktaf suara yang sangat tinggi dan sangat tajam diksi yang ia gunakan.

Ribuan mahasiswa STTII baik berstrata S1, S2, maupun S3 yang sudah lulus terinspirasi dengan cara khotbah pemikiran-pemikiran beliau dalam membangun pendidikan dan masyarakat Indonesia ini.  Saya merasa beruntung pernah diajar beberapa mata kuliah oleh Pak Chris.  Setelah saya lulus program Master of Divinity (M.Div) di tahun 1994, saya diminta beliau beberapa saat untuk menjadi asisten pengajaran mata kuliah Manajemen Kepemimpinan di Universitas Kristen Imannuel dan mengumpulkan tulisan-tulisan beliau untuk kemudian saya edit dan dipersiapkan menjadi buku.  Beberapa naskah yang saya persiapkan menjadi buku antara lain yang berkenaan dengan soteriologi dan eskatologi.

Senang sih menjadi asistennya, karena bisa dekat dan berkomunikasi langsung dengannya sehingga ada banyak hal yang bisa saya pelajari terkait pemikiran-pemikiran beliau.  Jadi teringat, suatu ketika tiba-tiba beliau datang ke kantor saya yang letaknya persis di depan kantor beliau.  Kaki kanannya diangkat menumpang kursi di depan meja saya, setelah bicara beberapa saat, lalu beliau mengajak saya untuk menemaninya makan soto ayam bangkong cabang Semarang favoritnya yang saat itu berlokasi di depan hotel Ambarukmo Yogyakarta.

The Main Thing is to Keep The Main Thing

Yang sering diajarkan oleh Pak Chris dalam mata kuliah kepemimpinan adalah prinsip: the main thing is to keep the main thing is the main thing.  Lebih kurang pengertiannya adalah yang terutama adalah melakukan yang penting-penting, itulah yang terpenting.  Kutipan bijak ini mengambil dari bukunya Stephen R. Covey dalam bukunya The Seven Habits of Highly Effective People.  Sebagaimana yang terdapat dalam bukunya Stephen R. Covey tersebut, terdapat 7 kebiasaan sangat efektif yang perlu dilakukan seseorang jika ingin mencapai kesuksesan.  Ketujuh kebiasaan tersebut: 1. Be Proactive; 2. Begin With End in The Main; 3. Put Things First Things; 4. Think Win-Win; 5. Seek First to Understand, Then to Be Understood; 6. Synergize; dan 7. Sharphen the Saw.

Bagi Pak Chris dalam hidupnya yang terpenting, sebagaimana yang acap kali disampaikan dalam pengajarannya di kelas kepada para mahasiswa dan khotbah-khotbahnya, adalah bagaimana hidupnya menjadi berguna bagi bangsa dan negara Indonesia.  Pak Chris memiliki visi Indonesia 1.1.1 yang intinya membawa bangsa Indonesia menjadi kemuliaan bagi Tuhan.  Hal inilah yang sering disuntikkan motivasi kepada mahasiswa-mahasiswanya untuk setiap akhir pekan atau weekend pergi ke desa-desa untuk melayani melalui gereja-gereja pedesaan yang ada.  Yang Pak Chris Marantika pikirkan hanya itu, sehingga ia tidak sempat memikir untuk membangun rumah tinggal baginya.  Rumah yang ia tempati adalah dari kontrakan satu ke kontrakan lainnya.

Kalau hidupnya hanya untuk mencari materi, maka Pak Chris Marantika yang lulusan S3 di Dallas Theological Seminary Texas USA ini bisa saja tetap tinggal di Amerika dan mengajar di sana sebagai orang Asia, atau mengajar di sekolah theologia di Indonesia yang memiliki pamor yang moncer saat itu.  Namun Pak Chris Marantika yang menikah dengan Ibu Saria Iswari Marantika ini lebih memilih hidup sederhana guna mewujudkan impiannya, sehingga lahirlah Yayasan Iman Indonesia yang kemudian membidani lahirnya dua lembaga pendidikan tinggi: Seminary Theologia Injili Indonesia dan Universitas Kristen Immanuel Yogyakarta.  Kedua lembaga pendidikan tinggi  ini letaknya bersebelahan dan beralamatkan di Jln. Sala Km 11 Yogyakarta.

Sarana Perhatikan Masyarakat Desa

Dengan kedua lembaga pendidikan tinggi inilah, Pak Chris Marantika yang memiliki putra semata wayang, George Iwan Marantika, memperhatikan kebutuhan masyarakat desa di beberapa kota yang terdapat di sekitar kampus.  Setiap week end, sebagaimana yang saya tulis di atas, mahasiswa seminary diwajibkan untuk pergi ke desa-desa dengan tujuan dapat membantu mengembangkan pelayanan desa-desa sekitar.  Saya sendiri dari tahun 1990-1994, sebagai mahasiswa program Master of Divinity, melakukan tugas pelayanan di sebuah gereja di Desa Pesu Kecamatan Wedi Klaten.  Beberapa teman ada yang melayani gereja pedesaan yang ada di Sleman, Bantul, Ponorogo, Gunung Kidul, Salatiga, Solo, Semarang dan lain-lain. 

Bagi saya pribadi, saat itu adalah saat yang penuh tantangan.  Saya kuliah tetapi juga mengajar MKDU Bahasa Indonesia saat itu.  Saya bisa mengajar karena saya sebelumnya lulus S1 dari Universitas Sebelas Maret Surakarta FKIP Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia.  Meski orang menyebut sebagai "dosen" tetapi penghayatan hidup saya sehari-hari adalah sebagai mahasiswa.  Untuk menghemat biaya transportasi ke tempat pelayanan di desa, saya membeli sebuah sepeda dan bersepeda dari kampus sampai ke Klaten selama setahun lebih, baik pulang maupun perginya.  Jarak berkisar 40 Km yang harus ditempuh setiap akhir minggunya.

Dengan mahasiswa pergi ke desa-desa untuk melakukan pelayanan, maka didapatnyalah data-data masyarakat mana yang memerlukan bantuan untuk pengembangan masyarakat baik jasmani maupun rohaninya.  Jika itu terkait dengan pengembangan masyarakat untuk masalah ekonomi maupun sosial, maka sebagai follow up akan dikerjakan oleh LPM (Lembaga Pengembangan Masyarakat) UKRIM yang memang didirikan untuk kepentingan itu.  Pada waktu itu LPM UKRIM mempersiapkan bantuan ke masyarakat berupa bibit katak unggulan jenis bull frog, merpati unggulan jenis bangkok, kambing dan pinjaman lunak bagi usaha gendongan.  Selain itu juga disiapkan tanki-tanki tandon air untuk masyarakat yang sering kekeringan seperti di Gunung Kidul dan lain-lain.

Dulunya Menderita

Menurut buku I Cannot Dreamless tulisan Ray Wiseman yang berisi kisah perjalanan Dr. Chris Marantika, diceritakan bahwa Pdt. Dr. Chris Marantika lahir awal Juni tahun 1941 dari keluarga pasangan keluarga petani Yunus Marantika dan Yohana.  Pasangan petani tersebut memberi nama kepada anak lelakinya seperti nama kapal layar mereka: Christoffel, lengkapnya Christoffel Zadrach Marantika.  Yunus Marantika dan Yohana sering memanggil nama anak lelakinya dengan panggilan singkat Chada, yang diambil dari nama tengah "Crhistoffel Zadrach Marantika."  Mereka tinggal di pulau terpencil Pulau Nila yang merupakan bagian dari Kepulauan Banda dan berjarak 200 Km dari Ambon. 

Menurut catatan Ray Wiseman, Chris Marantika saat diwawancara masih terkenang dengan suasana perang pada waktu itu.  Sesekali pesawat hitam besar terbang rendah di atas pulau.  Menjelang akhir perang, pesawat terbang Catalina di parkir di teluk yang berlawanan dengan arah desa. Chris, orang tuanya dan juga orang-orang di kampungnya tidak pernah belajar sampai perang itu usai.  Dua setengah bulan setelah Chris ulang tahun yang keempat,  perang dengan Jepang berakhir. Di Kota Jakarta, Soekarno dan Mohammad Hatta menandatangani deklarasi kemerdekaan atas nama rakyat Indonesia, hal itu menandai berakhirnya dominasi asing yang telah berlangsung selama berabad-abad. Negara baru didirikan, bahasa Indonesia sebagai bahasa perdagangan dan pendidikan serta Pancasila menjadi dasar negara yang menjamin kebebasan beragama.

Sebagaimana yang diceritakan Ray Wiseman, Chris Marantika mengalami berbagai kesulitan dalam sekolah dasar maupun sekolah menengahnya. Sekolah, yang dioperasikan oleh Gereja Reformasi di pulau nominal Kristen itu, secara historis tidak lebih dari membekali anak-anak dengan bahasa dasar, aritmatika, dan keterampilan menulis. Meskipun sepertinya mempersiapkan siswa untuk masuk ke sekolah lebih tinggi, tetapi tidak ada yang pernah lulus ujian masuk tidak sampai Chris Marantika dan tiga orang lainnya sukses di tahun yang sama.


Chris mengingat kesempatan itu sebagaimana yang diceritakannya kepada Ray Wiseman: "Untuk pergi ke kelas tujuh dari pulau, itu perlu lulus ujian negara. Tidak ada satu pun di pulau itu kami pernah lulus sebelumnya. Tahun itu saya adalah salah satu dari empat yang lulus pertama kalinya! Kami harus pergi dengan perahu ke Banda Neira di Pulau Banda selama seminggu. Untungnya, saya mendapat peringkat pertama; maka saya sangat populer. Kami berempat meninggalkan pulau untuk pergi ke sekolah."

Menemukan Jati Diri

Chris Marantika menyelesaikan sekolah menengah pertamanya di Ambon dengan penuh perjuangan.  Dia harus tinggal di antara kerabatnya dan bekerja dalam waktu luangnya menjadi pengangkut pasir bangunan dan loper koran pada sore harinya.  Selesai SMP Chris pergi ke Jawa dengan menggunakan uang yang dikumpulkannya dari penjualan rempah-rempah bersama ayahnya.  Chris menuju arah Probolinggo, dimana pamannya, Lodwijk Marantika tinggal.  Chris kemudian membantu pamannya bekerja menjadi penjaga di sebuah sekolah tinggi, dia menjadi pengawas dari orang-orang yang mencuri gula.

Seperti yang diceritakan Ray Wiseman, Chris Marantika kemudian dengan menumpang sebuah kereta akhirnya sampailah di kota Kediri.  Di Kediri, ditampung oleh kerabatnya yang bernama Yunus Marantika.  Di Kediri inilah dia menemukan Gereja Baptis yang pendetanya bernama Pdt. Mulus Budianto.  Saat Pdt. Mulus Budianto berkotbah, menangislah Chris Marantika.  Pdt Mulus Budianto mendramatisir cerita, ia menggambarkan tubuh Yesus, patah dan berdarah, dipaku di kayu salib. Pendeta meneriakkan kata-kata, "Ya Tuhan, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku" Chris saat itu meringkuk di sudut dan mulai menangis. Pendeta Mulus berikutnya beralih ke Galatia 6: 17 dan membaca kata-kata Paulus, "Selanjutnya janganlah ada orang yang menyusahkan aku, karena pada tubuhku ada tanda-tanda milik Yesus." Chris memikirkan penderitaan yang mengerikan Yesus, dan Paulus membawa luka tersebut tanda di tubuhnya sendiri. Ia memikirkan penderitaan pribadinya dan tiba-tiba menyadari bahwa seseorang telah menderita lebih dari dia.

Berikan Beasiswa

Penderitaan masa remaja dalam menempuh pendidikan membuat Chris Marantika begitu perhatiannya pada pendidikan para generasi muda.  Pada awal-awal UKRIM didirikan, Chris Marantika yang kala itu menjadi rektornya, ia membebaskan biaya pendidikan bagi anak-anak muda, khususnya dari Indonesia bagian Timur. Kepada keluarga pendeta pun dia memberikan harga kuliah khusus.  Mungkin ia memahami bagaimana kehidupan pendeta dan keluarganya.  Demikian juga kepada anak-anak yang orang tuanya dalam kondisi miskin, diberi peluang untuk mendapatkan keringanan atau beasiswa. 

Sampai menjelang akhir hayatnya, Pdt. Dr. Chris Marantika tetap memikirkan kemajuan pendidikan dan masyarakat di Indonesia terutama pedesaan-pedesaan.  Ia membuka cabang-cabang sekolah teologia dengan nama Akademi Teologia Injili Indonesia (ATII) di berbagai kota di Indonesia, seperti Purwokerto Jawa Tengah, Madiun Jawa Timur, Medan Sumatra Utara, Bali, Samarinda Kalimantan Timur dan lain-lain serta kesemuanya sudah ditingkatkan statusnya menjadi Sekolah Tinggi Teologia dengan program S1 bahkan ada yang memiliki program S2.

Pdt. Dr. Chris Marantika meninggal dunia pada tanggal 13 Maret 2016 di Yogyakarta.  Menurut Keterangan Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja dan Lembaga Injili Indonesia (PGLII), Freddy Soenyoto Pak Chris meninggal dirawat di rumah sakit karena komplikasi tiga penyakit darah tinggi, gula dan prostat.  Sebelumnya, di tahun 2014, Ibu Saria Iswari Marantika meninggal karena berjuang melawan penyakit kanker.

Semoga kecintaan Pdt. Dr. Chris Marantika dalam pelayanan gereja dan bangsa Indonesia, terutama masyarakat desa, tetap mengakar dan bertumbuh di hati para mahasiswanya dan alumni sekolah tinggi dan universitas yang didirikannya serta membuahkan karya-karya yang nyata bagi kesejahteraan bersama masyarakat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun