Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Novel Ziarah Iwan Simatupang, Kegelandangan yang Lahirkan Jati Diri

3 Juni 2022   09:08 Diperbarui: 3 Juni 2022   09:16 6826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: goodreads.com

Novel Ziarah Iwan Simatupang, Kegelandangan yang Lahirkan Jati Diri

Oleh: Suyito Basuki

Novel Ziarah merupakan salah satu novel karya Iwan Simatupang, seorang sastrawan angkatan 66.  Novel-novel Iwan yang lain adalah Merahnya Merah (1968), Kering (1972) dan Koong (1975).  

Novel Ziarah sebetulnya novel pertama Iwan Simatupang, hanya karena persoalan penerbitan, maka novel Ziarah terbit tahun 1969 (NV Djambatan) setelah penerbitan novel Merahnya Merah (PT Gunung Agung Jakarta).  Setahun setelah penerbitan Ziarah ini, Iwan Simatupang meninggal dunia, tepatnya tanggal 4 Agustus 1970.

Berdasarkan surat yang ditulisnya kepada HB Jassin (14/4/68), novel itu menurut Iwan ditulis di tahun 1960, setahun setelah istrinya, Corry meninggal dan rupanya memang dimaksudkan untuk mengenang istrinya, seperti tertera pada sampul dalam buku itu: untuk CORRY yang dengan novel ini aku ziarah terus menerus.  

Menurut surat Iwan yang sama, dia telah menandatangani kontraknya dengan Ita Pamuntjak dari NV Djambatan dan pada tahun itu proefdruknya sudah diperiksa. (Seperti yang dicatat Abdul Hadi WM "Iwan Simatupang dan Surat-suratnya", Iwan Simatupang Pembaharu Sastra Indonesia, Korri Layun Rampan, Jakarta: Yayasan Arus, 1985 hal. 42)

Sinopsis Cerita

Novel Ziarah ini menceritakan kehidupan seorang pelukis yang kehilangan cita rasa kesenimanannya.  Hal ini disebabkan oleh kematian istrinya.  Karya-karya berikut peralatan lukisnya dia ceburkan ke laut.  Kemudian dia hidup menggelandang dan bekerja serabutan yang hasilnya ia gunakan untuk makan dan minum arak.

Pelukis ini sebenarnya seorang pelukis yang sukses.  Karya-karya pelukis dikagumi oleh banyak orang baik dari dalam maupun luar negeri.  Pers dalam negeri terutama banyak memuat tulisan tentang pelukis ini serta karya-karyanya.

Kehidupan pelukis ini dikisahkan sangat unik.  Sanggarnya adalah hotel tempat dimana ia tinggal.  Setelah upacara pernikahannya dengan istrinya, yang diadakan di hotel dan dihadiri oleh banyak tokoh negara dan kebudayaan, maka pemilik hotel mengusirnya dengan alasan bahwa pelukis menyebabkan stabilitas kota terganggu.  Pemilik hotel dan losmen yang lain, dengan alasan sama, menolak pelukis menginap di tempat mereka.

Pelukis beserta istrinya kemudian mengembara dan sampailah mereka di pantai tempat mereka mendirikan gubuk tempat tinggalnya.  Kemudian diberitakan bahwa suatu kali mereka pernah menempati rumah walikota atas permintaan perdana menteri.  Namun akhirnya kembali lagi pada kehidupan pantai.

Setelah kematian istrinya, dalam pekerjaannya yang serabutan, akhirnya dia mendapatkan tawaran mengapur tembok pekuburan tempat istrinya dimakamkan.  Di sinilah dia bertemu dengan tokoh opseter yang sebenarnya mahasiswa filsafat yang cemerlang otaknya dan maha guru yang bekerja di pekuburan.

Setelah opseter mati dengan gantung diri, maka timbul keinginan pelukis ini untuk mengganti kedudukan opseter.

Novel Baru Iwan Simatupang

Memahami novel Iwan Simatupang, maka konsep atau tata nilai tradisional harus ditinggalkan.  Iwan sendiri menghendaki pembacanya mengerti konsep-konsep kebaruan dalam novelnya.  Ditulisnya: novelnya adalah novel masa depan, novel tanpa pahlawan, tanpa tema dan tanpa moral. (Ziarah, hal. 90)

Novel masa depan menurutnya adalah novel yang dapat mengatasi era krisis novel.  Dengan novel ini pula, maka Iwan ingin mengupas persoalan manusia yang lain dari yang biasa dilakukan.  

Menurutnya persoalan manusia yang akan datang bukan lagi manusia baik atau manusia jahat, manusia benar atau manusia salah, manusia tampan atau manusia jelek, akan tetapi manusia yang mempertaruhkan dirinya sebagai nilai terakhir yang perlu diuji keampuhannya dalam satu keadaan baru.  Yakni, keadaan dari tepi-tepi terakhir kemanusiaan sendiri. (Ziarah, hal 90)

Terhadap novel Iwan Simatupang, HB  Jassin memberikan penilaian dengan lebih dulu membandingkan dengan novel-novel tradisional, tulisnya: "Dalam Siti Nurbaya dan lain-lain novel yang terbit sesudah itu, yang diutamakan ialah gerak-gerik orang, bukan jalan pikirannya, keadaan jiwanya.". (Dami N. Toda, Novel Baru Iwan Simatupang, Jakarta: Pustaka Jaya, hal. 47)

Untuk memahami Iwan Simatupang, dalam hal ini novel Ziarah, HB Jassin dalam resensi pendek 26/6/ 1963 menulis: "Sebagaimana orang pernah harus punya waktu untuk mengerti puisi Chairil Anwar, demikian juga orang akan menunggu waktu, baru dapat menghargai prosa Iwan sepenuhnya.  

Cerita ini yang baru sama sekalidalam bahasa, dalam pengungkapan, dalam mendekati hidup dan permasalahan, merupakan halaman baru dalam kesusasteraan Indonesia." (Dami N. Toda, Novel Baru Iwan Simatupang, hal. 47)

Ada beberapa hal yang baru dalam novel Ziarah, yang dapat dirangkumkan dalam hal: tema, penokohan, alur, latar belakang cerita dan gaya bercerita.

Kegelandangan sebuah Tema Baru

Novel Ziarah sebagaimana novel Iwan Simatupang yang lain, bertemakan "kegelandangan".  Kegelandangan di sini memiliki pengertian kegelandangan material dan spiritual.  

Kegelandangan material dapat dilihat dari kehidupan tokoh protagonis: pelukis yang tidak pernah terlihat hidup layak sebagaimana kehidupan manusia pada umumnya.  Setelah kematian istrinya ia menjalanni kehidupan menggelandang dalam arti sesungguhnya: miskin, tidak memiliki penghasilan tetap, hidup acak-acakan, tempat tinggal yang tidak terurus: sebuah kamar kecil, di satu rumah kecil, dan di pinggir kota kecil. (Ziarah, hal. 1)

Kehidupan menggelandang semacam ini disebabkan oleh kematian istrinya dan ini membuat cita rasa hidupnya menjadi hampa.  Satu hal yang rutin dilakukannya adalah dia bangun pagi hari lalu menyusuri sebuah tikungan dengan harapan bakal ketemu dengan istrinya.  

Pelukis hidup dengan imaji-imajinya tanpa pernah berusaha menerima keadaan yang sebenarnya ia alami.  Maka dia tidak lagi memperhatikan kondisi fisiknya dan hidup sebagaimana layaknya manusia.  Inilah awal dari proses kegelandangannya. 

Dari kehidupan kegelandangan ini, Iwan Simatupang ingin menunjukkan kepada pembacanya bahwa kehidupan manusia tidak tergantung pada materi.  Ada suatu nilai yang harus lebih diperjuangkan manusia dalam kehidupannya, yakni tentang bagaimana manusia menghargai hidup itu sendiri, merasa suka cita dan memiliki pengharapan meski tanpa bekal materi.

Dalam keadaan "miskin" semacam ini, tokoh pelukis sengaja dihadapkan pada persoalan-persoalan yang menguji keampuhannya dalam satu keadaan baru yakni keadaan dari tepi-tepi terakhir kemanusiaan itu sendiri.  

Pelukis pada akhirnya dapat lolos dari ujian iini.  Terbukti bahwa dia dapat menerima kematian istrinya yang ditunjukkannya ketika pelukis mengapur tembok pekuburan dengan tenang bahkan pada akhir cerita dia justru ingin menjadi opseter pekuburan baru, setelah opseter sebelumnya bunuh diri.  Dengan menjadi opseter, ia beranggapan bahwa ia melakukan ziarah pada kemanusiaan.

Tokoh-tokoh Tanpa Nama

Sebagaimana dalam novel-novel Iwan Simatupang yang lain, dalam Ziarah ini tokoh protagonis tidak diberi nama hanya disebut sebagai pelukis saja.  

Jika dalam Merahnya Merah masih ada tokoh Fifi, maria dan Icih, di dlam Ziarah ini, cukup disebut tokoh-tokohnya yang lain adalah walikota, opseter, bekas mahasiswa, maha guru filsafat, dan beberapa tokoh lain yang disebut berdasarkan jabatannya.  Hal ini barangkali disebabkan konsep Iwan bahwa nama tidak penting, sebab di sorga tak ada kartu nama. (Ziarah, 89)

Perwatakan tokoh-tokoh Ziarah dapat dilihat dari tindakan-tindakan yang dilakukan tokoh-tokoh serta konsep-konsep pemikirran yang dilukiskan pengarang pada tokoh-tokoh tertentu.  Perwatakan pelukis yang sangat eksentrik digambarkan dari kelakuan-kelakuan yang diceritakan pengarang sebagai berikut:

"Begitu malam jatuh, perutnya dituangnya arak penuh-penuh, memanggil Tuhan keras-keras, kemudian meneriakkan nama istrinya keras-keras, menangis keras-keras untuk pada akhirnya tertawa keras-keras...". (Ziarah, hal. 1)

"Selesai mandi dan berpakaian, dia lari ke jalan, berhenti di kaki lima untuk menentukan arah mana yang bakal ditempuhnya.  Ini dilakukannya dengan cara menatap lama-lama ke inti matahri, suatu kesanggupan yang baru beberapa hari ini saja diperolehnya". (Ziarah, hal. 2)

Tokoh opseter, tidak kalah aneh perwatakannya dibanding dengan pelukis.  Tokoh opseter ini, didalam melakukan komunikasinya dengan para pegawainya, dilakukannya secara tertulis.  Ini dilakukannya setelah sistem rasionalisasi kerjanya diinstruksikan walikota untuk ditarik.  

Rencana kerjanya tiap-tiap hari ditulisnya pada secarik kertas, kemudian ditusukannya pada paku di tiang tangga depan rumah dinasnya dan kemudian tiap pagi mandor datang mengambilnya dari situ lalu meneruskannya kepada seluruh pegawai dan buruh. (Ziarah, hal. 42-43)

Ada lagi perwatakan yang aneh, yakni opseter memiliki kepuasan jika melihat kegelisahan atau penderitaan pelukis.  Dia tahu persis bahwa pelukis sangat tidak menyukai suasana pekuburan karena suasana itu hanya akan mengingatkannya pada istrinya yang sudah meninggal.  

Mengetahui hal ini, opseter meminta pelukis bekerja mengapur tembok pekuburannya sebuah pekuburan di mana istri pelukis ini dikebumikan. 

Diceritakan:"Tiga hari pula lamanya sang opseter terus menerus mengintipnya dari celah-celah pintu dan jendela rumah dinasnya di kompleks pekuburan itu.  Dia sang opseter makin gelisah.  Sebab sedikit pun tak ada dilihatnya yang ganjil yang patut mendapat perhatian khas pada tingkah laku pengapur itu." (Ziarah, hal. 11)

Anti Alur cerita

Dami N. Toda dalam pembahasannya menyatakan bahwa alur dalam novel-novel Iwan Simatupang (dalam hal ini Ziarah) adalah "anti alur", artinya alur tanpa diduga-duga, kapan-kapan dapat terjadi apa saja, karena tokohnya adalah bukan tokoh tunggal. (Dami N. Toda, Novel baru Iwan Simatupang, hal. 55)

Dengan bebas sekali Iwan Simatupang memulai nomor babnya dengan kehidupan tokoh-tokohnya, yang semula menurut pemikiran pembaca justru tidak ada hubungannya.  Tokoh-tokoh pelukis, opseter, walikota, dan istri pelukis, mendapat proporsi yang seolah-olah sama.

Dengan bebas pula, Iwan Simatupang membolak-balikkan cerita dengan alur flash back.  Setelah pada bab-bab awal diceritakan kematian istri pelukis, pada bab lima dan selanjutnya diceritakan pengarang tentang kehidupan awal istri pelukis dan pelukis.

Meski di dalam bab dua walikota dikisahkan mati setelah memberikan surat pemberhentian kepada opseter, di dalam bab empat kembali dikisahkan kehidupan walikota yang seolah-olah sebelumnya belum mengalami kematian.

Kuburan sebagai Latar Belakang Cerita

Sebagai latar belakang cerita novel Ziarah ini adalah kuburan dengan segala kemasyarakatannya.  Dengan mengeksploitasi latar belakang cerita semacam ini, maka terlihat keunikan Iwan Simatupang dalam usahanya menemukan orisinalitas karangan.

Tentang detail-detail kota tidak dijelaskan.  Hanya pembaca dapat menginterpretasikan kemungkinan, bahwa latar belakang tempat cerita adalah sebuah kota kecil atau sebuah daerah kotamadya.  Ini dapat dilihat dari tempat tinggal pelukis yang dikatakan rumah kecil di pinggir kota kecil dan adanya walikota dalam cerita.

Novel Esai yang Genit

Iwan Simatupang mengakui bahwa novel yang ia tulis adalah novel esai. (Ziarah, hal. 90)  Sebagai novel esai, maka ia ingin menjadikan novelnya sebagai esai tempat dia menguraikan pokok-pokok pikirannya yang filsafati.

Berdasarkan komitmen ini, maka soal cara Iwan Simatupang memilih-milih kalimat ungkapan serasa tidaklah merupakan beban yang berat.  Pokok utamanya adalah bagaimana buah pikirnya dapat dituliskannya. 

Maka pernyataan tajam yang diungkapkan Arief Budiman sehubungan dengan ini:

"Barangkali ada kekecualian untuk novelis Indonesia, dari Iwan Simatupang yang punya pemikiran jauh sekali dibanding dengan novelis-novelis Indonesia yang kita sebutkan.  Tapi kesulitan Iwan menujrut saya, dia terlalu genit, terlalu bombas dengan ide-idenya.  Dia menurut saya bukan pengarang.  Dia lebih seorang esais atau kritikus.  Sebenarnya dia tidak pantas menulis novel, dia lebih pantas menulis esai atau kritik." (Kurnia JR, "Tanggapan Pembaca atas Novel Iwan Simatupang dalam Dua Dasa warsa 1968-1988" Jakarta: Horison, 1989, hal. 150).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun